Friday, August 7, 2015

Besties (Chapter 4)

Low
(Sebelumnya, baca dulu chapter 1, chapter 2 dan chapter 3-nya ya...)
Elle's POV
Aku terbangun setelah beberapa menit tertidur, dan kulihat Kellin yang masih tidur. Tangan kanannya menggenggam tanganku yang tersilang di sampingnya. Genggamannya terasa seperti genggaman seseorang yang sedang merasa ketakutan atau gelisah.
Sesaat aku melihat jam dinding yang tergantung di tembok, ternyata sudah sepuluh menit aku berada disini. Kuputuskan untuk keluar dari sini sebelum ada yang mengetahui keberadaanku. Sebenarnya aku tidak boleh berada disini sebelum ada yang mengijinkanku. Ku harap ibu atau ayah belum kesini untuk melihat kondisi Kellin.
Aku mulai beranjak dan perlahan-lahan melepaskan genggaman tangan Kellin dari tanganku. Lagi-lagi aku mengendap-endap. Sebelum membuka pintu kamar ini pun, aku menengok kondisi di luar melalui jendela kecil yang ada di pintu, dan ternyata kondisinya aman karena tidak ada seorang pun diluar. Aku langsung keluar dan memutuskan untuk pergi ke kafetaria lagi. Kali ini aku ingin membeli secangkir kopi karena aku merasa sangat mengantuk.
Sesampainya di kafetaria, aku membeli secangkir kopi latte panas yang mungkin sebentar lagi mendingin, karena suhu udara disini sangat dingin. Aku ingin menangis. Aku merasa tidak ada hal yang bisa aku lakukan. Bersama dengan seteguk kopi yang kuminum, aku menangis.
Kellin's POV
Aku terbangun dari tidurku sambil menahan rasa sakit yang kembali menyiksaku. Aku tetap menutup mataku sambil mencoba tidak mengerang kesakitan karena percuma saja. Tiba-tiba aku sadar kalau Elle sudah tidak ada disebelahku. Mungkin ada yang mengusirnya. Entahlah.
Beberapa saat kemudian ibu dan ayah masuk ke kamarku dengan seorang dokter dan seorang perawat. Firasatku sangat tidak enak. Aku melihat mata ibu yang sembab dan semua yang masuk memperlihatkan raut wajah yang sedih. Kalau mereka hanya berakting, aku akan tertawa sambil mengatakan bahwa semua itu tidak lucu. Sama sekali tidak lucu.
"Kellin," ibu mulai membelai rambutku dan suaranya terdengar pelan dan sedikit goncang. Aku hanya terdiam dan memandang matanya yang berkaca-kaca. Kucoba untuk menahan rasa sakitku.
"Hey nak! Aku dokter William," dokter yang datang bersama kedua orang tuaku itu pun mulai memperkenalkan dirinya.
"Aku Kellin," aku hanya memulai perkenalan.
"Kau akan menjadi seorang pejuang nak," kata dokter William dengan nada menghibur. Oh tidak, tidak. Akting mereka buruk sekali.
"Sayang, ibu tahu kau anak yang perkasa," tiba-tiba ibu mencium keningku dan kata-katanya terasa sangat aneh. Aku mulai merasa emosi dengan keadaan ini. Sesuatu yang buruk sedang menimpaku. Mereka mencoba untuk mengulur kabar ini atau bagaimana, tapi aku hanya ingin mereka mengatakan yang sejujurnya.
"Katakan saja! Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku mulai angkat bicara dengan suara yang lebih keras, meskipun tetap terdengar lemah.
"Kau divonis," dokter William memulai jawabannya, lalu menarik nafas dalam-dalam. Ini pasti buruk, "Kau divonis mengidap Leukemia stadium awal." Kini aku mendapatkan jawabannya. Leukemia stadium awal, dan aku akan hidup dalam penderitaan. Aku hanya memejamkan mataku dan mencoba untuk bangun dari tidurku. Aku pasti hanya bermimpi. Namun, setelah aku membuka mataku lagi secara perlahan, yang kutemukan adalah bahwa aku tidaklah sedang bermimpi.
Aku melihat ibu membenamkan wajahnya dalam pelukan ayah. Ia pasti sedang menangis karena aku mendengar isakannya. Kini air mataku mulai menetes perlahan. Tubuhku mulai melemah dan aku menutupi mataku dengan kedua tanganku karena kini aku benar-benar menangis.

No comments:

Post a Comment

Feel free to give me your opinion :D