Saturday, August 22, 2015

Sastra Inggris – Secuplik Perjalanan Seorang Anak Bawang

Sastra Inggris – Secuplik Perjalanan Seorang Anak Bawang



Source: Instagram @elisabethcintami
Hari Sabtu gini cocok lah buat cerita-cerita dikit, sambil ngopi sama ngemil wiskas (eh, bukan! Bukan! -__-). Pokoknya sambil ngemil. Oke! Jadi gue mau cerita biar nggak terus-menerus terlarut dalam dunia imajinasi liar gue.

Mungkin sebagian dari kalian males banget bacanya. Tapi cerita ini serius, dan berasal dari dalam lubuk hati gue (yaelah). Oke langsung aja...

Jadi, udah setahun aja gue jadi mahasiswa di jurusan Sastra Inggris alias English Department di UNDIP. Gue nggak nyangka setelah menclok sana-sini, pikiran melayang-layang terbang di udara, dan hati berdebar-debar nan berenang-renang (apasih?), akhirnya gue masuk Sastra Inggris.


Kalau ditanya seneng apa enggak sih masuk Sastra Inggris? Jawabannya sih, seneng banget ya. Kenapa? Ya, inilah pilihan gue.

Kalau boleh jujur, kemampuan berbahasa Inggris gue selama sekolah dulu nggak begitu bagus. Coba bandingin aja sama adek gue yang masih SMP aja udah ikutan “English Club”. Boro-boro masuk “English Club”, dapet nilai tuntas di mata pelajaran Bahasa Inggris aja harus berpeluh darah #lebay (terutama jaman SMA). Pas UN pun nilai Bahasa Inggris gue cuma mentok di angka berkepala 7 (kalo di Naruto, biju yang berekor 7 namanya Shichibi #apasih).

Sebenernya dulu gue maunya masuk Sastra Indonesia karena gue suka banget nulis cerpen, puisi dan kawan-kawannya (dalam bahasa Indonesia). Nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia gue pun paling tinggi di rapor (wondering kenapa EYD gue masih acak2an? Ya, gue belom apal satu buku EYD #jawabannya). Tapi ya, emang kalo boleh jujur nilai gue yang bagus itu ya di mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, TIK sama Kesenian, dan bukan Bahasa Inggris. Cuma mereka berempat yang bisa nyentuh nilai 9 – 10.

Waktu gue berada di ujung tanduk kelas 12 SMA, disitu gue diuji. Gue dihadapkan oleh ribuan pilihan hidup. Tau lah! Masa akhir SMA itu galau, sob! SNMPTN, gue masih belum bisa menentukan pilihan sendiri. Psikologi pun jadi pilihan satu-satunya buat gue demi menempuh bangku kuliah. Kok nggak jadi Sastra? Karena peran keluarga besar gue berperan besar dalam penentuan SEGALANYA (masih mending psikologi, kalo kedokteran kan nggak mungkin). Jujur, gue juga pengen masuk psikologi dan ambil psikologi klinis sambil berobat jalan. Tapi, masa iya kuliah berobat jalan? Ya, nggak masalah sih. Tapi, yang gue sayangkan, gue milih jurusan psikologi di UI yang you know lah! SUSAH DITEMBUS buat seorang Anak Bawang -__-

Lah! SNMPTN kan 3 pilihan? Iya, pilihan 1 psiko UI, kedua Sastra Inggris #nahini UI, dan ketiga psiko UNDIP. Gue milih itu semua tanpa trik! Hanya ngikut saran keluarga. Semuanya, ya gue suka-suka aja sih. Tapi jalur SNMPTN itu adalah jalur yang bukan gue banget! Karena menolak gue mentah-mentah. Jadi, gue gagal.

Gue juga mendaftarkan diri lewat jalur PMDK di suatu Univ swasta di kota Semarang tercinta selama menunggu hasil SNMPTN. Jurusannya? DKV. Lho kok DKV? Jawabannya, karena gue suka mainan “CorelDraw” dan “Photoshop”. Bego kah? Kurasa tidak. Gue juga suka ngegambar, bikin film dan fotografi. Kenapa nilai TIK gue tinggi? Karena pelajarannya tentang design, begitu pula dengan kesenian. Gue diterima disitu, dan ortu gue mendukung karena gue juga pernah menang lomba design. Dan nambah, jurusan DKV di Univ tersebut terkenal paling bagus se-kota Semarang bahkan kayaknya se-Jawa Tengah.

