Saturday, August 22, 2015

LULLABY (An One Ok Rock Fanfiction) – part 3

LULLABY
-Bukan Ini yang Kuinginkan-


Genre: Drama, Tragedy
Theme: Friendship
Panjang: 1846 kata

Illustration by Elisabeth Cintami

Perhatian!!!
Yang belum baca part 1 bisa klik disini, dan part 2 disini.
Seperti biasa, sebelum membaca fanfiction ini, jangan lupa! Cerita ini hanya fiktif belaka dan bukanlah merupakan suatu fakta kehidupan dari nama-nama yang menjadi tokoh dalam kisah ini (cuman minjem nama dan ciri2 fisik?!). Dan, hati-hati karena cerita ini cukup keras dan kemungkinan bikin baper sehingga jangan baper. Hehe ;) Jika ada kesalahan dalam hal budaya (penulisan nama, tata cara, dsb), silahkan beri masukan karena cerita ini menyangkut kebudayaan luar Indonesia sehingga saya yang masih dalam taraf belajar belum bisa sempurna dalam mengemasnya. Kritik dan saran dipersilahkan langsung ditulis di kolom komentar. Terima kasih :D

Suara Taka kini sepertinya sudah habis dihantikan oleh suara batuk yang keras. Hal ini membuat Pak Sinichi dan lainnya panik. Mereka menghampiri Taka yang sedang berbaring meringkuk menyamping ke arah berlawanan dari yang lainnya di atas ranjangnya yang hingga kini tidak mau memperlihatkan wajahnya kepada mereka.


“Ada apa denganmu, nak?” Pak Sinichi kini mulai berbasa-basi sambil memalingkan wajah anaknya itu ke arahnya.

Betapa terkejutnya Pak Sinichi melihat darah yang mengalir dari hidung anak sulungnya, dan darahnya juga keluar dari mulutnya ketika terbatuk tadi. Pemandangan di depan mata Pak Sinichi pun sangat mengerikan dan tidak pernah terbayangkan olehnya. Darah yang tercecer disekitar Taka sangat menakutkan hingga membuat air matanya menetes.

“A-ayah... S-sakit,” kata Taka dengan nada begitu lirih diikuti air matanya yang terus-menerus mengalir. Sepertinya ia tidak mampu menahan sakit yang dirasakannya kini meskipun ia masih harus tersadar dan menanggungnya.

Toru pun bergegas memanggil mobil ambulans karena keadaan kali ini benar-benar gawat. Ia tidak akan membiarkan sahabatnya pergi hari ini. Tidak akan.

Ambulans pun datang dan membawa Taka menuju rumah sakit didampingi ayahnya, sementara Toru dan Ryota menyusul. Keadaan kali ini sangat menegangkan sampai membuat konsentrasi Toru dalam mengemudikan mobilnya hampir buyar. Sudah beberapa kali ia hampir celaka karena tidak memperhatikan jalan.

“Sudahlah Kak Toru! Tenangkan dirimu!” Kata Ryota yang sudah ketakutan di dalam mobil karena selalu hampir celaka.

“Bagaimana bisa aku tenang kalau keadaannya begini?”

“Apa kau tidak tahu siapa Kak Taka? Jangan remehkan dia! Dia orang yang kuat!”

“Kuat? Berapa kali dia mencoba bunuh diri, ha?! Itu yang kau maksud dengan kuat?”

“Bukan itu! Percayalah saja padanya, daripada kita celaka! Kita juga sudah kehilangan jejak ambulansnya.”

Toru pun mulai menenangkan dirinya hingga sampai di rumah sakit. Ia mulai percaya dengan apa yang dikatakan Ryota, bahwa Taka adalah orang yang kuat. Meskipun ia mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri, namun Taka tidak kehilangan kesadaran ketika merasakan sakitnya. Ia juga tidak pernah sampai untuk membunuh dirinya sendiri. Kenyataan yang lebih kuat untuk membuktikannya adalah, ia sanggup hidup dalam kekacauan luar biasa seperti sekarang. Mungkin Toru sendiri tidak akan kuat menghadapi cobaan hidup seberat cobaan yang dirasakan Taka.

Setelah sampai di rumah sakit dan memarkirkan mobilnya, Toru pun bergegas menuju Unit Gawat Darurat bersama Ryota. Dengan langkah seribu, mereka berjalan mencari sahabat mereka yang kini sedang sekarat.

Di ruang Unit Gawat Darurat, Toru dan Ryota tidak menemukan Taka. Semua bilik di ruangan itu kosong. Seketika, Toru dan Ryota mulai panik.

