Saturday, August 15, 2015

Song Fiction - Heartache (Song By One Ok Rock)

Heartache


Sebelum baca song fictionnya, mohon baca ini dulu!
Cerita ini hanya fiktif belaka dan sama sekali bukan fakta dari pemilik lagu. Seperti konsepnya, song fiction adalah cerita yang terinspirasi dari sebuah lagu (penjelasan lebih lanjut bisa dilihat disini). Saya mengambil nama panggilan tokoh dari nama anggota band atau penyanyi yang membawakan lagu tersebut, namun mungkin nama lengkapnya akan berbeda (terutama nama belakangnya). Ciri fisik tokoh sama dengan pemilik asli namanya (dipilih sesuai kecocokan karakter dan karakteristiknya).


Song by: One Ok Rock
Lyrics: click here
Lenght: 1433 words


Illustration by Elisabeth Cintami

“Dianne Watson,” wanita itu berjalan mendekati ayahku sambil memperlihatkan kartu identitasnya, “FBI.”

Wanita itu datang ke rumah ayahku dengan dalih ingin bertransaksi ekstasi seperti kebanyakan orang. Namun selang beberapa waktu kemudian, ia menangkap ayahku, dan membawanya bersama dengan sekelompok polisi. Wajah khas perpaduan Asia dan Caucasoid-nya yang tegas, ditambah dengan tubuhnya yang cukup tinggi itu mantap dan tidak bisa main-main. Ia terlihat sangat berwibawa dengan balutan jaket kulit hitam, celana panjang hitam dan sepatu hak tinggi. Dia adalah wanita yang tidak akan kulupakan untuk selamanya.


Kini aku hanya bisa berteriak dari atas sebuah ranjang di balik tembok-tembok tebal ini. Semuanya serba putih dan tertutup. Aku tidak bisa keluar dari tempat ini. Semakin keras usahaku untuk keluar dari sini, semakin mereka menyiksaku.

Sekilas, bayangan wajah wanita itu kembali di depan mataku.

“Dianne...” aku berbisik.

Ia tidak menjawab.

“DIANNE!” Aku berteriak.

Ia tidak menjawab. Tidak akan.

Dalam balutan straight jacket ini aku hanya bisa pasrah, dan menunggunya kembali. Kembali kepadaku.

***

Lima tahun setelah penangkapan ayahku, aku bertemu dengan Dianne secara tidak sengaja di sebuah galeri lukisan di San Fransisko. Penampilannya kini berubah total meskipun wajah tegasnya masih sama. Saat itu ia mengenakan kaus oblong longgar putih dan celana biru donker, rambut hitamnya sekarang sudah panjang dan disibakkan di bahu kanannya. Ia hanya mengenakan flat shoes polos berwarna hitam. Ia terlihat sangat santai, tidak seperti pada waktu peristiwa penangkapan ayahku. Jujur, ia terlihat sangat cantik.

Dianne terlihat lebih muda dari sebelumnya, sebelum aku menyadari kalau sebenarnya ia memang masih sangat muda.

“Taka,” aku memberanikan diriku untuk memulai sebuah perkenalan dengannya, dan mengajaknya berjabat tangan.

“Dianne,” ia pun menjabat tanganku dengan mantap, “Dianne Joel Watson.”

“Sepertinya aku pernah melihatmu.”

“Mungkin. Aku pelukis disini,” jawab Dianne lalu tersenyum.

Pikiranku kembali kepada peristiwa penangkapan tersebut. Dianne yang pada saat itu masih memiliki rambut se-bahu, dan mengenakan jaket kulit hitam datang ke rumah ayahku, dan kebetulan aku juga berada disana. Ia berkata bahwa ingin bertransaksi. Ayahku pun datang menemuinya di ruangan khusus miliknya yang sampai sekarang pun aku tidak pernah berani memasukinya. Lalu, aku melihat sekelompok polisi sudah mengepung rumah ayahku, dan wanita itu memperkenalkan dirinya.

Aku yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan bisnis ayahku pun selamat. Aku tahu bisnis ayahku bukanlah bisnis yang bersih, sehingga aku menolak untuk ikut campur di dalamnya. Hanya saja pada saat itu aku harus ikut ke markas FBI untuk pemeriksaan.

Ayahku adalah salah satu mafia narkoba besar asal Jepang yang sangat diincar kepolisian, terutama di Amerika Serikat. Dengan pekerjaan seperti itu, ia bisa menjadi sangat kaya. Namun aku tidak peduli dengan kekayaannya karena semua kekayaannya itu bukanlah kekayaan yang membahagiakan dan bisa dibanggakan. Apa bisa bahagia jika seseorang kaya, namun hidupnya tidak pernah tenang? Itulah yang mendorongku untuk menjauhi bisnis ayahku.

