Tuesday, December 25, 2012

Merry Christmas 2012!

Woy! Selamat Natal ya!
Hari ini kita sambut lahirnya Sang Penyelamat...
Yesus hadir untuk kita.
Semoga kita akan selalu dilimpahi rahmat dan berkat tak terhingga dariNya.
:D

Saturday, June 23, 2012

No Limit (part 1)


“Sayang, kita akan bersama selamanya. Selamanya.”
            Ucapan dari Pierre yang membuatku terus sabar dalam penantian ini. Aku menanti dia yang sedang berusaha mendapatkan gelar Doktornya di Amerika. Aku dan dia terpisah jauh. Sekarang aku berada di Perancis untuk mendapatkan gelar magister untuk pendidikan seni.
            Sebenarnya aku dan Pierre hidup dalam dua dunia yang berbeda jauh. Dia adalah seorang ilmuwan dan aku seorang seniman. Bahkan kebangsaan kami berbeda. Dia dari Perancis asli sedangkan aku dari Indonesia. Kami bertemu di dalam gereja ketika kami sedang mengikuti Misa. Kebetulan ia berada di sebelahku. Entah mengapa sorotan matanya sangat tajam menatapku. Dan setelah Misa selesai ia mengajakku berkenalan. Aku baru tahu jika sebenarnya dia adalah seorang dosen Fisika. Aku heran sekali, orang sepintar dia mau mengenalku yang hanya seniman dan tidak tahu apa-apa akan dunianya.
            Sebulan setelah aku  mengenal Pierre, ia menyatakan cintanya padaku. Aku semakin tidak percaya bahwa seorang yang jenius sepertinya bisa mencintaiku. Sebenarnya aku merasa canggung, sangat canggung. Tetapi kata-kata romantisnya telah membunuh kecanggunganku. Dia tidak terlihat seperti ilmuwan ketika mencintaiku dan aku malah tidak terlihat seperti seniman ketika mencintainya. Kami sama. Kami sederajad dan sepertinya memang pantas untuk bersama. Walaupun masih banyak lagi perbedaan diantara kami cinta itu tetap tumbuh subur sesubur anggur yang manis tumbuh disini.
            Aku ingat ketika kami sedang berada di dekat menara Eifel. Pierre menggenggam tanganku dengan erat. Tatapan matanya membunuhku dan membuatku terhanyut didalam arusnya. Dan ia juga tersenyum padaku,
“Sayang, aku ingin kita bersama selamanya.” Katanya pelan dengan bahasa Perancis,
“Aku juga sayang. Tapi apa kamu yakin?” balasku,
“Aku sangat yakin padamu. Apa yang harus aku yakini lagi?”
“Aku bukan seorang ilmuwan sepertimu aku hanya seniman dan aku tidak sepintar kamu.”
“Sayang, cinta itu bukan hanya terbatas kepada status dan juga kecerdasan atau sebagainya. Kita sederajad karena cinta. Jadi, tidak ada masalah jika kita bersatu.” Kata Pierre lembut,
“Kau benar, namun apa kata orang lain? Apa kata orang tuamu? Keluargamu?”
“Semua orang, semua makhluk, semua benda, semuanya. Bahklan Tuhan akan berkata kita akan bersama selamanya. Jenna, sayangku. Kamu harus terima itu. Kamu masih cinta kan padaku?”
“Aku akan selalu mencintaimu Pierre.”
Lalu tanpa sadar ia mendekatkan wajahnya padaku dan menghampiri bibirku. Aku mulai merasakan ciuman lembutnya. Ciuman cerdas seorang ilmuwan yang sangat kucintai. Ciuman hangat seorang Profesor tampan dan manis itu melemahkanku, membelai mulutku, lidahku.
            Tanpa sadar hubunganku dengan Pierre sudah menginjak satu tahun. Kami merayakan ini dengan makan malam di apartemenku. Aku sudah buatkan makanan kesukaannya dan aku juga telah sediakan minuman anggur yang paling nikmat. Aku yakin ini akan menjadi hal yang menyenangkan. Namun dibalik kegembiraan, kebahagiaan dan keindahan malam itu tersirat rasa sedihku karena Pierre ternyata akan pergi ke Amerika untuk melanjutkan studinya. Ia ingin mendapatkan gelar Doktor. Aku tak habis pikir. Aku kalah banyak darinya. Namun aku lebih tidak habis pikir bahwa dia akan pergi ke luar negeri seperti ini.
@@@
            Setelah dua tahun aku menunggu. Akhirnya Pierre kembali ke Perancis. Kini dia telah mendapatkan gelar Doktornya dan aku juga telah mendapatkan gelar Master. Kami sama-sama mendapatkan gelar yang kami inginkan. Sebenarnya aku telah mendapatkan gelar itu setahun lalu dan aku telah bekerja disebuah perusahaan fashion terkemuka di dunia.
            Aku sangat terkejut ketika Pierre tiba-tiba melamarku. Ia memintaku untuk menikahinya. Aku sangat senang karena aku benar-benar mencintainya. Ia memasangkan sebuah cincin di jari manisku. Aku tidak percaya kami akan menikah.
            Satu minggu sebelum aku dan Pierre menikah, kami mendapatkan sebuah musibah. Kami mengalami kecelakaan mobil dan kecelakaan itu telah merengkut nyawa Pierre dan semuanya sirna seketika. Tidak ada menikah, tidak ada kebahagiaan lagi. Bagiku, hanya dia yang bisa membuatku benar-benar cinta.
@@@
            Sekarang aku berada disamping makam Pierre. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membuktikan cintaku padanya. Suasana disini sangat sepi, tak tampak seorangpun di pemakaman ini. Pierre, andaikan kamu disini. Aku hanya berharap untuk melihatmu.
            Tiba-tiba berhembuslah angin kencang dan aku hanya memejamkan mataku dan mencoba untuk bertahan dari tiupan angin itu. Namun suatu hal aneh menimpaku setelah angin kencang itu bertiup.
            Perlahan-lahan aku membuka mataku. Aku sangat terkejut karena semuanya berubah. Aku tidak sedang berada di pemakaman sekarang. Aku berada dalam ruang kerja Pierre di Universitas. Tempat dimana aku sering menemuinya sepulang kuliah.
            “Sudah berapa lama kamu menungguku, Jenna?” terdengar suara yang membuatku terkejut. Suara yang sangat aku kenal bahkan aku rindukan. Perlahan aku mencari arah suara itu.
            Aku terkejut. Aku sulit menerima ini. Suara itu ternyata adalah suara Pierre yang sekarang berada di dekat pintu. Aku sangat takut. Aku takut terjebak dalam alam lain. Apakah aku bermimpi? Ini sangat menakutkan. Aku hanya terpaku dan diam saja. Aku tidak menjawab pertanyaan Pierre sepatah katapun.
            “Mengapa kau terdiam, Jenna? Bukannya kamu menantiku? Bukannya kamu merindukanku?” Dia bertanya lagi. Apakah dia benar-benar Pierre? Tidak mungkin. Dia sudah pergi dan aku sedang berada di makamnya. Aku hanya bermimpi! Aku memang merindukannya. Tapi aku tidak boleh terlalu berkhayal tentang dia.
“Siapa kamu?” Aku memulai pertanyaanku perlahan,
“Aku? Apakah kamu sudah lupa denganku? Aku Pierre. Kekasihmu, tunanganmu.” Jawabannya itu membuatku semakin merasa bahwa aku sudah gila.
“Stop! Don’t make me mad!” Aku berteriak dan dia malah mendekatiku. Apa-apaan ini? Aku merasa benar-benar jatuh dalam imajinasi yang berlebihan.
“Aku benar-benar Pierre. Kamu tidak gila. Ini benar-benar aku.” Dia semakin berusaha meyakinkanku.
“Tidak mungkin. Kamu sudah...”
“Meninggal? Iya, aku memang sudah meninggal.” Suatu jawaban yang membuatku semakin ketakutan. Namun, jika ternyata aku juga ikut mati bersama Pierre itu terasa adil bagiku.
“Pierre...” aku mulai menitikkan air mataku, aku percaya dia benar-benar Pierre.
“Jangan khawatir. Kita akan selalu bersama.” kata Pierre, aku tak kuasa menahan ini. Aku langsung berlari memeluknya. Bahkan aku merasakan dia masih hidup karena aku bisa memeluknya seerat yang kumau.
“Apakah aku sudah mati? Apakah aku sekarang berada di surga denganmu? Apakah ini yang namanya surga?” tanyaku,
“Kamu masih hidup, Jenna. Selama kamu masih mencintaiku. Selama hati kita masih bersatu. Kita akan selalu bertemu.” Jawabnya. Aku tak tahu apa maksud semua ini. Akan tetapi aku merasa bahwa aku sangatlah beruntung sekarang.


