Saturday, August 15, 2015

LULLABY (An One Ok Rock Fanfiction) – part 2

LULLABY
-The Truth Is-


Perhatian!!!
Yang belum baca part 1 bisa klik disini.
Sebelum membaca fanfiction ini, jangan lupa! Cerita ini hanya fiktif belaka dan bukanlah merupakan suatu fakta kehidupan dari nama-nama yang menjadi tokoh dalam kisah ini (cuman minjem nama dan ciri2 fisik?!). Dan, hati-hati karena cerita ini cukup keras dan kemungkinan bikin baper sehingga jangan baper. Hehe ;) Jika ada kesalahan dalam hal budaya (penulisan nama, tata cara, dsb), silahkan beri masukan karena cerita ini menyangkut kebudayaan luar Indonesia sehingga saya yang masih dalam taraf belajar belum bisa sempurna dalam mengemasnya. Terima kasih :D


Tokoh: All of the OOR’s members, Taka’s Father and Brothers
Genre: Drama, Tragedy
Theme: Friendship
Panjang: 1604 kata


Illustration by Elisabeth Cintami
Setelah mendengar bahwa Taka sedang menuju atap gedung sekolah yang berlantai lima itu, Toru langsung bergegas mencarinya karena dia sangat kawatir kalau saja sahabatnya itu akan melakukan tindakan bodoh lagi. Kali ini Ryota juga ikut bergegas mencari Taka, ia berlari menyusul Toru. Akan tetapi, tidak dengan Tomoya yang hanya diam dan memutuskan untuk tidak ikut campur.


Ryota terlihat begitu takut karena sebenarnya dia mengetahui segala hal yang terjadi dengan sahabat-sahabatnya. Secara tidak langsung, ia adalah saksi mata pada saat Tomoya memukul Taka di gang sepi itu. Pada saat itu, ia sedang mencari tempat yang tenang, namun yang dilihatnya malah pertengkaran dua sahabatnya. Ia juga menjadi saksi mata percobaan bunuh diri Taka yang berhasil dicegah oleh Toru beberapa waktu lalu, namun ia bersembunyi di balik pintu utama toilet. Sebagai yang paling muda diantara tiga sahabatnya, Ryota tidak berani melakukan apapun kecuali bersembunyi, dan berharap sahabat-sahabatnya gagal melakukan kebodohan mereka.

Setelah berlari dengan perasaan panik yang luar biasa, akhirnya Toru dan Ryota menemukan Taka di tangga lantai tiga sedang berusaha berdiri meskipun sedang terbatuk-batuk. Ia terlihat sangat lemas, dan sepertinya ia tidak bisa melanjutkan perjalanannya ke atas.

“Apa yang kamu lakukan?” Toru mulai bertanya dengan nada pelan, namun Taka malah terjatuh lagi. Kali ini ia hampir pingsan, namun Toru berhasil menahannya.

“Apa yang terjadi, kak?” Ryota pun mulai bertanya.

“A-aku ng-nggak kuat lagi, “ jawab Taka dengan suara lirih dan tersendat-sendat karena batuknya pun tak kunjung selesai. “Rasanya paru-paruku seperti terbakar,” kini suara Taka bagaikan berbisik karena nafasnya mulai habis.

DEG! Kini Toru dan Ryota mulai panik, dan membawa Taka ke ruang kesehatan.

Sesampainya di ruang kesehatan sekolah, dokter yang sedang berjaga disana pun langsung memasangkan selang oksigen dan infus kepada Taka yang sudah hampir tidak bernafas itu.

Apapun ini, sepertinya Taka menyembunyikan banyak hal dari sahabat-sahabatnya. Toru dan Ryota yang menungguinya di ruang kesehatan pun curiga. Mereka mulai bertanya-tanya tentang apa saja yang disembunyikan sahabat mereka itu.

Setelah Taka terlihat lebih stabil, Toru mulai mendekatinya.

“Taka, apa yang ingin kamu lakukan tadi?” Toru mulai bertanya dengan sedikit sinis.

Taka hanya diam.

“Jawab aku!” Kini Toru membentaknya.

“Kak! Sudahlah! Jangan membentaknya!” Ryota pun mulai menenangkan Toru.

“Tapi dia ini sudah keterlaluan, Ryota!” Wajah Toru pun semakin mempertontonkan amarahnya.

“Aku cuma mau tahu rasanya di atap gedung sekolah. Bukan apa-apa,” jawab Taka dengan tenang namun dingin. Ia juga menyeringai sehingga wajahnya yang pucat itu tampak menakutkan.

“Bohong! Memangnya setelah kejadian di toilet waktu itu kamu nggak akan melakukan tindakan bodoh lagi?!” Kini Toru berteriak lebih keras.

“Cih! Kamu yang bodoh, Toru,” Taka pun mulai menjawab dengan nada sinis, lalu membuang muka dari Toru.

