Sunday, February 26, 2012

Sampai Kapan Aku Harus Menunggu (Cerpen By Request)


                Disini, di bawah sinar rembulan. Aku selalu menunggunya, menunggu dia yang aku cintai. Walaupun sia-sia saja penantian ini.
                Aku seorang yang bisu. Bisu dalam cinta. Tak pernah aku ungkapkan rasa rinduku padanya. Bahkan hanya air mata yang keluar dari mataku ketika mengingatnya.
                Dulu aku dan dia selalu bersama di dalam sebuah persahabatan. Di masa susah dan senang. Tak pernah kita terpisah. Hingga pada suatu saat aku harus menerima kenyataan pahit bahwa dia harus berpisah dariku.
                Belanda. Dia di Belanda. Di sebuah negara yang membuat dirinya sendiri damai. Membuat kebebasan mutlak bagi dirinya sebagai seorang gay. Mungkin semua orang berpikir bahwa aku ini wanita bodoh yang tidak bisa mencari seorang pria sejati. Tidak! Aku tegaskan pada kalian! Dia pria sejati dimataku. Dia sosok yang tegas. Dialah yang membuatku merasa berbeda.
                Selama kami bersahabat. Tak pernah aku lihat dia menyukai sesama jenisnya. Bahkan semua orang menganggap kami sebagai sepasang kekasih. Kami bersahabat semenjak kami duduk di bangku SMA. Entah mengapa, kami selalu masuk dalam kelas yang sama saat pembagian. Sehingga itu membuat kami tak terpisahkan. Aku benar-benar merasakan ada cinta diantara kami. Namun semua itu pupus semenjak dia berkata tentang kehidupannya yang sebenarnya menjelang hari kelulusan. Hatiku sakit. Sepertinya percuma saja aku mengungkapkan cintaku padanya,
“La, maafin gue ya.” katanya pelan,
“Maaf kenapa Joe?” tanyaku,
“Sheila. Gue gu-gue...”
“Lo kenapa?”
“Gue gay La.”
Mendengar ucapannya itu hatiku serasa tersayat. Seorang Joe yang sangat terkenal sebagai pria tertampan di sekolah dan terkenal pandai itu ternyata gay. Aku seperti tertampar.
“Lo bercanda kan?”
“Eng-enggak La.”
“Nggak mungkin. Gue nggak pernah lihat lo pacaran sama cowo!”
“Ta-tapi gue pernah backstreet sama...”
“Sama siapa Joe?”
“Randy.” jawabnya singkat dan dia menundukan kepalanya.
Randy? Aku benar-benar tidak percaya. Randy adalah mantan pacarku. Dan dia juga gay? Apa nasibku yang mencintai seorang pria gay? Kenapa?
“Joe! Apa lo nggak nyadar kalo selama ini ada cewe yang bener-bener sayang sama lo?” Bentakku,
“Maaf La. Tapi gue beneran bahagia dengan keadaan ini.”
“Lo bodoh Joe! BODOH!” Bentakku lagi, lalu aku pergi meninggalkannya.
                Aku masih terpukul dengan ungkapan Joe. Aku merasa terbunuh saat itu. Padahal aku ingin mengatakan bahwa aku mencintainya lebih dari sahabat. Mulutku membisu dengan sendirinya. Hanya air mata yang mengalir dari mataku ini.
                Setelah kelulusan, Joe melanjutkan kuliahnya ke Belanda. Dia hanya beralasan bahwa disana dia ingin belajar dengan baik. Namun aku tahu alasan sesungguhnya. Agar dia bisa bebas menikmati penyakitnya. Penyakit gay yang sangat menjijikanku.
                Walaupun aku tidak bisa memaafkannya. Aku masih saja menunggunya. Aku masih saja mengenangnya. Aku menjadi bodoh karena cinta. Namun aku bisu dengan cinta.
                Tiga tahun kemudian aku menerima sebuah surat dari Joe. Sebuah kabar bahwa dia akan pulang ke Indonesia sebulan kemudian. Tepat saat Valentine. Aku hanya menunggunya dengan sabar. Walau hatiku masih terluka menerima kenyataannya.