(To be Continue)
Kira-kira apa yang membuat Jenna bisa bertemu dengan Pierre lagi?

Saturday, June 16, 2012

Gone Too Soon

Sebelum aku nulis. aku mau ngutip lagunya Simple Plan dulu dengan judul yang sama sama :)

"Like a shooting star, Flyin' across the room
So fast so far, You were gone too soon
You're part of me, And I'll never be
The same here without you
You were gone too soon"

XH...
U're my second family in my life
Thanks for everything...
U will never end...

I love u...
I proud of you...

XH...
Kelas yang paling misterius
Karena kalian selalu bervariasi
Kelas paling labil
Karena dari sekian masalah bercampur aduk
Menjadi suatu hal yang berbeda
Kelas paling asik
Kalian hebat!
Apapun yang terjadi kalian hadapi dengan
tangan terbuka...
Kalian hadapi dengan mental baja

Setahun kita bersama...
Bahkan baru sebentar kita berakrab-akrab
Namun...
Sekarang kita harus berjuang dengan kelas yang berbeda-beda
Tapi berjanjilah!
Dengan genggaman tangan ini kita tetap keluarga
Sampai kapanpun!
Selamanya...
XH iku esa...
XH iku setunggal...

Kalian datang...
Dalam hidupku yang penuh tanda tanya
Dalam hidupku yang gelap dan tak tahu arah

Buat kamu yang harus berjuang lagi...
Berjuanglha selagi kamu bernafas!
Berjuanglah selagi matahari masih terbit dari timur
Berjuanglah selagi darah pahlawanmu mengalir deras

Ingatlah!
Air mata yang tertetes
Adalah cahaya yang akan menerangimu
Bukan sekedar penyesalan dalam pertumpahan darah ini!
Tak ada yang sia-sia
Karena kita harus terus berjuang
Dalam semangat MAGIS
Demi besarnya kemuliaan Allah

U're part of me
We are family
XH 2011-2012 SMA Kolese Loyola
Hong Family! :')



Sorry kalo lagi-lagi aku "mbacot"
Tapi ini jujur guys!
Sorry kalo aku suka nakal, suka bikin masalah di belakang...
Sorry kalo aku sering mangkir kerja dan sebagainya
Sorry kalo kejelekanku keluar semua ke kalian
Thx a lot ya buat selama ini
Bantuan pelajaran ya mental, ejekan, bahkan marah-marahnya
Semuanya bikin aku belajar kalo inilah hidup... :)

Monday, March 12, 2012

Beruntunglah Hey Cewe Cute Disana!

Beruntunglah lo yang jadi cewe girly dan suka pake barang serba cute
Beruntunglah karena lo bisa pake itu semua
Sedangkan gue?
Badan gue pantesnya dikasih pernak-pernih serba item, gothic, metal, dsb.
Walau sebenernya gue bosen
Rambut gue cuma bisa dikuncir satu
Gue nggak pede dengan aksen cewe padahal gue ini cewe tulen
Gue disangka nggak normal
Suara gue gedhe
Badan gue gedhe
Sayangnya jalan gue segaris
Gue belum nemuin jati diri
Gue labil...
Tapi gue hidup di tengah anak yang berperilaku SOK DEWASA
Dan gue yakin mereka sebenernya nggak dewasa
Kalo gue pake barang girly
Mereka heran...
Kalo gue dandan
Mereka heran...
Katanya alay katanya lebay katanya kemayu
Gue cewe, bego!
Nyadar nggak sih?
Gue suka sama cowo
Mereka heran...
Apa sih maunya???
Sok care amat sih
Carenya cuma sama hal yang jelek
Tapi NGGAK PERNAH LIHAT BAGUSNYA GUE
Gue bingung...
Gue makin labil
Gue cari semua yang pas
Nggak ada...
Gue penge tampil cute sekali aja tanpa dikata-katain
Tapi susah...
Emang beruntunglah lo
Hey cewe cute disana!



***based by my true story***

Sunday, March 11, 2012

Puisi Cinta Yang Depresi

"Sayang, kamu tau nggak kalau aku akan selalu menaruhmu dihatiku?"
"Aku mau kamu juga taruh aku dalam hatimu!"
Buat apa aku menaruhmu lagi di hatiku?
Batinku...
Kamu tak akan pernah tepati janjimu
Mulutmu manis semanis empedu
Tak dapat lagi aku percaya padamu
Kamu bagaikan SAMPAH BERJALAN
Tidak berguna...
Habis semua cinta ini
Kamu kemarin berjalan sambil menggandengnya
Taukah kamu bahwa aku melihatnya
Kamu mencium bibirnya
Yang tak pernah kamu lakukan padaku
Aku sakit hati...
Tapi aku tak mati
Cintaku belum mati namun sikapku padamu yang mati
Kamu tau?
Setiap hal telah ku korbankan untukmu
Namun kamu hanya membalasnya dengan
Ciuman lembut untuk dia
Baiklah aku yang pergi
Menjauhi muka busukmu yang penuh kenistaan



*****Sebelumnya, ini cuma puisi yang fiktif. Jadi buat kalian yang baca. Jangan anggap aku abis putus atau gimana. Karena ini cuma karangan FIKTIF. Makasih udah baca :)

Thursday, March 8, 2012

Cintaku Tertinggal Dihatinya (Cerpen By Request)