“Dimana? Dimana Taka?” Kata Toru sambil menengok ke kanan-kiri.

“Iya, dimana dia? Pak Sinichi juga tidak ada,” sahut Ryota.

“Apa jangan-jangan ia sudah dibawa ke ICU?” Tebak Toru.

“Bisa saja, kak.”

“Ya sudah, kita tanya bagian informasi saja.”

Toru dan Ryota pun bergegas menuju bagian informasi di rumah sakit tersebut. Namun dalam perjalanan, mereka melihat seorang pria yang memiliki perawakan seperti Pak Shinichi duduk di bangku dekat bagian informasi. Pria itu menutupi wajahnya dan merunduk seperti sedang menangis. Seketika itu juga, Toru panik.

“I-itu ayahnya Taka kan?” Toru menunjuk pria itu.

“S-sepertinya iya, kak.”

“Ada apa dengannya?”

“J-j-jangan-jangan...” Kini Ryota pun ikut panik.

Toru dan Ryota langsung menghampiri pria itu, dan mereka langsung menanyakan apa yang terjadi.

“Paman Shinichi! Apa yang terjadi dengan Kak Taka?” Tanya Ryota.

“Apa yang telah terjadi, paman?” Toru pun menegaskan pertanyaan tersebut. Matanya pun mulai meneteskan air mata karena sepertinya hal yang buruk telah terjadi.

“S-Shi-Shinichi?” Pria itu pun menegakkan dirinya, dan mulai menampakkan wajahnya, “Kalian siapa?”

Ternyata pria itu sama sekali bukan Pak Shinichi. Mereka salah orang.

“Maafkan kami, paman,” Toru pun meminta maaf kepada pria itu.

“Kalian ini! Saya sedang sedih karena istri saya sedang melakukan persalinan!” Pria itu pun membentak Toru dan Ryota.

“Lho, kenapa paman malah sedih? Bukannya itu hal yang menggembirakan?” Toru pun bertanya.

“Mungkin istrinya mengalami gangguan,” Ryota mulai menebak sambil berbisik kepada Toru, “Atau paman ini tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai persalinan. Ya, seperti yang di sinetron-sinetron. Terus anaknya tidak bisa pu-”

“Ah! Sudah! Sudah! Cukup! Kalian ini tidak tahu apa-apa!” Pria itu berdiri dan membentak lagi.

“Istrinya tidak mau ditunggui olehnya selama persalinan. Katanya dia terlalu jelek dan merepotkan. Maklum, bawaan orang melahirkan,” seorang perawat yang berjaga di bagian informasi pun mengatakan apa yang telah dialami pria itu.

“Oh begitu... i-iya sih,” kata Ryota.

“Eh! Apa katamu?!” Pria itu terlihat sangat marah.

“Ma-maaf paman, bercanda, hehe,” sergah Ryota.

“Ah sudahlah!” Toru pun tidak ingin terlalu lama terjebak di dalam kondisi konyol seperti ini. Ia pun menanyakan keberadaan sahabatnya, Taka kepada perawat itu.

Perawat itu mengatakan bahwa Taka sudah dibawa ke ICU untuk ditangani lebih lanjut karena kondisinya sudah sangat parah saat dibawa ke rumah sakit. Setelah itu, Toru dan Ryota pun langsung menuju ICU. Sesampainya disana, mereka melihat Pak Shinichi yang menunggu di luar. Itu benar-benar Pak Shinichi, mereka tidak salah orang lagi.

“Bagaimana keadaan Taka,  paman?” Tanya Toru.

“Dokter dan tim medis sedang menanganinya. Kita tunggu saja,” jawab Pak Shinichi penuh nada pasrah.

“Baiklah.”

“Ngomong-ngomong, kenapa kalian lama sekali?” Kini Pak Shinichi pun mulai bertanya.

“Ehm, itu...” Toru sedikit malu dengan apa yang dialaminya.

“Tadi Toru nyetir sembarangan. Kami hampir saja celaka,” jawab Ryota, “Dan... aduh!” Toru pun mencubit paha Ryota karena malu jika ia nanti sampai menceritakan kejadian salah orang tadi.

“Iya paman. Saya panik,” jawab Toru setelah mencegah Ryota berbicara.

“Ya, memang kalau panik itu wajar,” kata Pak Shinichi, kalem.