Toru pun terdiam, ia merasa bahwa sahabatnya itu hanya membuatnya kecewa dan panik. Namun memang benar kenyataan bahwa ia tidak tahu apa-apa. Ini balasan baginya yang selama ini hanya menjadi seorang pemuda yang cuek. Benar, Toru adalah orang yang paling dingin dan tidak peduli apapun dalam persahabatannya bersama Taka, Tomoya dan Ryota. Kali ini ia mulai merasa bersalah.

Sepulang sekolah, Toru dan Ryota mengantar Taka pulang ke rumahnya karena kondisinya yang masih lemah. Selama di perjalanan pun mereka hanya saling diam dan tidak ada satupun tanda-tanda bahwa mereka ingin berkomunikasi hingga akhirnya mobil Honda milik Toru sampai di depan rumah Taka.

Toru dan Ryota memapah Taka dan mengantarnya memasuki rumahnya, lalu kamarnya yang berada di lantai pertama. Hal ini sangat mengagetkan bagi Toru dan Ryota. Sebelumnya, kamar Taka berada di loteng karena ia suka berada di atap dan memandang langit.

“Kamarmu pindah?” Toru mulai penasaran.

“Bukan urusanmu! Sekarang, pergilah!”

“Tidak!”

“Keras kepala,” Taka pun memasuki kamarnya dan sesampainya di dalam ia menemukan Hiro, adik bungsunya.

“Kakak!” Hiro yang sudah berusia dua belas tahun itu berlari menghampiri kakaknya. Ia pun memeluk Taka lalu mendudukkannya di atas tempat tidur, “Beristirahatlah!”

“Hmm...”

“Ayo pakai ini!” Hiro memberikan selang oksigen kepada Taka lalu mengambilkan obat-obatan dari laci di sebelah tempat tidur, “dan kakak harus minum obat!”

DEG! Toru dan Ryota yang mlihat hal itu mulai penasaran tentang apa yang sedang dialami oleh Taka.

Beberapa saat kemudian, Pak Shinichi yang merupakan ayah Taka keluar dari ruang kerjanya.

“Wah! Rupanya ada teman-teman Taka,” Pak Shinichi berkata sambil tersenyum.

“Selamat sore, paman,” Toru mulai menyapa.

“Selamat sore. Terima kasih karena kalian telah mengantar anakku pulang.”

“Sama-sama, paman. Tidak masalah kok,” jawab Toru.

“Ya, memang ada sedikit masalah yang tidak kalian ketahui disini.”

“Sepertinya memang benar begitu, paman,” Ryota menegaskan.

“Mari kita minum sebentar!”

Pak Shinichi pun mengajak Toru dan Ryota untuk minum kopi di ruang tamu agar suasana lebih akrab. Sambil minum kopi dan manyantap makanan kecil, Pak Shinichi menceritakan apa yang sedang dialami anaknya selama ini kepada dua orang yang ia ketahui sebagai sahabat anaknya itu.

***

Satu tahun yang lalu, saat itu sedang musim dingin, keluarga Pak Shinichi pun juga sedang dalam keadaan yang tidak jauh beda dengan musim itu. Ia telah menceraikan istrinya, Nyonya Masako karena ia menganggap istrinya tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Ia juga menganggap istrinya bukan wanita yang bisa disebut sebagai ibu karena telah lalai dalam mengasuh tiga anaknya.

Pada saat itu, Tomo anak kedua mereka yang masih berusia lima belas tahun itu ditemukan dalam keadaan mabuk di rumah temannya setelah tidak pulang selama seminggu. Ia pun juga pernah dihukum karena membawa majalah porno ke sekolah. Pak Shinichi menganggap itu semua salah istrinya karena tidak memperhatikan anak keduanya itu. Selalu tersirat di benak Pak Shinichi pada saat istrinya masih muda dulu yang adalah wanita pencinta kebebasan. Ia menganggap bahwa sifat bebas istrinya itu tidak berubah.

Akan tetapi, Pak Shinichi tidak paham mengapa istrinya tidak terlalu memperhatikan Tomo dan adiknya, Hiro bahkan dirinya. Itu semua karena keadaan anak pertama mereka, Taka yang sedang sakit. Sudah setahun lamanya ia menderita kanker paru-paru yang sudah menginjak stadium tiga pada waktu itu. Sebagai ibu, Nyonya Masako pasti tidak ingin kehilangan anaknya apalagi Taka adalah anak yang paling mirip dengannya, terutama sifat bebasnya. Selama itu pula, Nyonya Masako hanya terfokus untuk merawat Taka dan secara naluriah mencari tambahan dana dengan cara mengajar di sekolah musik untuk pengobatannya -walaupun sebenarnya Pak Shinichi mampu membiayai itu semua- hingga jarang memperhatikan Tomo dan Hiro. Sebenarnya sangat mudah memprediksi kondisi mental yang dialami Tomo pada saat itu hingga ia mampu melakukan hal yang sangat menyimpang. Ia ingin perhatian ibunya kembali untuknya. Ia iri dengan kakaknya yang setiap saat selalu didampingi oleh ibunya. Tomo sendiri dulunya sangat manja kepada ibunya, bahkan selalu mengikuti ibunya kemanapun ia pergi. Namun setelah keadaan berubah, ibunya seperti tidak lagi memperhatikannya.