                Aku berjalan di tengah keheningan malam. Aku meratapi hidupku yang sepi dan penuh kesedihan. Hari ini memanglah sungguh menyebalkan bagiku. Entah mengapa banyak temanku yang pergi menjauh dariku. Dan kekasihku telah memutuskan hunungan kami.
                Aku tak habis pikir pada kenyataan yang menimpaku. Aku sungguh-sungguh merasa bosan dengan hidupku. Aku pikir hidupku harus berakhir hari ini juga.
                Berjalan terus, aku berjalan terus. Aku berjalan tanpa tujuan pasti. Kakiku melangkah dan melangkah arah pun bukan masalahnya. Dingin malam juga bukan masalah. Dan kini aku sampai diatas gedung bertingkat sepuluh.
                Di atap gedung ini aku ingin mengakhiri hidupku. Aku ingin terjun bebas kebawah. Melayang dan lepaskan semua beban hingga nafasku berakhir. Hatiku sudah hancur. Tak ada yang mempedulikanku, aku memang pantas untuk mati.
                Ketika aku akan mulai turun, seseorang meneriakiku,
“Hey kamu!” katanya,
Aku langsung mencari arah datangnya suara itu. Aku tidak mau ada saksi mata dalam kematianku nanti.
“Siapa kamu?” teriakku kembali sambil mencari orang yang memanggilku,
“Aku tepat di belakangmu!” jawabnya,
Ketika aku menghadap belakang, aku temui seorang pria tinggi kurus berkacamata dan berambut ikal.
“Kamu siapa?” tanyaku,
“Maaf mengganggumu. Aku hanya ingin melihat sebuah atraksi dari sini. Teruskan atraksimu!” jawabnya,
“Atraksi? Maksudmu?” aku bingung dengan maksud pria itu,
“Sudahlah. Teruskan saja terjunnya!” jawabnya,
“Tapi kamu harus pergi dari sini!” perintahku,
“Maaf, dilarang mengusir penonton.”
“Apa sih maumu?”
“Yah, sekarang apa maumu?”
“Kok malah tanya balik?”
“Kenapa kamu ingin loncat dari sini?”
“Bukan urusan kamu!”
“Galak amat sih.”
“Terserah dong!”
“Oke, aku biarkan kamu turun dan membuang segala kesempatan di dalam hidupmu.”
“Apa maksudmu?”
“Sebenarnya masih banyak kesempatan untuk memperbaiki semua masalahmu, tapi kalau kamu masih mau turun, ya silahkan. Abaikan semua kesempatan itu!”
“Cerewet!”
“Apa harus aku bercerita padamu?”
“Cerita apa lagi? Emang benar-benar cerewet ya kamu.”
“Ya sudah. Jangan dengarkan ceritaku!”
                Entah mengapa aku sangat penasaran dengan cerita pria itu dan memutuskan untuk mendengarkannya.
“Okey, aku mau dengarkan ceritamu. Tapi sebelumnya, siapa namamu?” Tanyaku,
“Panggil saja aku Hans. Kamu?”
“Aku Dini.”
“Baiklah, aku mulai ceritaku....
                Ada seorang anak orang kaya yang hidup dalam kemewahan. Semua yang dia inginkan selalu terpenuhi dan ia tidak pernah merasa kekurangan. Namun pada suatu saat, ibunya harus pergi meninggalkannya karena diam-diam telah menikah lagi dengan pria lain. Anak itu menjadi sangat membenci ibunya.
                Suatu ketika, ayahnya juga menikah lagi dengan  wanita lain sehingga ia merasa hidup sendiri. Sebagai seorang laki-laki, ia mungkin tidak terlalu sensitif. Namun karena tidak ada satupun keluarga yang peduli dengannya, ia jatuh dalam pergaulan yang salah dan ia mulai mencicipi indahnya dunia malam.
                Setiap malam, ia selalu pergi ke tempat hiburan dan menggodai wanita-wanita cantik serta mabuk-mabukan. Bahkan ia mencoba untuk menggunakan narkoba. Ia juga lupa kalau dia sudah kelas dua belas SMA dan akan menghadapi ujian kelulusan sehingga dia mengabaikan sekolahnya.
                Hingga pada hari kelulusan, ia mendapati nilainya yang sangat buruk dan hancur. Walaupun dia lulus, nilainya itu tidak bisa membuatnya mudah mendapatkan perguruan tinggi. Padahal sebelumnya dia adalah seseorang yang pintar dengan segudang prestasi. Ayahnya sangat marah dan benar-benar geram dengan kenyataan ini. Keluarganya benar-benar malu padanya.
                Bahkan penderitaannya tidak hanya sampai disitu, ia juga mendapati kenyataan bahwa kekasihnya yang paling dia cintai memutuskan untuk meninggalkannya dan menjadi kekasih sahabat karib yang paling dia percayai. Dia merasa dihianati hingga suatu saat seorang teman wanitanya yang lain datang dan mengaku telah dihamili olehnya. Dia merasa hidupnya penuh dengan maksiat dan kenistaan.
                Karena sangat putus asa, ia memutuskan untuk terjun dari atas gedung berlantai sepuluh dan mati. Namun yang terjadi adalah, dia tidak mati. Dia hanya lumpuh dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sekujur tubuhnya seperti mati tapi ia hidup.
                Dalam kelumpuhannya ia hanya bisa mendengar apa yang dikatakan ayahnya yang ternyata masih menyayanginya apapun yang terjadi, bahkan semua orang yang telah menghianatinya datang dan mereka meminta maaf padanya serta seorang wanita yang mengaku hamil itu ternyata tidak hamil. Dan ternyata banyak sekali orang yang begitu menyayanginya. Yang sangat pareh adalah kenyataan bahwa sebenarnya ibunya itu telah mendaftarkannya disebuah Universitas terbaik di Amerika dengan menempuh segala perjuangan.
                Dia menyesali pilihannya untuk mati dan ia ingin hidup. Namun terlambat, pada hari ketiga setelah ia terjun itu ajal menjemputnya. Ia hanya pasrah mendapati hal itu. Bahkan dia menyesal karena ternyata banyak sekali orang yang menyayanginya.
Jadi seperti itu.” Cerita Hans berakhir.
“Terus, apakah pria itu punya ciri?” tanyaku,
“Ehm, dia selalu memakai gelang kain berwarna hitam dan bertuliskan namanya. Dia menganggap itu adalah lambang kehidupannya.”
“Sedih sekali hidupnya.”
“Sepertinya kamu masih beruntung dengan hidupmu, Dini.”
“Ah, benar Hans. Ceritamu membuat aku tidak ingin terjun.” Aku pun tersenyum pada Hans dan ia membalas senyumanku. Aku melihat senyumannya itu dan merasa jatuh cinta padanya. Sepertinya dia pria yang baik. Aku harap bisa dekat dengannya.
“Ehm, sekarang lihat bintang-bintang itu dan berdoalah supaya hidupmu menjadi lebih baik setelah ini.” Kata Hans.
“Baiklah.” Lalu aku memejamkan mataku dan berdoa. Aku ingin hidupku menjadi lebih baik.
                Setelah berdoa, aku membuka mata dan kudapati bahwa Hans tidak ada. Aku mencarinya sambil berteriak,
“Hans! Hans!” seruku, namun tidak ada seorangpun yang menjawabku.
Aku mencari Hans disekelilingku, namun dia tidak ada. Aku benar-benar bingung dan merasa kehilangan karena aku benar-benar mencintainya. Hingga tiba-tiba datanglah seorang satpam,
“Hey! Ngapain kamu disini?” tanya satpam itu,
“Saya mencari teman saya.” Jawabku,
“Tidak ada siapapun disini.”
“Tidak mungkin pak. Jangan-jangan dia sudah turun?”
“Tidak ada seorangpun dibawah. Siapa temanmu?”
“Ehm, namanya Hans pak.”
“Ha...Hans? Apakah nama lengkapnya Yohanes? Yohanes siapa ya?” gumam satpam itu,
“Saya tidak tahu pak.” Lalu ketika aku melihat ke bawahku, aku menemukan sebuah gelang hitam dengan tulisan Yohanes Hansel dan aku ingat dengan cerita Hans tadi.
“Ini gelangnya siapa?” tanya satpam itu setelah melihatku memperhatikan gelang itu.
“Saya juga bingung pak.” Dalam hatiku, aku sangat ketakutan karena aku tahu gelang ini psti milik pria yang diceritakan Hans tadi,
“Coba saya lihat!” lalu satpam itu memperhatikan gelang hitam yang aku pegang. “Ya ampun mbak! Iya ini namanya, Yohanes Hansel. Apa di-dia tinggi, kurus dan berkacamata?” Tanya satpam itu bagaikan mengintrogasiku,
“I-iya pak. Kok bapak tahu? Bapak kenal?”
“I-ini pria yang loncat dari sini sebulan yang lalu.”
“Apa pak? Jangan bercanda pak! Tadi saya habis bicara sama dia.”
“Wah, mbak. Mbak sudah ngomong sama hantu tuh. Makanya jangan main ke atas sini malem-malem mbak!” kata satpam itu.
                Lalu aku bergegas pulang. Perasaanku benar-benar campur aduk antara sedih, bingung, ngeri dan masih ada keinginanku untuk bersama Hans. Aku tidak menyangka sebelumnya bahwa dia akan menceritakan dirinya sendiri. Sangat disayangkan kalau ternyata dia sudah meninggal. Padahal aku sudah menyimpan rasa cinta. Ah, biarlah dia pergi. Karena cintaku tertinggal di hatinya.

Requested by :
*Tittle by : Mutiara Pratiwi
*Story by : Tyas

Sunday, February 26, 2012

Sampai Kapan Aku Harus Menunggu (Cerpen By Request)