Beberapa saat kemudian, dokter yang menangani Taka keluar dari ruangan ICU. Ia membicarakan suatu hal tentang kondisi Taka secara pribadi dengan Pak Shinichi, sehingga Toru dan Ryota tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Jika dilihat dari raut wajah Pak Shinichi yang tampak sedih, sepertinya itu bukanlah hal yang menyenangkan.

“Oh, anak-anak! Sekarang sudah malam. Sebaiknya kalian pulang,” Pak Shinichi pun menghampiri Toru dan Ryota setelah berbicara dengan dokter tadi, “Nanti orang tua kalian khawatir.”

“Tapi paman, kami ingin melihat kondisi Taka,” jawab Toru.

“Besok saja. Kata dokter, malam ini dia tidak boleh dijenguk,” kata Pak Shinichi menegaskan.

“Baiklah kalau begitu. Kami akan datang sepulang sekolah,” kata Toru sebelum akhirnya pulang bersama Ryota.

***

Malam ini merupakan malam paling suram bagi seorang Tomoya. Setelah pertengkarannya dengan Toru, ia semakin merasakan hal aneh, semacam perasaan bersalah. Sebenarnya ia sendiri ingin melupakan kejadian di gang sepi itu. Ia tidak ingin mengingat lagi kebodohannya.

Tomoya tidak pernah mengira bahwa perlakuannya bisa berdampak buruk kepada sahabat-sahabatnya, terutama pada Taka. Ia hanya mengira bahwa Taka hanya menggertaknya meskipun meninggalkan perasaan malu yang luar biasa di batinnya. Malu, sehingga Tomoya tidak mau lagi mengingat peristiwa itu hingga menghindari tatap muka dengan para sahabatnya.

Tiba-tiba Tomoya mengingat janjinya kepada Taka, bahwa ia akan membunuhnya kelak. Satu hal yang terlintas di benak Tomoya, itu benar-benar terjadi. Buktinya adalah dengan percobaan bunuh diri yang dilakukan Taka. Ia merasa sangat bodoh pada kali ini.

“Tambah lagi!” Tomoya mulai berteriak kepada bartender yang berada di depannya sambil menyodorkan gelas birnya ke bartender tersebut. Bar tender pun menuangkan bir lagi di gelas milik Tomoya.

Beberapa saat kemudian, ia melihat seorang wanita yang sedang mabuk duduk di sebelahnya. Sosok wanita itu tidaklah asing baginya. Penampilan wanita itu tidak jauh berbeda setelah terakhir kali dilihatnya setahun lalu, sebelum keberadaannya menjadi misteri. Kemeja terbuka dengan menunjukkan tank top hitam di dalamnya, rambut bergelombang hitam yang potongannya sebahu dan diikat satu ke belakang,  serta gincu berwarna merah darah di bibirnya. Yang membuat wanita itu berbeda adalah, wajah mabuknya. Wanita itu tidak pernah terlihat seburuk itu sebelumnya.

“Hmm... Sepertinya aku mengenalmu,” wanita itu memulai pembicaraan setelah matanya bertemu dengan mata Tomoya.

Dalam hati, Tomoya telah menebak bahwa wanita itu pasti sudah lupa dengannya. Atau setidaknya, wanita itu tidak mengenalinya karena sedang mabuk.

“Mungkin kita pernah bertemu,” jawab Tomoya dengan nada canggung.

“Hmph... Ah sudahlah. Aku lupa,” wanita itu pun meneguk segelas champagne lagi, “aku lupa siapa aku. Aku lupa segalanya. Keluargaku, anak-anakku... dan... ah! Aku tak ingin membahasnya.”

DEG! Kini hati Tomoya terasa hancur setelah melihat wanita yang selama ini dikenalnya sebagai ibu dari salah satu sahabatnya itu. Sahabatnya yang telah memegang janjinya, untuk dibunuh, untuk mati.

“Aku tidak yakin kalau anak sulungku masih hidup,” tiba-tiba wanita itu mulai bercerita, dan kini Tomoya menyesal karena telah terlihat oleh wanita itu. Seharusnya ia langsung pergi ketika melihat wanita itu karena kini ucapannya telah menjadi suatu misteri baru di benaknya, sekaligus menjadi duri dalam batinnya.

Tomoya tidak menanggapi wanita itu karena ia tidak menginginkan cerita mabuknya bertambah panjang. Ia juga tidak mau tahu tentang apa yang telah terjadi di dalam kehidupan keluarga orang lain. Ia tidak mau meneruskan perasaan bersalahnya. Kini Tomoya meneguk lagi bir miliknya dengan penuh kepahitan di seluruh batang lidahnya.