Setelah perkenalan itu, aku dan Dianne semakin dekat. Kami sering bertemu di galeri dan saling tukar cerita bahkan aku juga belajar melukis dengannya. Disitulah aku mengenal sosok Dianne yang sesungguhnya. Ia baru saja menjadi mahasiswa di suatu Institut kesenian ketika peristiwa penangkapan ayahku. Ia masuk sebagai salah satu agen FBI setelah bebas dari rehabilitasi narkotika. Memang semasa SMA, ia merupakan pemakai ganja dan hafal segala bentuk narkotika bahkan cara bertransaksinya, untuk itu ia menjadi agen FBI. Ia ditugaskan untuk menangkap ayahku yang dijuluki “Si Kaya Raya Congkak” olehnya, dan setelah itu ia keluar. Sudah lima tahun itu semua berlalu, dan sekarang Dianne menjalani rutinitasnya sebagai pelukis.

Dianne juga menceritakan kehidupan lamanya yang penuh sekali cerita. Keluarganya yang terpisah-pisah karena pekerjaan meskipun kedua orang tuanya tidak bercerai, lalu kehidupannya di Institut yang sangat menyenangkan semakin membuatnya gerah berada di kepolisian. Ia adalah seseorang yang cinta kebebasan dan kesenangan, bukan keteraturan. Ya, memang sungguh terlihat jelas pada penampilannya yang sekarang.

“Kalau kau sendiri bagaimana? Sejak waktu itu hanya aku yang bercerita.”

“Maaf, kehidupanmu sungguh luar biasa. Aku jadi lupa buat bercerita.”

“Luar biasa kacau maksudmu?”

“Eh! Bukan! Luar biasa menarik.”

“Kau ini bisa saja.”

Dan aku pun menceritakan hal yang sesungguhnya: Bahwa aku adalah anak dari seorang yang penah ditangkapnya itu.

Mendengar hal itu, Dianne langsung beranjak meninggalkanku. Aku pun langsung mengejarnya dan menjelaskan bahwa aku tidak memiliki hubungan apapun lagi dengan ayahku semenjak ia ditangkap. Aku berjanji untuk melindungi Dianne, dan akan merahasiakan kedekatan kami.

Aku dan Dianne pun semakin dekat hingga kami menjadi sepasang kekasih. Hal ini terdengar sangat mustahil dimana anak penjahat bisa menjadi kekasih mantan agen kepolisian yang telah berhasil menangkap ayah si anak penjahat itu. Namun ini lain karena hatiku sudah tertambat padanya sejak hari itu, dan kesempatan bertemu kembali adalah peluang besar untuk semakin mendekatinya. Inilah yang terjadi. Tidak ada yang mustahil dalam dunia ini, asal kita mau menggunakan hati nurani kita untuk memutuskan suatu hal supaya terjadi tanpa mengabaikan ketulusan.

Dua tahun pun telah berlalu dan ayahku dibebaskan dari penjara untuk sementara waktu entah dengan cara apa. Hal itu sangat mengejutkan bagiku karena aku takut kalau ia tahu siapa kekasihku sekarang. Aku tahu ia sangat dendam dengan Dianne.

Namun, seperti halnya suatu bangkai yang selalu disembunyikan, rahasiaku ini pun akhirnya ketahuan. Ternyata ayahku mengetahui hubunganku dengan Dianne melalui anak buah-anak buahnya yang berada dimana-mana. Mereka selalu membuntutiku kemanapun aku pergi secara diam-diam.

BRAKKK!!!

Ayahku menggebrak meja di ruang kerjanya sekuat tenaga sambil memasang wajah penuh amarah. Ini kali pertama aku melihat isi ruangan ayahku. Biasa saja. Ia menyuruhku datang ke rumahnya hanya untuk ini.

“Kau itu bodoh atau bagaimana?!” Ia pun kini berteriak.

Aku hanya diam.

“Jawab aku!” Dia menggebrak meja lagi, “kau ingin mati dengan pacaran dengan wanita jahanam itu?”

“Aku hanya cinta padanya.”

Baka! Cinta itu tidak ada! Apa-apaan kau ini? Kau terlalu banyak bersama ibumu, jadinya begini.”

“Bukan urusan Anda,” lalu aku pun meninggalkan ruangan ayahku.

Setelah pertemuan dengan ayahku, aku dan Dianne berusaha pergi sejauh mungkin dari jangkauan ayahku. Kami pergi sampai di perbatasan Amerika Serikat dan Kanada yang semestinya sangat jauh dari jangkauan ayahku. Aku hanya ingin bebas melakukan apapun dengannya.