                Disini, di bawah sinar rembulan. Aku selalu menunggunya, menunggu dia yang aku cintai. Walaupun sia-sia saja penantian ini.
                Aku seorang yang bisu. Bisu dalam cinta. Tak pernah aku ungkapkan rasa rinduku padanya. Bahkan hanya air mata yang keluar dari mataku ketika mengingatnya.
                Dulu aku dan dia selalu bersama di dalam sebuah persahabatan. Di masa susah dan senang. Tak pernah kita terpisah. Hingga pada suatu saat aku harus menerima kenyataan pahit bahwa dia harus berpisah dariku.
                Belanda. Dia di Belanda. Di sebuah negara yang membuat dirinya sendiri damai. Membuat kebebasan mutlak bagi dirinya sebagai seorang gay. Mungkin semua orang berpikir bahwa aku ini wanita bodoh yang tidak bisa mencari seorang pria sejati. Tidak! Aku tegaskan pada kalian! Dia pria sejati dimataku. Dia sosok yang tegas. Dialah yang membuatku merasa berbeda.
                Selama kami bersahabat. Tak pernah aku lihat dia menyukai sesama jenisnya. Bahkan semua orang menganggap kami sebagai sepasang kekasih. Kami bersahabat semenjak kami duduk di bangku SMA. Entah mengapa, kami selalu masuk dalam kelas yang sama saat pembagian. Sehingga itu membuat kami tak terpisahkan. Aku benar-benar merasakan ada cinta diantara kami. Namun semua itu pupus semenjak dia berkata tentang kehidupannya yang sebenarnya menjelang hari kelulusan. Hatiku sakit. Sepertinya percuma saja aku mengungkapkan cintaku padanya,
“La, maafin gue ya.” katanya pelan,
“Maaf kenapa Joe?” tanyaku,
“Sheila. Gue gu-gue...”
“Lo kenapa?”
“Gue gay La.”
Mendengar ucapannya itu hatiku serasa tersayat. Seorang Joe yang sangat terkenal sebagai pria tertampan di sekolah dan terkenal pandai itu ternyata gay. Aku seperti tertampar.
“Lo bercanda kan?”
“Eng-enggak La.”
“Nggak mungkin. Gue nggak pernah lihat lo pacaran sama cowo!”
“Ta-tapi gue pernah backstreet sama...”
“Sama siapa Joe?”
“Randy.” jawabnya singkat dan dia menundukan kepalanya.
Randy? Aku benar-benar tidak percaya. Randy adalah mantan pacarku. Dan dia juga gay? Apa nasibku yang mencintai seorang pria gay? Kenapa?
“Joe! Apa lo nggak nyadar kalo selama ini ada cewe yang bener-bener sayang sama lo?” Bentakku,
“Maaf La. Tapi gue beneran bahagia dengan keadaan ini.”
“Lo bodoh Joe! BODOH!” Bentakku lagi, lalu aku pergi meninggalkannya.
                Aku masih terpukul dengan ungkapan Joe. Aku merasa terbunuh saat itu. Padahal aku ingin mengatakan bahwa aku mencintainya lebih dari sahabat. Mulutku membisu dengan sendirinya. Hanya air mata yang mengalir dari mataku ini.
                Setelah kelulusan, Joe melanjutkan kuliahnya ke Belanda. Dia hanya beralasan bahwa disana dia ingin belajar dengan baik. Namun aku tahu alasan sesungguhnya. Agar dia bisa bebas menikmati penyakitnya. Penyakit gay yang sangat menjijikanku.
                Walaupun aku tidak bisa memaafkannya. Aku masih saja menunggunya. Aku masih saja mengenangnya. Aku menjadi bodoh karena cinta. Namun aku bisu dengan cinta.
                Tiga tahun kemudian aku menerima sebuah surat dari Joe. Sebuah kabar bahwa dia akan pulang ke Indonesia sebulan kemudian. Tepat saat Valentine. Aku hanya menunggunya dengan sabar. Walau hatiku masih terluka menerima kenyataannya.
                Hari Valentine tiba. Joe benar-benar kembali. Dia memberiku sebuah hadiah. Dia menyatakan cintanya padaku. Dia berkata bahwa dia sudah tidak mau memiliki pasangan sejenis lagi. Namun itu sungguh membuatku bingung. Aku benar-benar membisu ketika dia berkata cinta.
                Aku memang menerima cintanya. Dia hadiah terindah di hari Valentine ini apalagi sekarang dia memang sudah jauh berbeda. Dia Sarjana sekarang. Dia lulusan Belanda. Dia memang hebat karena hanya dalam tiga tahun saja dia sudah bisa lulus sedangkan aku masih menunggu setengah tahun lagi untuk lulus.
                Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setelah aku tahu bahwa Joe positif HIV. Apakah ini alasan dia untuk tidak lagi gay?  Lagi-lagi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin marah, namun di dalam hatiku aku masih mencintainya.
                Apapun kondisi Joe aku tetap mencintainya. Hingga dia benar-benar tidak berdaya dan hanya terbaring di atas tempat tidur. Sudah satu minggu dia menginap di rumah sakit dengan kondisi yang semakin parah.
“Sheila.” Ucapnya lirih,
“Joe? Lo harus kuat!” Kataku,
“Kapan gue bisa pulang ke rumah?”
“Tunggu kondisi lo membaik ya?”
“Ya. Gue pengen keluar dari kamar. Gue bosen tidur terus.”
“Oke. Gue bawa lo ke taman ya?”
“Iya.”
Aku membawa Joe ke taman untuk melihat matahari tenggelam. Sebenarnya aku sangat sedih melihat kondisinya sekarang. Dulu dia seorang yang benar-benar kuat dan selalu menang dalam pertandingan basket. Namun, dia menjadi lemah dan tak berdaya.
“Sheila. Selama gue sama lo. Gue nggak pernah bikin lo bener-bener bahagia.” katanya,
“Nggak kok. Lo itu segalanya buat gue. Lo selalu bikin gue bahagia. Coba kalau gue nggak bahagia. Gue nggak bakalan cinta sama lo.”
“Ah lo bisa aja. Oh ya, lo harus inget gue setiap malem. Apalagi waktu matahari tenggelam.”
“Emang lo mau balik ke Belanda lagi?”
“Enggak. Gue mau balik ke tempat yang bener-bener indah.” lalu dia tersenyum,
“Jangan bercanda deh!”
“Gue serius. Gue bakal tenang disana. Apalagi kalau lihat lo.”
“Nggak! Mending gue nggak lihat matahari tenggelam daripada lo pergi.”
“Cepat atau lambat gue bakal pergi La.”
Air mataku menetes. Hatiku tersayat setelah mendengar perkataan Joe. Apa aku harus menunggunya lagi? Sampai kapan?
                Selama aku menghapus air mataku, aku tidak sadar kalau hal buruk menimpa Joe. Seketika darah dari hidungnya keluar begitu saja. Aku sangat panik ketika melihat wajahnya yang begitu pucat dan sepertinya ia menahan sakit.
“Joe! Lo nggak pa-pa kan?” Tanyaku dalam kepanikan,
“Eng-enggak pa-pa kok.” jawabnya pelan dan dia benar-benar menahan sakit,
                Aku membawanya kembali ke kamarnya. Walau aku tahu darah seorang positif HIV itu mengandung virus dan dapat mengancamku. Aku tetap bersedia untuk menghapusnya,
“Udah La! Jangan ikutan hapus darah gue. Ntar lo ketularan!” kata Joe merasa bahwa dia menjijikan,
“Nggak Joe! Gue nggak peduli sampe gue mati juga nggak peduli.”
Sepertinya Joe benar-benar tidak kuat dengan kondisinya itu. Aku merasakan bahwa dia sangat kesakitan. Lalu dia tidak sadarkan diri.
                Semenjak itu, aku berusaha untuk menjaga Joe. Dia sangatlah berharga bagiku. Aku tidak mau menunggunya lagi. Aku ingin selalu bersamanya. Namun takdir berkata lain. Tidak ada kuasa yang lebih besar daripada kuasa Tuhan. Di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh dua, dia pergi untuk selamanya.
                Hanya air mata yang bisa aku berikan untuknya. Aku mengingat senyumannya ketika ia akan pergi. Senyuman kedamaian di wajahnya. Dan lagi-lagi aku tidak mampu berbuat apapun. Aku hanya terdiam membisu.
                Malam ini semakin dingin saja. Udara dingin ini menusuk tulangku bersama kenangan akan Joe yang sudah aku uraikan. Sampai sekarang aku tetap menunggunya. Menunggu sebuah hal yang sia-sia. Menunggu hal yang sudah pergi. Rasa cinta yang abadi membuatku rela untuk selalu mengenang dan menunggunya. Hanya satu pertanyaanku. Sampai kapan aku harus menunggu?