                Hari Valentine tiba. Joe benar-benar kembali. Dia memberiku sebuah hadiah. Dia menyatakan cintanya padaku. Dia berkata bahwa dia sudah tidak mau memiliki pasangan sejenis lagi. Namun itu sungguh membuatku bingung. Aku benar-benar membisu ketika dia berkata cinta.
                Aku memang menerima cintanya. Dia hadiah terindah di hari Valentine ini apalagi sekarang dia memang sudah jauh berbeda. Dia Sarjana sekarang. Dia lulusan Belanda. Dia memang hebat karena hanya dalam tiga tahun saja dia sudah bisa lulus sedangkan aku masih menunggu setengah tahun lagi untuk lulus.
                Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setelah aku tahu bahwa Joe positif HIV. Apakah ini alasan dia untuk tidak lagi gay?  Lagi-lagi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin marah, namun di dalam hatiku aku masih mencintainya.
                Apapun kondisi Joe aku tetap mencintainya. Hingga dia benar-benar tidak berdaya dan hanya terbaring di atas tempat tidur. Sudah satu minggu dia menginap di rumah sakit dengan kondisi yang semakin parah.
“Sheila.” Ucapnya lirih,
“Joe? Lo harus kuat!” Kataku,
“Kapan gue bisa pulang ke rumah?”
“Tunggu kondisi lo membaik ya?”
“Ya. Gue pengen keluar dari kamar. Gue bosen tidur terus.”
“Oke. Gue bawa lo ke taman ya?”
“Iya.”
Aku membawa Joe ke taman untuk melihat matahari tenggelam. Sebenarnya aku sangat sedih melihat kondisinya sekarang. Dulu dia seorang yang benar-benar kuat dan selalu menang dalam pertandingan basket. Namun, dia menjadi lemah dan tak berdaya.
“Sheila. Selama gue sama lo. Gue nggak pernah bikin lo bener-bener bahagia.” katanya,
“Nggak kok. Lo itu segalanya buat gue. Lo selalu bikin gue bahagia. Coba kalau gue nggak bahagia. Gue nggak bakalan cinta sama lo.”
“Ah lo bisa aja. Oh ya, lo harus inget gue setiap malem. Apalagi waktu matahari tenggelam.”
“Emang lo mau balik ke Belanda lagi?”
“Enggak. Gue mau balik ke tempat yang bener-bener indah.” lalu dia tersenyum,
“Jangan bercanda deh!”
“Gue serius. Gue bakal tenang disana. Apalagi kalau lihat lo.”
“Nggak! Mending gue nggak lihat matahari tenggelam daripada lo pergi.”
“Cepat atau lambat gue bakal pergi La.”
Air mataku menetes. Hatiku tersayat setelah mendengar perkataan Joe. Apa aku harus menunggunya lagi? Sampai kapan?
                Selama aku menghapus air mataku, aku tidak sadar kalau hal buruk menimpa Joe. Seketika darah dari hidungnya keluar begitu saja. Aku sangat panik ketika melihat wajahnya yang begitu pucat dan sepertinya ia menahan sakit.
“Joe! Lo nggak pa-pa kan?” Tanyaku dalam kepanikan,
“Eng-enggak pa-pa kok.” jawabnya pelan dan dia benar-benar menahan sakit,
                Aku membawanya kembali ke kamarnya. Walau aku tahu darah seorang positif HIV itu mengandung virus dan dapat mengancamku. Aku tetap bersedia untuk menghapusnya,
“Udah La! Jangan ikutan hapus darah gue. Ntar lo ketularan!” kata Joe merasa bahwa dia menjijikan,
“Nggak Joe! Gue nggak peduli sampe gue mati juga nggak peduli.”
Sepertinya Joe benar-benar tidak kuat dengan kondisinya itu. Aku merasakan bahwa dia sangat kesakitan. Lalu dia tidak sadarkan diri.
                Semenjak itu, aku berusaha untuk menjaga Joe. Dia sangatlah berharga bagiku. Aku tidak mau menunggunya lagi. Aku ingin selalu bersamanya. Namun takdir berkata lain. Tidak ada kuasa yang lebih besar daripada kuasa Tuhan. Di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh dua, dia pergi untuk selamanya.
                Hanya air mata yang bisa aku berikan untuknya. Aku mengingat senyumannya ketika ia akan pergi. Senyuman kedamaian di wajahnya. Dan lagi-lagi aku tidak mampu berbuat apapun. Aku hanya terdiam membisu.