“Tapi, mayoritas orang Indonesia selalu berpikir kalau masuk Universitas Negeri itu jauh lebih membanggakan...”

Gue pun ikut SBMPTN demi mewujudkan statement di atas.

Galau lagi, gue bingung mau pilih jurusan apa. Gue dihadapkan sama keinginan lama gue untuk menjadi musisi. Sebuah Univ negeri di kota gue menyediakan jurusan pendidikan seni musik, cuman ada suatu hal yang bikin gue minder (apa itu? Kapan-kapan gue ceritain), nggak mungkin lolos (batin gue). Lalu gue inget kalo gue pengen masuk UI. UI adalah tujuan hidup gue waktu itu.

Sepupu gue kebetulan lulus dari S1 Akuntansi di UI sehingga ortu gue pengen gue mengikuti jejaknya, daripada gue tenggelam dalam obsesi gue yang menuut mereka bodoh itu: sebagai musisi, artis, budayawan, penulis, filmaker, apalah. Menurut mereka kerja di kantor, jadi akuntan dan mapan itu sangatlah indah dan menyenangkan.

Gue menolak mentah-mentah. Akuntansi gue di SMA nilainya do, re, mi doang, kalo gue masuk akuntansi, bisa-bisa gue muntah darah tiga kali sehari. Kan repot!

Gue pun akhirnya masih memilih psikologi, demi (dibolehin) masuk (sebenernya daftar) UI. Gue pun melupakan sesuatu: Jurusan psikologi UI itu SUSAH BANGET MASUKNYA. Tapi tenang! Kan tiga pilihan. Maka, gue pun juga memilih satu jurusan SASTRA di UI yang menurut gue menantang sekaligus gila (yang nggak tau sebenernya, tapi menurut gue peluangnya lebih besar buat gue masiki), Sastra Rusia. WOW! Kok nggak Sastra Indonesia? Sekali lagi, keluarga besar berperan. Kok nggak Sastra Inggris? Karena peluangnya sama sempitnya dengan Psikologi.

Terus Sastra Inggris UNDIP itu? Ya, itu jodoh gue yang sebenernya cuman gue sisipin. Gue sekali lagi, pengen klik Sastra Indonesia, terus gue merenung:

Apa yang gue pikirkan mungkin kedengeran sangat bullshit. Bahasa internasional itu ya bahasa Inggris, dan gue adalah seseorang yang exhibitionist. Sifat exhibitionist gue ini lah yang membuat gue bercita-cita untuk jadi seniman bahkan penulis. Blog ini adalah salah satu perwujudan sifat exhibitionist gue, bahkan tulisan ini juga. Disamping itu, sifat exhibitionist gue membawa gue terus-menerus bercita-cita menjadi seniman, lebih tepatnya musisi sekaligus penulis. Nah! Gue berpikir kalau gue pengen terkenal sampe tingkat internasional. Gue pengen jadi artis yang go internasional dan dikenal di seluruh dunia. Mungkin dengan menggunakan bahasa Inggris, gue bisa sampai tujuan itu. Bullshit nggak sih? Tergantung.

Gue pun menyusun begini: Psikologi UI, Sastra Inggris UNDIP dan Sastra Rusia UI sewaktu SBMPTN 2014 lalu. Apakah itu semua asal-asalan? NGGAK! Sama sekali nggak asal-asalan. Kali itu gue udah lebih mementingkan jurusan daripada Universitas. Gue pilih yang gue suka tanpa memikirkan kata orang lain. Sastra Rusia UI gue taruh di pilihan ketiga karena gue belum siap dengan kemungkinan keluarga nggak suka kalau gue lolos disitu. Kenapa? Mereka belum tahu “apa itu bahasa Rusia”, “budaya Rusia” sampai “kenapa harus Rusia?” buat gue. Gue nggak mungkin bisa jelasin ke mereka. Kenapa? Alasannya karena otak gue berpikir random, nggak kaya orang-orang kebanyakan. Mereka nggak akan ngerti penejelasan gue yang dimulai dari Masha and The Bear, negara yang berperan besar terhadap dunia antariksa dan bla bla bla itu. Kalau psikologi, gue mau masuk situ karena gue pengen bisa mempelajari manusia dan berobat jalan #lagi (jadi pilihan pertama karena paling berat buat urusan kuota sampe passing grade). Terus Sastra Inggris UNDIP itu? Ya, itu pilihan kedua gue. Gue letakin jurusan itu dipilihan aman, dan bener kan? Gue masuk situ dan meninggalkan DKV (karena masuk negeri, inget kan kutipan di atas? Hehehe).