Requested by Kharis

Friday, February 17, 2012

Rumput Yang Bergoyang (Cerpen By Request)



                Gue selalu membayangkan akan datangnya seorang malaikat. Malaikat yang selalu tersenyum sama gue setiap gue ada masalah. Malaikat yang bikin hati gue tenang. Malaikat yang menyelamatkan hidup gue yang sunyi ini.
                Gue  Ardhy. Seorang cowo biasa aja dengan kehidupan biasa aja walaupun temen-temen gue bilang kalo gue ini rada rusak. Tapi bagi gue, gue ini biasa aja. Gonta-ganti cewe udah biasa, ngerokok juga biasa, cabut pas jam sekolah udah biasa, minum malah biasa banget. Tapi, entah kenapa gue bosen sama semua itu.
                Sore hari sepulang sekolah, gue pengen sendirian. Entah mengapa gue males kumpul bareng temen-temen gue di tempat nongkrong kami. Padahal itu hobi gue sepulang sekolah. Tapi kali ini gue putusin buat menyendiri di padang rumput.
Niatnya sih memang buat menyendiri. Tapi ada sesuatu yang bikin gue lupa sama niat itu sewaktu gue duduk diantara rumput-rumput yang bergoyang di padang rumput. Gue lihat seorang cewe lagi nge-dance sendirian. Gue bingung juga kenapa dia goyang-goyang. Gue curiga, jangan-jangan dia yang bikin rumput-rumput ini bergoyang.
Karena gue bawa kamera, gue langsung foto cewe itu. Ternyata dia sadar kalo tadi gue foto dia. Dia mendekati gue,
“Heh! Ngapain lo foto-fotoin gue?” Tanya cewe itu sambil bentak-bentak,
“Eng-enggak pa-pa.” jawab gue,
“Lo mau cari gara-gara sama gue?”
“Eh, cantik-cantik kok galak.” gue mulai godain dia,
“Nggak usah pake ngerayu-ngerayu!”
“So-sorry. Emang nggak boleh kalo gue fotoin lo?”
“Nggak lah! Kalo lo itu penjahat gimana?”
“Ye! Mana mungkin cowo keren kayak gue jahat.”
“Keren? CUIIIHHH!” Jawaban dia yang satu ini bikin gue geram,
“Lo itu cewe apa cowo sih?”
“Lo nggak lihat? Jelas-jelas gue cewe!”
“Galak amat.”
“Suka-suka gue dong!”
Tiba-tiba handphone cewe itu berbunyi. Dan dari cara bicaranya waktu bertelepon, dia lagi bicara sama cowonya. Setelah dia mematikan teleponnya,
Sorry, gue nggak ada waktu buat ladenin cowo nggak mutu macem lo!” kata cewe itu,
“Oke. Silahkan.” kata gue, lalu cewe itu langsung pergi.
ooo
                Beberapa hari setelah gue ketemu cewe galak itu, gue mulai ngerasain sesuatu yang aneh. Semacam mikirin dia. Padahal cewe itu udah bikin gue ilfil setengah mati. Nggak lucu kalo gue melamun cuma bayangin wajahnya yang putih banget dan sedikit sangar itu. Padahal gue udah punya cewe.
                Pulang sekolah, lagi-lagi gue ke pandang rumput. Lihat rumput-rumput yang bergoyang, gue jadi ngebayangin cewe galak yang pernah gue temuin disini. Gue bayangin badannya yang seksi, bibirnya yang nggak kalah seksi ehm, sama kulitnya yang mulus. Satu lagi, rambutnya yang kaku. Lucu banget dia. Tapi kalo marah. Gue yakin setan aja pada lari kalo lihat dia.
                Handphone gue berdering dan ternyata cewe gue telepon. Sebenernya gue males ngangkat. Tapi dia udah telepon gue berkali-kali. Karena gue kasihan, ya gue angkat aja.
“Halo. Imel?” kata gue pelan,
“Ardhy! Ada kabar buruk!” kata Imel –cewe gue-,
“Ka-kabar buruk?”
“Sohib kamu, si Bagus.”
“Bagus? DIA KENAPA MEL?” Tanya gue panik,
“Dia, di-dia kecelakaan. Sekarang dia ditangani di rumah sakit.” Jawab Imel,
“Aku kesana!”
“Cepetan Di!”
Setelah gue tutup telepon dari Imel, gue langsung ke rumah sakit. Apalagi Bagus itu salah satu sohib deket gue. Gue bener-bener panik.
                Sesampainya di rumah sakit, gue bener-bener dapat kabar buruk. Nggak cuma kabar. Gue lihat sendiri. Sohib gue itu sudah pergi. Semua yang ada di rumah sakit itu menangis. Gue yang saat itu nggak siap menerima ini nggak bisa berbuat apa-apa.
                Ketika pemakaman Bagus sedang berlangsung, gue dikagetkan oleh datangnya cewe galak yang pernah gue temui di padang rumput. Dia menangis dan sepertinya dia deket sama Bagus. Bahkan ketika semua orang sudah pergi, dia masih di depan nisan dan memandangi makam itu dengan air mata yang menetes.
                Gue yang saat itu penasaran, langsung mendekati cewe itu.
“Jangan nangis!” kata gue,
“Di-dia pacar gue.” Sahut cewe itu.
Gue bener-bener kaget. Ternyata cewe itu adalah pacarnya Bagus. Selama ini gue nggak pernah tau kalo Bagus itu punya pacar. Bahkan dia selalu diam waktu gue dan teman-teman lain lagi bahas tentang cewe.
“Lo pacarnya Bagus?” Tanya gue,
“I-iya.” jawabnya lalu dia lihat ke arah gue dan berkata, “Lo cowo yang fotoin gue itu?”
“I-iya. Sorry buat waktu itu.”
“Ya. Gue udah maafin lo. Bagus yang ceritain tentang lo ke gue.”
“Siapa nama lo?”
“A-anna. Lo?” Air matanya masih menetes,
“Anna? Nama lo cantik juga. Gue Ardhy. Udah jangan nangis! Bagus pasti sedih kalo lihatin lo nangis.”
“I-iya.” lalu Anna menghapus air matanya,
“Nah gitu dong! Kan cantik tuh.”
“Lo bisa aja deh!”
“Kalo gitu kan Bagus jadi nggak sedih.” Kata gue dan Anna tersenyum.
                Semenjak pertemuan kedua gue dengan Anna alias si cewe galak itu, gue jadi suka ketemuan sama dia yang ternyata adek kelas gue sendiri. Gue jarang banget lihat dia karena dia jarang banget keluar kelas. Dia memilih buat main-main sama temen-temennya di dalem kelas waktu istirahat. Tapi, ketemuan gue dan Anna berlangsung diam-diam. Nggak ada yang tau kedekatan gue sama dia. Bisa dibilang, gue punya hubungan backstreet sama dia.
                Ternyata Anna memang cewe yang unik. Gue nggak abis pikir kalo dia itu selera humornya tinggi dan kadang-kadang lemot juga. Cara bicaranya juga bikin gue terhibur banget. Sampe-sampe gue lupa sama Imel, cewe gue sendiri. Apalagi sekarang dia juga jarang nemuin gue karena dia sibuk banget. Gue juga bisa sibuk sama adek kelas gue ini.