                Malam ini semakin dingin saja. Udara dingin ini menusuk tulangku bersama kenangan akan Joe yang sudah aku uraikan. Sampai sekarang aku tetap menunggunya. Menunggu sebuah hal yang sia-sia. Menunggu hal yang sudah pergi. Rasa cinta yang abadi membuatku rela untuk selalu mengenang dan menunggunya. Hanya satu pertanyaanku. Sampai kapan aku harus menunggu?


Requested by Kharis

Friday, February 17, 2012

Rumput Yang Bergoyang (Cerpen By Request)



                Gue selalu membayangkan akan datangnya seorang malaikat. Malaikat yang selalu tersenyum sama gue setiap gue ada masalah. Malaikat yang bikin hati gue tenang. Malaikat yang menyelamatkan hidup gue yang sunyi ini.
                Gue  Ardhy. Seorang cowo biasa aja dengan kehidupan biasa aja walaupun temen-temen gue bilang kalo gue ini rada rusak. Tapi bagi gue, gue ini biasa aja. Gonta-ganti cewe udah biasa, ngerokok juga biasa, cabut pas jam sekolah udah biasa, minum malah biasa banget. Tapi, entah kenapa gue bosen sama semua itu.
                Sore hari sepulang sekolah, gue pengen sendirian. Entah mengapa gue males kumpul bareng temen-temen gue di tempat nongkrong kami. Padahal itu hobi gue sepulang sekolah. Tapi kali ini gue putusin buat menyendiri di padang rumput.
Niatnya sih memang buat menyendiri. Tapi ada sesuatu yang bikin gue lupa sama niat itu sewaktu gue duduk diantara rumput-rumput yang bergoyang di padang rumput. Gue lihat seorang cewe lagi nge-dance sendirian. Gue bingung juga kenapa dia goyang-goyang. Gue curiga, jangan-jangan dia yang bikin rumput-rumput ini bergoyang.
Karena gue bawa kamera, gue langsung foto cewe itu. Ternyata dia sadar kalo tadi gue foto dia. Dia mendekati gue,
“Heh! Ngapain lo foto-fotoin gue?” Tanya cewe itu sambil bentak-bentak,
“Eng-enggak pa-pa.” jawab gue,
“Lo mau cari gara-gara sama gue?”
“Eh, cantik-cantik kok galak.” gue mulai godain dia,
“Nggak usah pake ngerayu-ngerayu!”
“So-sorry. Emang nggak boleh kalo gue fotoin lo?”
“Nggak lah! Kalo lo itu penjahat gimana?”
“Ye! Mana mungkin cowo keren kayak gue jahat.”
“Keren? CUIIIHHH!” Jawaban dia yang satu ini bikin gue geram,
“Lo itu cewe apa cowo sih?”
“Lo nggak lihat? Jelas-jelas gue cewe!”
“Galak amat.”
“Suka-suka gue dong!”
Tiba-tiba handphone cewe itu berbunyi. Dan dari cara bicaranya waktu bertelepon, dia lagi bicara sama cowonya. Setelah dia mematikan teleponnya,
Sorry, gue nggak ada waktu buat ladenin cowo nggak mutu macem lo!” kata cewe itu,
“Oke. Silahkan.” kata gue, lalu cewe itu langsung pergi.
ooo
                Beberapa hari setelah gue ketemu cewe galak itu, gue mulai ngerasain sesuatu yang aneh. Semacam mikirin dia. Padahal cewe itu udah bikin gue ilfil setengah mati. Nggak lucu kalo gue melamun cuma bayangin wajahnya yang putih banget dan sedikit sangar itu. Padahal gue udah punya cewe.
                Pulang sekolah, lagi-lagi gue ke pandang rumput. Lihat rumput-rumput yang bergoyang, gue jadi ngebayangin cewe galak yang pernah gue temuin disini. Gue bayangin badannya yang seksi, bibirnya yang nggak kalah seksi ehm, sama kulitnya yang mulus. Satu lagi, rambutnya yang kaku. Lucu banget dia. Tapi kalo marah. Gue yakin setan aja pada lari kalo lihat dia.