Namun perkiraanku salah. Melalui anak buahnya, ia menemukan tempat persembunyianku dan Dianne. Pada saat itu, waktu senja hari, ayahku dan beberapa anak buahnya datang ke tempat persembunyianku dan Dianne. Mereka membawa senjata dan bersiap untuk memisahkan aku dengan Dianne. Akhirnya, aku memutuskan untuk berlari bersama Dianne sampai masuk ke dalam sebuah hutan.

Karena ayahku dan beberapa anak buahnya tidak berhenti untuk menembakkan peluru dari senjata mereka, Dianne pun memutuskan untuk mengambil senjata dari dalam tasnya. Hal ini sangat mengagetkanku karena ternyata dia masih membawa senjata bahkan menggunakannya.

“Maafkan aku, Taka. Aku tidak bisa terus-meneus dikejar begini,” kata Dianne sambil menembakkan senjatanya ke arah salah satu anak buah ayahku dan mengenai kakinya.

Dianne menembak satu per satu anak buah ayahku tepat di kaki karena ia tidak ingin membunuh siapapun, hingga tersisa ayahku dan seorang anak buahnya yang paling setia. Ayahku menodongkan pistolnya ke arah kepala Dianne yang juga sedang menodongkan pistol ke arah kepala ayahku.

“Turunkan senjatamu! Pelacur!” Bentak ayahku kepada Dianne sambil mengarahkan pistolnya sejajar dengan dada Dianne.

“TIDAK!”

“Dasar bodoh!” Dan ayahku pun menarik pelatuk pistolnya.

DOR! Tepat di jantung Dianne, dan ia terjatuh.

Pistol Dianne pun ikut terjatuh, dan berhasil kuambil. Aku pun berhasrat untuk menembak ayahku, namun Dianne menghalangiku. Ia menarik pelan tanganku yang masih ada dalam jangkauannya. Kini aku merasakan betapa lemahnya seorang gadis seperti Dianne di saat sepeti ini.

“J-j-jangan!” Dianne pun tersenyum dalam wajah penuh kesakitannya, “dia itu ayahmu, Taka.”

Aku pun tak kuasa menahan air mataku yang kini telah bercucuran. Mengapa Dianne mau mencegahku? Dia sekarat karena ayahku. Aku pun memeluknya, membelai wajahnya dengan penuh haru biru di hatiku.

“Maafkan dia!” Kata Dianne Lirih, “Dan maafkan aku.”

Itulah hal terakhir yang dikatakan Dianne sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya. Namun perasaanku yang kacau tidak bisa menahan keinginanku untuk menarik pelatuk pistol itu.

---

“Jangan main-main sama senjata! Bahaya tahu!” Dianne tertawa ketika aku mulai memegang pistol kosongnya yang tergeletak di mejanya.
“Tapi ini kan kosong,” kataku sambil mengamati pistol itu.
“Sudahlah! Bahaya!” Kata Dianne sambil mengambil pistol itu dari tanganku, dan meletakkannya kembali ke atas mejanya.
“Jangan meremehkan aku!” Aku pun mendekatinya, lalu mencium bibir tebalnya yang polos tanpa pulasan apapun, “Kau tahu kan aku anak siapa? Hehe.”
“Jangan sombong dulu!” Wajah Dianne terlihat sangat manis saat itu, apalagi aku baru menyadari bahwa ia memiliki sepasang lesung pipi dan sepasang mata hitam yang menggemaskan.
Lalu kami tertawa bersama. Tertawa sepuasnya tanpa perasaan berat apapun. Aku pun memeluknya erat dan merasakan tubuhku yang cukup kurus ini mulai mendapatkan kehangatan, dan kulitku yang kekuningan ini melekat pada kulitnya yang kemerahan. Sungguh ini adalah masa yang indah.

---

DOR!

Satu orang lumpuh di tempat. Tepat pada kaki. Aku telah menembak kaki ayahku. Dan segalanya menjadi hitam.

***

Dianne.

Aku tidak bisa melupakanmu kalau kau terus di depanku. Mengapa kau disitu? Kemarilah! Aku merindukanmu. Apa kamu tidak melihat senyumanku ini? Aku ingin memilikimu lagi.

Air mataku terus menetes saat Dianne mendekatiku dan memelukku. Aku tersenyum dalam pelukannya yang hampa karena rasa bersalahku. Janji itu tidak aku tepati. Janjiku untuk melindunginya yang kini bagaikan sampah dalam buaianku terhadapnya. Namun Dianne tetaplah seorang pemaaf. Ia pun membaringkan aku, dan seketika keresahanku menghilang. Digantikan dengan kegelapan.



(The End)



Semarang, 14 Agustus 2015
ELISABETH DYAH AYU CINTAMI WISNUGROHO

Another Stories: Click Here

No comments:

Post a Comment

Feel free to give me your opinion :D