“Nak! Kau masih muda. Jangan biarkan dirimu rusak di masa mudamu,” kata wanita itu secara tiba-tiba sembari tersenyum kecut lalu bernjak meninggalkan bar dengan langkah berat karena masih terpengaruh alkohol, “Jaga dirimu! Tomoya.”

Sial! Ternyata wanita itu menyadari siapa dirinya. Tomoya kini semakin dibanjiri rasa bersalah sekaligus rasa keingintahuan. Kelakuan Nyonya Masako tidak pernah seperti ini sebelumnya. Apapun ini, pasti masalah besar telah terjadi di dalam keluarga Nyonya Masako.

Tomoya tidak pernah sekalipun merencanakan semua ini. Ia tidak pernah menginginkan kehancuran dalam hidupnya, itu intinya. Penampilan band itu menurutnya hancur, ia tidak mau. Ia menjadi emosi dan melakukan tindakan bodoh, ia pun tidak mau. Namun segalanya sudah terjadi dan mengalir begitu saja. Nasi sudah menjadi bubur. Tindakannya kepada Taka waktu itu hanya didasari emosi, bukanlah rencana matang seorang psikopat. “Namun kenapa hal itu membawa kehancuran, bahkan dalam keluarga Taka?” Batinnya.

Kesedihan pun mulai membasahi batin Tomoya, dan membawa perasaan bersalah yang luar biasa. Kini ia hanya sanggup meneguk birnya yang menurutnya bisa mengusir perasaan itu. Ia memutuskan untuk tidak peduli. Ia memutuskan untuk melupakan pertemuannya dengan Nyonya Masako tadi. Ia hanya bertemu dengan wanita mabuk yang tidak dikenalnya.

“Apakah kau mengenal wanita tadi?” Bartender pun bertanya kepada Tomoya. Bartender tersebut merupakan seorang wanita berpostur tinggi yang berusia sekitar tiga puluh tahun, berambut pendek dan terlihat sangat cantik.

“Tidak.”

“Ah! Kasihan dia,” Bartender itu menunjukkan wajah simpatiknya. “Dia jadi sering kesini setelah diceraikan suaminya. Dia juga sering bercerita kepadaku tentang keluarganya.”

“Cerai?” Tomoya pun terkejut dengan penjelasan bar tender itu.

“Biasanya dia menunggu sampai pagi disini, tapi kali ini dia pulang cepat,” bartender itu pun bercerita, “Ya, dia sering tiba-tiba mencurahkan isi hatinya dalam keadaan sadar ataupun mabuk kepadaku.”

“Sadar maupun mabuk?”

“Iya. Dia selalu bernyanyi disini setiap Sabtu malam. Ya, dia bekerja disini setiap hari Sabtu. Suaranya merdu sekali.”

“Oh.”

“Anak sulungnya juga sakit-sakitan. Ia tidak bisa menemuinya karena mantan suaminya menghalanginya,” tiba-tiba bartender itu mengejutkan Tomoya lagi.

“A-apa? Anak sulungnya? S-sakit apa?”

“Aku tidak tahu, dia tidak mengatakannya. Sepertinya buruk karena ia selalu mengucapkan bahwa ia tidak yakin anak sulungnya masih hidup.”

“T-tidak mungkin,” Tomoya yang mendengarkan cerita bartender itu pun langsung pergi meninggalkan Bar karena kini perasaannya sudah tidak karuan. Perasaan acuhnya mulai terhimpit karena kini ia benar-benar merasa bersalah.

Hanya kalimat “Apa yang telah kulakukan?” lah yang selalu diucapkan Tomoya selama perjalanan pulangnya. Disamping itu, ia tidak tahu harus berbuat apa setelah rangkaian kejadian yang dialaminya. Ia sama seperti Toru, tidak pernah mengetahui apapun yang dialami oleh sahabat-sahabatnya karena selama ini ia selalu fokus dengan dirinya sendiri. Ia egois dan masa bodoh dengan apapun. Bahkan sikap senioritasnya pun telah merusak banyak hal dalam persahabatan yang dijalaninya.

(To be continued)



What's next? Tell me what your prediction is...!
p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!


Baca juga Song Fiction "Heartache"

Baca juga cerita fiksi lainnya, disini.

Thanks for reading :)

3 comments:

  1. kereeen lanjutanya ^__^ takanya mati apa enggak nantinya.

    cepet update ya ^_^ semangaat kakk

    ReplyDelete

Feel free to give me your opinion :D