Dari dulu gue tahu banget yang namanya jurusan sastra itu peluangnya infinity alias nggak terbatas. Mau sastra apa aja deh. Kenapa? Hmm... Pernah berpikir kenapa kebanyakan jurusan sastra berada di fakultas yang bernama Fakultas Ilmu Budaya? Atau dalam bahasa Inggris “Faculty of Humanities”?

Ini gue jelasin berdasarkan refleksi gue sendiri: Budaya... Culture... adalah hasil cipta, karya dan karsa manusia. Humanities atau humaniora sendiri adalah pembelajaran yang berkonsentrasi kepada cara pikir dan tingkah laku manusia. Sastra sendiri adalah produk dari budaya itu sendiri. Dalam sastra sendiri terdapat hasil pikir manusia. Pernah nggak sih kalian terpengaruh ketika baca “The Davinci Code”? Atau bahkan merenung setelah membaca puisinya Chairil Anwar? Itulah sastra yang merupakan produk budaya. Kalau mau bahas ini susah banget karena luasnya minta ampun. Kalau gue terusin bisa-bisa gue bikin skripsi sebelum waktunya.

Sastra sendiri tercipta oleh karena adanya bahasa. Kita tahu lah kalo bahasa itu alat komunikasi tertua di dunia, meskipun itu bahasa tubuh (eh, itu juga dipelajari lho kalo ambil peminatan linguistik). Nah! Coba nggak ada bahasa? Terus kita mau apa? Diem mematung? Mungkin dunia malah nggak ada kalau nggak ada bahasa. Tuhan aja menciptakan dunia dengan bahasa, yaitu cinta kasih.

Nah! Cerita gue nggak berhenti disitu. Belajar di jurusan yang mengandung unsur sastra itu berarti kita dihadapkan sama segala macam ilmu. LHO? Iya, emang. Nafas dari sastra sendiri adalah membaca. Baca novel doang? YA NGGAK LAH! Segala macam bacaan adalah teman anak sastra, meskipun terkadang proses untuk mau membaca itu bagaikan proses pembuatan tembikar bahkan penempaan keris.

Kok? Ya, gue ngaku aja lah! Gue memang anak IPS banget, tapi semangat membaca gue jauh memenuhi standar anak IPS. Gue lebih suka observasi (itu IPA banget kan ya? Tapi nggak kalau yang lo pelajari “perilaku” manusia), gue juga lebih suka mendengar (jadi ada orang baca atau presentasi, gue dengerin. Itu lebih mudah buat gue pahami) dan gue lebih suka berimajinasi (sehingga otak gue begitu absurd di dalamnya, dan sekali baca satu kalimat, imajinasi gue udah berkelana). Buat bisa membaca satu novel aja, gue bisa menghabiskan waktu satu bulan (ada yang satu tahun lho), kalo boleh jujur. Baca komik? Satu jam kurang udah katam. Hehehe. Ya, itulah proses. Buat bisa ngebut dalam membaca, tau maksudnya, sampai bisa membuat ciptaan sendiri memang butuh proses yang luar biasa keras.

Terus yang anak sastra dihadapkan dalam segala macam ilmu? Ya, dalam belajar ilmu budaya, kita nggak bakal lepas dari unsur filsafat. Filsafat sendiri adalah bakal dari segala ilmu. Terus? Untuk membuat suatu tulisan (fiksi sekalipun) yang berkelas, seorang sastrawan (dari latar belakang apapun) harus belajar dulu (entah observasi, cari-cari artikel sampe sekolah lagi), sastrawan juga harus kritis dengan lingkungan sekitar atau bahkan keadaan “apapun” (nggak ada tema khususnya) yang terjadi di dunia. Makanya, sekarang lo bisa baca “Twilight”, dan bahkan terhanyut. Wah! Itulah alasannya. Sudah pada tahu kan kalau Stephanie Meyer itu lulusan Sastra Inggris? Dalam penulisan semacam itu, nggak cuma unsur mitologi aja yang dimasukin, tapi juga unsur logic of thingking. Logika berpikir itulah yang membuat pembaca (terutama masyarakat modern) lebih terpikat untuk membaca suatu karya sastra. Terus nih ya, buat menganalisis satu karya sastra aja dibutuhkan banyak banget referensi karena sudut pandang manusia dalam melihat suatu hal itu tak terbatas. Jujur aja, buat bahas cerpen The Last Leaf-nya O Henry sama puisi The Sick Rose-nya William Blake buat ngerjain tugas Introduction of English Literature aja, gue sampe buka artikel psikologi, politik, sejarah sampe buka Alkitab juga. Warbyasah!