                Pagi-pagi sebelum gue berangkat sekolah, gue udah dikagetkan dengan SMS dari Imel,
“Sayang, kita putus aja.” bunyi SMS itu,
“Lho kenapa kamu putusin aku?” tanya gue,
“Temuin gue di belakang sekolah!” jawab Imel.
Gue yang bingung langsung berangkat ke sekolah. Gue nggak ngerti maksud Imel ini. Apa dia udah tau kalo gue deket sama Anna? Apa dia punya cowo baru? Otak gue nggak bisa berhenti bertanya.
                Setelah gue ketemu dengan Imel, gue cuma dapet sebuah tamparan. Ternyata dia tau kalo akhir-akhir ini gue sering jalan sama Anna. Imel merasa udah nggak kuat lagi jadi pacar gue. Karena gue nggak pernah care sama dia. Sebenernya gue nyesel karena diputusin sama dia. Tapi gue memang udah jahat sama dia. Selama kami pacaran, nggak pernah satu hari pun gue dekdikasiin buat dia.
                Hubungan gue sama Anna semakin hari semakin deket aja. Bahkan kita selalu jalan setiap malem Minggu. Walaupun terlalu primitif, gue suka ngajakin dia jalan pas malem Minggu.  Saking deketnya gue sama Anna, akhirnya kita jadian. Dan selama gue jadian sama dia, nggak ada rasa pengen mendua. Rasanya cuma dia satu-satunya cewe di hidup gue. Apa ini yang dibilang cinta sejati? Mungkin.
                Pulang sekolah, gue sama Anna langsung ke padag rumput. Kami menghabiskan sore disini.
“Gue nggak percaya, kita bisa kesini lagi dengan status pacaran.” kata gue ke Anna,
“Iya. Dulu gue marah-marahin lo disini.” katanya,
“Oh ya, lo anak dance ya?”
“Iya. Pasti gara-gara lo mergokin gue nge-dance disini ya?”
“Iya iyalah. Kok lo malah nge-dance disini?”
“Waktu gue lihat rumput-rumput bergoyang, gue kayak pengen ngikutin mereka bergoyang.”
“Wah! Gue kirain lo yang bikin rumput-rumput disini bergoyang.”
“Enak aja lo!”
“Lah kan gue nggak tau.”
“Iya iya.”
“Gue pengen lihat lo ngedance.”
“Ehm, oke deh.”
                Lalu Anna mulai nge-dance. Walaupun nggak ada musik, tapi dia tetep nge-dance dengan energik. Sambil ngelihatin dia nge-dance, gue ambil sebatang rokok dari tas gue. Waktu gue akan menghisap rokok gue itu, Anna lihatin gue dan dengan cepat dia ambil rokok gue itu.
“Jangan pernah lo ngerokok di depan gue!” bentak Anna sambil membanting lalu menginjak rokok gue itu,
“Apa-apaan sih lo?”
“Gue cuma nyelametin lo!”
“Tapi kenapa?”
“Apa lo mau mati muda karena ini?”
“Nggak mungkin juga ah.”
“Jangan pernah sepelein apa yang gue omongin!” lalu Anna menitikan air matanya.
“Lo kenapa Na?”
“Gue cuma nggak mau kehilangan cowo gue untuk ketiga kalinya.”
“Maksud lo?”
“Cowo pertama gue dulu meninggal gara-gara radang paru-paru. Dia perokok berat.”
“Tapi kan gue jarang ngerokok. Paling ya sehari dua kali.”
“Tapi resikonya tinggi Ardhy!” Bentak Anna,
“Oke. Gue nggak akan ngerokok lagi.”
Gue langsung peluk dia. Gue berjanji buat nggak lagi merokok. Walaupun susah banget buat gue. Tapi gue harus berusaha buat dia.
                Semenjak kejadian kemarin, gue mulai jadi anak alim. Gue nggak minum, gue nggak ngerokok. Gue juga jarang main sama temen-temen gue. Gue lebih sering jalan sama Anna. Dia udah ngerubah gue.
                Ujian semakin dekat. Bentar lagi gue bakal lulus. Bokap gue maksain gue buat kuliah di Australia. Sebenernya gue nggak mau kuliah jauh-jauh karena gue pengen terus sama Anna. Tapi kalo bokap gue yang bilang. Gue mau ngapain lagi?
                Setelah gue lulus, gue bener-bener akan kuliah di Australia. Gue mencoba untuk mengatakan hal ini ke Anna,
“Na, maafin gue ya. Gue harus kuliah di Australia.” kata gue setelah pengumuman kelulusan di sekolah,
“Kenapa Di?”
“Bokap gue yang suruh.”
“Ternyata cowo kayak lo. Bad boy kayak lo. Kalah sama bokap sendiri.”
“Tapi...”
“Nggak. Gue cuma bercanda. Nggak pa-pa kok. Kan kita masih bisa ketemu. Sekarang kan jaman udah canggih. Kita bisa LDR.”
“Iya juga ya.”
“Gue dukung lo. Asal lo nggak aneh-aneh.”
“Thanks ya.” kata gue, lalu memeluk Anna. Kali ini air mata gue yang menetes.
ooo
                Selama gue kuliah di Australia, gue selalu berhubungan dengan Anna lewat Internet. Tapi ini nggak cukup. Gue pengen selalu ketemu sama dia. Bahkan setiap gue lihat padang rumput, gue kayak lihat dia nge-dance disana. Tapi itu cuma khayalan gue. Maklum LDR itu berat.
                Empat tahun berlalu. Gue balik ke Indonesia. Tujuan pertama gue adalah padang rumput. Hari ini hari Minggu. Gue nggak yakin Anna ada disana. Tapi gue pengen banget buat sekedar habisin waktu gue disana.
                Sambil menikmati angin sepoi-sepoi di padang rumput, gue dengerin musik. Kali ini gue dengerin musik dance. Aneh banget. Biasanya gue cuma dengerin musik metal. Tapi sekarang gue dengerin musik dance. Waktu gue lagi asik dengerin lagu. Gue dikagetkan dengan adanya seorang cewe berambut panjang dan lurus terurai nge-dance membelakangi gue. Gue heran kok bukan Anna yang ada disitu dan nge-dance. Tapi cewe lain.
                Beberapa saat kemudian, cewe yang nge-dance di tengah rumput yang bergoyang itu berbalik. Gue perhatikan wajahnya dengan seksama. Gue ngerasa ini surprise banget. Karena cewe itu adalah Anna. Sekarang dia berubah. Dia tambah cantik dengan rambutnya yang lurus. Apalagi rambutnya berkibar tersentuh angin.
“Anna!!!” Teriak gue, lalu Anna melihat ke arah gue.
“Ardhy!!!” Teriak Anna balik lalu dia berlari.
“Akhirnya lo balik.” Kata Anna sambil memeluk gue.
“Iya. Gue balik.”
“Gue nggak tahan jauh-jauh dari lo.”
“Gue juga.”
“Mulai sekarang jangan tinggalin gue lagi!”
“Gue nggak bakal tinggalin lo. I’ll never leave you.” Air mata kami menetes diantara rumput-rumput yang bergoyang ini dan teriknya matahari nggak jadi halangan kamu buat melepas rindu.