Pak Shinichi yang hanya mengandalkan emosi sesaatnya, dan juga terpengaruh oleh banyak orang diluar rumah tangganya, ia pun menceraikan Nyonya Masako, istrinya pada saat musim dingin itu. Ia juga melarang istrinya untuk bertemu dengan ketiga anaknya bahkan ia sampai menyewa bantuan keamanan supaya istrinya tidak bisa mendekatinya dan anak-anaknya.

Namun satu yang dilupakan oleh Pak Shinichi, yaitu anak sulungnya yang sedang sakit. Sebelumnya, ia memang tidak pernah memperhatikan tiga anaknya karena sibuk bekerja. Ia tahu kalau Taka sedang sakit, namun ia tidak tahu seberapa parah penyakit anaknya itu, dan apa yang harus dilakukannya. Hingga pada suatu ketika ia dihadapkan oleh keadaan dimana sang anak mengatakan bahwa ia ingin mati saja setelah perceraian itu, dan kenyataan bahwa ia tidak bisa bertemu lagi dengan ibunya. Taka memutuskan untuk tidak lagi menyentuh obat-obatan dan perawatan apapun. Keadaan itu pun semakin memburuk setelah adiknya, Tomo terus-menerus menyalahkannya karena menurutnya, gara-gara sakit yang diderita kakaknya itulah yang membuat keluarganya terpecah.

***

Pak Shinichi mengakhiri ceritanya dengan terisak-isak. Suaranya mulai lirih berjalan bersama penyesalannya sendiri. Memang penyesalan itu selalu datang belakangan, hanya saja semua orang berhak memilih untuk larut dalam penyesalan atau justru melupakannya. Bagi Pak Shinichi, penyesalan itu justru membuatnya larut karena itu melibatkan orang-orang yang dicintainya.

“Dia bilang kalau dia ingin bernyanyi bersama kalian,” kata Pak Shinichi setelah menghapus air matanya sendiri. “Namun karena kondisinya yang semakin memburuk, aku pun memaksanya untuk kembali berobat. Namun seperti biasa, susah sekali. Dia tidak mau,” kini Pak Shinichi meneguk kopinya, lalu berbicara pada Toru, “Setelah kau menemukannya mencoba bunuh diri pada waktu itu, aku tidak punya pilihan lain selain menyerahkannya kembali dalam pengawasan dokter, dan adik kecilnya juga ikut membantu.”

Toru yang mendengar cerita Pak Shinichi menundukkan kepalanya, berusaha untuk menahan air matanya untuk tidak keluar. Namun semakin ia tahan, matanya semakin perih, dan pada akhirnya butir demi butir air mata pun menetes dari matanya. Bertahun-tahun mereka bersahabat, namun mereka tidak saling tahu kondisi masing-masing bahkan pertanda-pertanda aneh yang ditunjukkan satu sama lain pun tidak pernah mereka pedulikan.

Sementara itu, Ryota yang terlihat paling kuat setelah mengetahui kondisi sahabatnya itu mulai angkat bicara.

“Bagaimana kalau kita mencari Nyonya Masako? Hanya dia yang bisa membuat Taka bahagia.”

“Benar katamu, Ryota!” Toru pun menyetujui usul Ryota, “Hmm, kenapa tidak dari dulu paman mencari Nyonya Masako?”

“Alasan paling memalukan yang sebenarnya nyata, nak. Aku malu,” jawab Pak Shinichi.

“Baiklah paman, kami bisa membantu!” Toru pun seperti mendapatkan suatu perasaan optimis luar biasa.

Beberapa saat kemudian, seorang pemuda bertubuh besar yang berusia sebaya dengan Ryota pun datang. Ia memasuki rumah tanpa permisi dan diam saja ketika lewat di depan ayahnya.

“Tomo! Mana sopan santunmu? Kau tidak menyapa kami, ha?!” Pak Shinichi pun membentak anak keduanya itu, namun yang terjadi ia malah membuang mukanya. Pemuda itu bergegas menaiki anak tangga menuju loteng, yang sekarang merupakan kamarnya.

Toru, Ryota dan Pak Shinichi yang tidak ingin berurusan dengan Tomo langsung beranjak dan berjalan menuju kamar Taka. Namun setelah sampai di ambang pintu, Taka yang sedang berada di atas ranjangnya, memalingkan wajahnya ke sisi berlawanan dan berteriak,

“Berhenti! Jangan masuk!”

“Ini ayah dan teman-temanmu,” kata Pak Shinichi pelan.


“Aku tidak ingin kalian melihatku seperti ini,” suaranya lirih seperti kesulitan berbicara, lalu Hiro yang saat itu berada disisinya berlari mendekati ayahnya dan memeluknya.



(To Be Continued)

What's next? Tell me what your prediction is...!
p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!

2 comments:

Feel free to give me your opinion :D