Hmm... Kalau bahas peluang kerja dari Sastra Inggris sendiri? Banyak yang udah bahas ya. Jadi, gue nggak perlu sebutin lagi. Dan yang lebih bikin gue tertarik adalah kata “artis” atau “entertainer” dalam peluang kerja itu, disamping penulis, diplomat, duta besar, translator, jurnalis, editor, dan blablabla (jadinya disebutin, hehehe). Ya, “ARTIS” atau “ARTIST” atau “SENIMAN” atau “ENTERTAINER”. Jadi, gue nggak harus kuliah di Institut Kesenian kalo mau jadi “ARTIS” (kurang lebih begitu intinya) karena pelajaran kesenian apapun bisa dimasukkan dalam Sastra (walaupun kebanyakan masih sebatas apresiasi, tapi kalau bisa produksi, kenapa enggak?).

Mau jadi seniman lewat sastra Inggris? Ya.

Menyimpang? Nggak kok. Tuh ada peluang di kerjanya. Hehehe :D



Emang bisa nyanyi, nge-band sampe bikin orkestra lewat Sastra Inggris? Bisa banget. Mau nulis lagu dengan lirik berbahasa Inggris? Ayo! Di-share ke seluruh dunia? Ayo! Lagian, musikalisasi puisi juga dimiliki Sastra Inggris kok. Mau bikin film? Ayo! Nggak cuma bahasa Inggrisnya dalam film, tapi ada kajian sinema dalam pembelajaran di Sastra Inggris (terutama yang ambil Literature sama Amstud). Drama? Uh! Itu mah pasti. Mau jadi pelukis, designer, animator? Ayo! Kalau lo punya kemampuan visual lebih dan kemampuan untuk mewujudkannya, terus setiap kamu membaca bisa menghasilkan suatu karya seni visual, dan imajinasi lo  liar? WHY NOT?! Hehehe.

Mo jadi apalagi? Dubes? Diplomat? Jurnalis? Editor? Penulis? Guru? Dosen? Peneliti? Filsuf? Translator? Budayawan? Kurator? Sutradara? Script Writer? Musisi? Song Writer? News Anchor? Public Relation? Advertiser? Designer? Aktor? Model? Miss Universe? Menteri? Presiden? Blablablablaaa buanyak....

Udah ah, udah long post banget. Lain kali gue ceritain lebih banyak. Huft! Kalo diterusin, lagi-lagi, gue bisa skripsi sebelum waktunya. Hehe. :) Makasih yang udah mau #sukarela membaca curhatan si Anak Bawang ini. Kalo mau kasih nasehat, tanya-tanya atau malah sharing, boleh banget. Hehehe. :D


LOVE YOU! Hehehe :D

Add LINE "Elisabeth Cintami"
Just scan it! And DONE :)




8 comments:

  1. wahh cocokk kak.. :) thanks ya kak.

    ReplyDelete
  2. makasih kak, artikelnya bagus bgt, jd tmbh yakin mau ambil sastra inggris :)

    ReplyDelete
  3. makasih kak, artikelnya bagus bgt, jd tmbh yakin mau ambil sastra inggris :)

    ReplyDelete
  4. such a great article.. Makasih kak!

    ReplyDelete
  5. Kak nilai bahasa inggrisku di sekolah cuma 8 di raport, terus aku lemah banget di listening. kira-kira aku bisa masuk sastra inggris gak sih kak?
    Thanks~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dek, nilai 8 mu tidak terlalu terpakai saat kamu dihadapkan pada teori2 feminism, sexism, psikoanalisis, marxism. Besok kalau kamu keterima di sasing, coba kasih tau kakak ya, topic essay dan teori yang kamu apa :)

      regard,
      Anak ingusan

      Delete
    2. *teori yang kamu pakai

      Delete
  6. what ever the result is the beauty part is the process

    ReplyDelete

Feel free to give me your opinion :D