Requested by Devina

Wednesday, February 1, 2012

Cerpen By Request

HAI!!!
Buat kamu yang pengen request
SEBUAH Judul Cerpen
Sekarang kamu bisa request judul cerpen yang akan gw jadikan satu buah cerpen.
CARANYA...
Kirim 1 judul cerpen beserta tema dan buat siapa cerpen ini ditunjukin nantinya ke...
rockerbudiman@yahoo.com

1 judul yang terbaik bakal dibuat jadi CERPEN dan bakalan dipost di blog ini.
 Makanya!!!
     BURUAN KIRIM!

Sunday, January 29, 2012

SECUIL CERITA -Intro-


Perkenalkan
Gue punya sebuah ide, yaitu SECUIL CERITA. Ntar gue post cerita yang pendek banget dan bentuknya lebih kayak puisi gitu tapi sebenernya cerpen. Tapi jangan salah, gue tetep post cerpen ato cerbung seperti biasa :D
Stay aja di By : Lisa ( www.elisabethcecilia.co.cc )
-Lisa-

Tuesday, January 3, 2012

I'll Always Remember You (By Lisa)


Sebelumnya, ini cuma cerita fiktif. Jadi nikmatin aja :)

                Hari ini adalah hari yang sucks banget buat gue. Uh, gimana nggak sucks? Abis ambil rapor pertama gue di SMA. Nilainya, wuiiihhh merah kebakar. Gue nggak abis pikir aja. Gue di SMP sering dapet ranking. Eh di SMA, gue terima rapor kebakar gini. Rasanya nyesek banget. Mami, papi nggak cuma terima marah. Tapi, udah ah. Males gue. Kayaknya gue nggak usah pulang aja deh. Gue nggak bisa bayangin suasana rumah, abis lihat ropor gue ini. Mendingan gue cari tempat yang aman. Uh, dimana ya? Kayaknya gue bakalan aman kalo ngumpet di sekolah musik punya bokapnya temen gue aja. Ya, gue bisa kerja sambilan jadi pengajar disana. Kebetulan gue udah pegang ijazah gitar dengan grade yang lumayan tinggi. Jadi gue bisa ngajar disana.
“Ri, ada kelas kosong nggak?” tanya gue ke Riri, temen gue yang bokapnya adalah pemilik sekolah musik ini.
“Ada kok Ren. Oh ya, ini rejeki lo kalik.” Jawab Riri excited
Gue nggak begitu ngerti sama Riri. ‘rejeki gue?’ wow. “Maksud lo?” tanya gue ke Riri,
“Iya. Jadi gini. Guru gitar grade sebelas sampe delapan disini, Bang Yosef. Dia lagi nerusin kuliah musiknya di Julliard.” Jawab Riri,
“Julliard? WOW!” Kata gue dengan penuh kekaguman terhadap Bang Yosef itu, “Terus Ri?”
“Ya, lo gantiin dia dong!”
“Buat berapa lama?”
“Kalo dia sih, kurang bentar lagi bakal balik. Ehm, tiga bulanan lah.”
“Dia udah berapa lama kuliah?”
“Udah empat tahun. Ini udah mau selese. Dia sekarang lagi mau ujian akhir.”
“Tempat ini hebat ya. Anak Julliard aja bisa ngajar disini.”
“Oh, gini Ren. Kebetulan Bang Yosef itu sodara gue. Jadi yah boleh lah dia kerja disini.”
“Terus gue bisa ngajar kapan?”
“Sekarang! Lo masuk kelas sana! Ada murid privat tuh!”
“Eh. Privat?”
“Tenang aja. Anaknya baik kok. Ntar gue kenalin deh. Ayo Ren!”
Laliu Riri menarik tangan gue dan mengajak gue kedalam kelas gitar itu. Tapi kayaknya Riri bener-bener nggak mikirin rapor hari ini. Secara, dia ranking satu. Uh.
                Gue masuk kedalam kelas gitar ini. Ruangan yang kira-kira berukuran dua kali empat meter. Lumayan luas buat pelajaran gitar akustik, apalagi privat gini. Didalam kelas ada seorang cowo berkacamata hitam, usianya kira-kira sebaya sama gue. Mungkin limabelas tahunan. Kayaknya dia yang bakal jadi murid gue.
“Ayo Ren!” Ajak Riri,
“Iya, iya...” jawab gue. Sebenernya gue ragu. Tapi, demi rasa males gue untuk pulang ke rumah, okelah.
“Halo Dimas...” Sapa Riri ke cowo itu,
“I-iya, ini Riri?” Tanya cowo itu.
                Sepertinya ada yang aneh sama Dimas. Dia kok nggak lihat ke arah gue ataupun Riri. Apa jangan-jangan? Oh nggak mungkin. Apa jangan-jangan Dimas itu buta?
“Iya Dimas, ini gue. Riri.” Jawab Riri sambil mendekati Dimas lalu menepuk pundaknya,
“Hei Ri. Udah ada guru buat gue?” Tanya Dimas itu,
“Ada kok. Ini! Kenalin. Nama guru lo adalah Rena. Dia seumuran sama gue, ya sama lo juga. Dia udah grade enam. Lumayanlah buat ngelatih lo yang masih baru.” Jawab Riri,
Gue yang takut salah dengan steatment, langsung berbisik kepada Riri,
“Ri? Cowo ini buta?” Tanya gue pelan,
“Iya Ren.” Jawab Riri pelan,
“Lo yakin sama gue?”
“Ya. Gue yakin lo bisa jadi gurunya.”
Lalu Riri meminta gue untuk bersalaman dengan Dimas. “Ehm, Ren. Salaman dulu sama Dimas. Biar dia tau siapa lo!”
“Iya Ri.” Lalu gue menjabat tangan Dimas dan dia tersenyum. Gue juga ikut tersenyum. Gue rasa dia bakal baik sama gue.
“Gue Dimas.”
“Gue Rena.”
                Beberapa menit kemudian setelah perkenalan itu, gue mulai mengajari Dimas, walaupun rada susah buat gue. Ngelatih dia itu beda dengan ngelatih orang normal. Dia nggak bisa pake buku not balok biasa, dia harus pake buku not balok yang bolong-bolong itu. Ehm yang pake huruf braile. Terus gue juga harus ngarahin jarinya ke tab yang tepat kalo dia salah. Tapi nggak tau kenapa, gue ngerasa seneng. Dimas itu cerdas juga sebagai anak baru. Pendengarannya tajam dan dia mudah menirukan permainan gue. Walaupun masih yang sederhana-sederhana aja. Gue sesuaikan semua ini sama buku pegangan.
                Setelah satu jam, pelajaran gue selesai dan gue langsung bertanya ke Dimas,
“Ehm, Dimas. Gimana pelajaran hari ini?”
“Enak kok. Gue seneng belajar sama lo.” Jawab Dimas, lalu dia tersenyum. Senyumannya memang membuat gue jadi meleleh. Dia manis banget, dia ganteng banget. Walaupun pagi harinya gue galau, tapi sore hari ini gue semangat banget setelah jadi guru buat Dimas yang hari ini baru gue kenal.
“Beneran nih? Jangan bohong!”
“Beneran kok. Berkat lo, gue tau banyak sekarang.”
“Ah, masa sih? Jangan ngegombal deh.” Gue bener-bener seneng sekarang. Andai aja dia bisa lihat ekspresi gue.
“Iya. Gue jujur kok.”
“Hehe, jujur ya. Lo itu cerdas lho. Bisa gitu aja ngikutin permainan gue.”
“Ya makasih deh Ren. Sebelumnya gue udah ikut kelas piano sama ikut paduan suara. Jadi nggak kaget kalo dapet nada-nada baru.”
“Oh, sama dong. Gue juga ikutan kelas piano dulu sama paduan suara juga. Ehm, gue juga bisa maen instrumen lain. Kalo lo mau, tinggal panggil gue.”
“Iya Ren. Ehm, gue pulang dulu ya.”
“I-iya Dim. Ehm, mau dianterin nggak?”
“Nggak usah. Gue bisa sendiri kok. Makasih ya buat hari ini.” Lagi-lagi Dimas tersenyum.
“Sama-sama.” Jawab gue, lalu Dimas pergi.
Gue tetep didalam kelas, karena bakal ada murid lagi yang masuk. Tapi, gue mesam-mesem aja kalo inget Dimas.
                Seusai mengajar, gue pulang. Sekarang udah jam enam sore. Mami sama papi gue pasti nyariin gue. HP gue tinggal di rumah, jadi ortu gue nggak bisa nyariin gue. Ya, soal rapor, gue memang pengecut kalo udah dapet nilai jelek gini. Soalnya gue udah bayangin mami sama papi masukin gue ke kamar dan gue diadili.
                Sesampainya di rumah. Beneran aja papi gue menghadang di depan pintu.
“Rena! Darimana kamu?” Tanya papi,
“Ehm, dari ngajar pi.” Jawab gue,
“NGAJAR? Sekolah aja nggak bejus mau ngajar? Ngajar apa ha? Keperosok semua!” Papi gue mulai bentak-bentak,
“Gitar pi. Emang kenapa sih pi?” tanya gue, sok-sok innocent
“Wali kelas kamu udah telpon papi. Kalo nilai kamu nyaris jadi terendah di kelas! Kamu itu bejus nggak sih sekolahnya?”
“Bejus kok pi.”
“Tapi kok nilainya jelek semua. Mana bukunya?”
Lalu gue serahin rapor menjijikan itu ke papi.
                Setelah papi baca rapor gue, mukanya langsung merah dan gue nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Gue berpikir, apa gue bakal mati sekarang? Aduh, jangan. Sore tadi gue abis bahagia.
“Kamu harus lebih NIAT belajar! Kalo tidak! Semua gadget kamu, papi jual!” Papi gue bentak lagi.
“I-iya pi. Rena bakalan niat belajarnya.”
“Sana masuk! Mandi, lalu makan!”
“Ya pi.” Lalu gue masuk ke dalam rumah.
               Sebenernya gue pengen banget berubah. Gue pengen banget belajar yang niat biar nilai gue nggak ancur kayak gini. Tapi nasi udah jadi bubur. Gue cuma bisa nelen ludah sendiri gara-gara rapor bejat ini.
                Setelah makan, gue langsung masuk kamar. Gue ambil gitar gue dan gue mainin dia. Hari ini perasaan gue campur aduk. Dari sedih, jengkel. Bingung, seneng, apalah. Tapi gue nggak boleh galau malem ini. Besok masih ada hari libur sekitar sepuluh hari. Lumayanlah buat nyante. Tapi gue bakal cari uang diliburan ini.
                Liburan ini rencananya mau gue abisin buat ngajar di sekolah musik karena banyak murid yang ambil kelas holiday. Jadi gue pasti dapet job ngajar. Buat gue ini malah sebuah anugrah, karena gue bebas dari ceramahan papi sama mami gue kalo liburan.
                Tanpa gue sangka sebelumnya, ternyata Dimas juga ambil kelas holiday. Jadi gue tetep dapet tanggung jawab buat ngajar dia. Gue bener-bener seneng sekarang,
---
                Pagi hari, gue bangun. Tiba-tiba gue dapet sms dari Riri. Dia bilang kalo hari ini gue mulai ngajar dari jam sepuluh pagi. Menurut gue ini terlalu kesiangan soalnya gue masih ada waktu buat dirumah. Sementara guenya sendiri males buat ada dirumah. Ya udah, jadilah gue ngebantu ortu beres-beres rumah dengan banyak banget ceramahan.
                Jam setengah sepuluh, gue langsung ke sekolah musik. Ternyata yang gue ajar hari ini cuma satu, Dimas. Gue seneng banget sih. Tanpa penyesuaian yang banyak, ternyata gue udah suka sama dia. Kalo gue inget dia, pasti hati gue langsung tenang. Sebelumnya gue nggak pernah ngerasain hal seperti ini.
---
                Jam udah nunjukin pukul sepuluh. Tanpa menunggu lama, Dimas udah dateng. Seperti biasa dia pake kacamata hitam. Gue penasaran banget sama matanya. Yeah, kadang-kadang tangan gue itu jahil banget. Tanpa basa-basi gue langsung lepasin kacamata hitamnya Dimas.
“Rena!” Dimas kaget,
“Sorry Dim. Cuma...” gue belom selese ngomong, tiba-tiba gue lihat mata Dimas. Gue natap matanya dan nggak bisa lepas. Gue nggak percaya, iris matanya hitam legam sempurna, matanya seperti bersinar, agak sipit dan bulu matanya yang lentik. Sama sekali nggak percaya, mata seindah itu nggak berfungsi. Gue speechless. Gue membeku.
“Kenapa Ren? Kok lo diem?”
“Beautiful.”
“Apanya Ren?”
“Oh, nggak pa-pa.” Gue gerak-gerakin tangan gue di depan matanya, tapi dia nggak kedip sama sekali.
“Ya udah. Kita mulai pelajarannya.” Kata Dimas,
“Ehm, ini kacamata lo.” Kata gue sambil nyerahin kacamata hitam itu ke pemiliknya.
“Hem, iya.” Lalu Dimas memakai kacamatanya lagi.
                Selama latihan gue masih mengingat mata Dimas yang barusan gue lihat. Saking senengnya, gue mainin lagu ‘Just The Way You Are’ nya Bruno Mars pake gitar selama Dimas mainin lagu lesnya. Gue bener-bener terpesona sama dia.
                Selesai pelajaran gitar, gue tanya tentang pelajaran hari ini. Dia bilang, semuanya oke, bahkan dia bilang gue ini hebat banget, gue pun seneng banget, mengingat ortu gue yang nggak pernah nyanjung permainan gitar gue. Tiba-tiba dia ngajakin gue makan siang dan gue sanggupin aja.
                Gue dan Dimas sampe disebuah restoran, dan kami sama-sama pesen sirloin steak dan ice capucinno. Ternyata selera kami sama. Bahkan waktu ditanya pelayan, kami mau pesen apa, kami jawab secara bersamaan.
                Selama makan siang, gue dan Dimas banyak bercerita,
“Ren, lo udah lama ya bisa maen gitar?” tanya Dimas,
“Ehm, dari SMP sih. Nggak lama juga.”
“Wah, tapi lo itu udah hebat banget lho.”
“Wah, masa sih? Thanks ya. Bokap gue aja nggak pernah muji gue kayak gini.”
“Masa sih?”
“Iya, dia itu biasanya ngomel-ngomel. Gue salah terus dimatanya. Uh, sebel deh.”
“Kalo nyokap lo?”
“Oh, dia sih baik-baik aja, tapi kadang-kadang cerewet juga.”
“Yah, lo masih beruntung lah. Kalo orang tua gue sih, mereka pisahan. Nyokap di Amrik, dan gue sama bokap. Nyokap gue mutusin pergi karena marahan sama bokap. Tapi anak-anaknya masih ikut bokap semua.”
"Jadi ortu lo cerai, Dim?”
“Enggak sih, cuma pisahan aja. Tapi mereka jarang saling kontak. Ampun deh, gue sampe bingung sama mereka.”
“Ehm. Lo punya sodara?”
“Iya, gue punya kakak. Sekarang dia jadi anggota TNI. Keren ya? Gue sih pernah bayangin jadi tentara, tapi yah lo tau sendiri lah gue nggak bisa lihat.”
“Emang lo gini sejak kapan?”
“Sejak lahir gue udah nggak bisa lihat.”
“Jadi lo nggak pernah tau wajah orang-orang disekitar lo, alam disekitar lo, bahkan wajah lo sendiri?”
“Iya. Emang wajah gue gimana sih Ren?”
“Ehm...” gue langsung salah tingkah, “wajah ya? Wa-wajah lo...”
“Jelek?”
“Uh, eng-enggak Dim. Se-sebenernya l-lo itu. Lo itu, LO ITU GANTENG BANGET, LO ITU MANIS BANGET.” Aduh gue jadi ngomong keras gini,
“Wah.” Dimas menyahut,
“Duh, kok jadi frontal gini. Hehe.” Kata gue,
“Makasih ya. Lo juga cantik banget kok.”
“Hah? Lo nggak salah. Tau darimana? Bokap gue aja...”
“Nggak penah ngomong. Haha. Dari suara lo sama insting gue aja.”
“Padahal kan suara gue gedhe, mana tangan gue kasar, omongan gue juga nggak sehalus cewe biasanya.”
“Tapi gue tau lo itu cantik, manis dan pinter.”
“Pinter? Rapor semester pertama gue itu merah tauk.”
“Hah? Nggak mungkin deh. Lo itu pinter kan. Dari cara ngajar lo ke gue, dari permainan gitar lo.”
“Itu dulu Dim. Sekarang aja gue cuma berharap biar bisa naek kelas. Itu aja.”
“Lo nggak usah takut Ren. Kalo tentang sekolah, gue bakan bantuin lo. Tapi lo harus jadi guru les gitar gue.”
“Nggak salah lo?”
“Kebetulan gue homeschooling, jadi kita bisa belajar dirumah gue aja. Gimana? Mulai semester dua nanti.”
“Wah, makasih banyak ya.”
“Iya, gue tau lo bakalan jadi sahabat gue yang baik.”
“Ah lo itu...”
Lalu makanan diantar oleh pelayan dan kami makan bersama.
                Selama setahun, gue jadi guru les gitarnya Dimas, dan setelah gue menginjak semester dua sekolah, gue selalu belajar bareng dia dan dia selalu memotivasi gue sehingga gue bisa naik kelas dengan ranking lima se-kelas. Gue juga masuk jurusan IPA disekolah. Gue seneng banget. Gue sama Dimas juga sering bikin lagu. Sampai suatu ketika Dimas diajak bokapnya untuk nyusulin nyokapnya di Amrik. Dia juga berencana buat operasi mata dan bersekolah disana.
                Setahun kemudian, dia follow twitter gue, dan juga invite BBM gue, bahkan dia sering chatting sama gue. Kadang dia juga sering maen video-call sama gue, dia udah bisa lihat sekarang. Dia nggak narik omongannya tentang gue yang cantik. Gue juga masih naksir dia, sampe-sampe gue belum pacaran sampe umur duapuluh tahun ini.
                Setahun kemudian, gue dapet kiriman undangan pernikahan, dan gue shock banget. Karena undangan itu berasal dari Dimas. Dia mau nikah. Gue yang selama ini menaruh harapan cinta gue ke dia merasa kesal. Gue sedih, kecewa. Tapi mau diapain lagi? Ini pilihan dia. Gue harus terima itu.
                Pesta pernikahan diadakan di Jakarta dan gue dateng bareng Riri. Gue lihat dia yang bener-bener perfect, apalagi sekarang dia bisa ngelihat. Waktu gue salaman sama dia, gue langsung peluk dia. Sebenernya gue nggak mau lepasin dia, tapi dia udah jadi milik orang lain, milik seorang cewe kebangsaan Amerika yang cantik banget yang sekarang ini ada disebelahnya. Gue cuma kasih dia sebuah CD lagu yang gue ciptakan buat dia. Gue nggak akan lupain lo Dimas, cinta monyet gue. Lo yang bikin gue berubah, dan sekarang gue sukses berkat motivasi dari lo dan bantuan lo.
I’ll Always Remember You untill I die. But my life must go on.

Monday, January 2, 2012

PINDAH KE

Guys...
Bedah lagu dan komentar-komentar bakal pindah ke blog gue yg di wordpress
Ini linknya : http://eleeze.wordpress.com
Terus kalo yang campur aduk sama foto-foto bakal pindah ke blog gue yg di tumblr
Ini linknya : http://lisacecilia.tumblr.com
Jadi blog ini khusus buat cerpen dan cerbung gue aja. Thx before :)
-Lisa-