                Handphone gue berdering dan ternyata cewe gue telepon. Sebenernya gue males ngangkat. Tapi dia udah telepon gue berkali-kali. Karena gue kasihan, ya gue angkat aja.
“Halo. Imel?” kata gue pelan,
“Ardhy! Ada kabar buruk!” kata Imel –cewe gue-,
“Ka-kabar buruk?”
“Sohib kamu, si Bagus.”
“Bagus? DIA KENAPA MEL?” Tanya gue panik,
“Dia, di-dia kecelakaan. Sekarang dia ditangani di rumah sakit.” Jawab Imel,
“Aku kesana!”
“Cepetan Di!”
Setelah gue tutup telepon dari Imel, gue langsung ke rumah sakit. Apalagi Bagus itu salah satu sohib deket gue. Gue bener-bener panik.
                Sesampainya di rumah sakit, gue bener-bener dapat kabar buruk. Nggak cuma kabar. Gue lihat sendiri. Sohib gue itu sudah pergi. Semua yang ada di rumah sakit itu menangis. Gue yang saat itu nggak siap menerima ini nggak bisa berbuat apa-apa.
                Ketika pemakaman Bagus sedang berlangsung, gue dikagetkan oleh datangnya cewe galak yang pernah gue temui di padang rumput. Dia menangis dan sepertinya dia deket sama Bagus. Bahkan ketika semua orang sudah pergi, dia masih di depan nisan dan memandangi makam itu dengan air mata yang menetes.
                Gue yang saat itu penasaran, langsung mendekati cewe itu.
“Jangan nangis!” kata gue,
“Di-dia pacar gue.” Sahut cewe itu.
Gue bener-bener kaget. Ternyata cewe itu adalah pacarnya Bagus. Selama ini gue nggak pernah tau kalo Bagus itu punya pacar. Bahkan dia selalu diam waktu gue dan teman-teman lain lagi bahas tentang cewe.
“Lo pacarnya Bagus?” Tanya gue,
“I-iya.” jawabnya lalu dia lihat ke arah gue dan berkata, “Lo cowo yang fotoin gue itu?”
“I-iya. Sorry buat waktu itu.”
“Ya. Gue udah maafin lo. Bagus yang ceritain tentang lo ke gue.”
“Siapa nama lo?”
“A-anna. Lo?” Air matanya masih menetes,
“Anna? Nama lo cantik juga. Gue Ardhy. Udah jangan nangis! Bagus pasti sedih kalo lihatin lo nangis.”
“I-iya.” lalu Anna menghapus air matanya,
“Nah gitu dong! Kan cantik tuh.”
“Lo bisa aja deh!”
“Kalo gitu kan Bagus jadi nggak sedih.” Kata gue dan Anna tersenyum.
                Semenjak pertemuan kedua gue dengan Anna alias si cewe galak itu, gue jadi suka ketemuan sama dia yang ternyata adek kelas gue sendiri. Gue jarang banget lihat dia karena dia jarang banget keluar kelas. Dia memilih buat main-main sama temen-temennya di dalem kelas waktu istirahat. Tapi, ketemuan gue dan Anna berlangsung diam-diam. Nggak ada yang tau kedekatan gue sama dia. Bisa dibilang, gue punya hubungan backstreet sama dia.
                Ternyata Anna memang cewe yang unik. Gue nggak abis pikir kalo dia itu selera humornya tinggi dan kadang-kadang lemot juga. Cara bicaranya juga bikin gue terhibur banget. Sampe-sampe gue lupa sama Imel, cewe gue sendiri. Apalagi sekarang dia juga jarang nemuin gue karena dia sibuk banget. Gue juga bisa sibuk sama adek kelas gue ini.
                Pagi-pagi sebelum gue berangkat sekolah, gue udah dikagetkan dengan SMS dari Imel,
“Sayang, kita putus aja.” bunyi SMS itu,
“Lho kenapa kamu putusin aku?” tanya gue,
“Temuin gue di belakang sekolah!” jawab Imel.
Gue yang bingung langsung berangkat ke sekolah. Gue nggak ngerti maksud Imel ini. Apa dia udah tau kalo gue deket sama Anna? Apa dia punya cowo baru? Otak gue nggak bisa berhenti bertanya.
                Setelah gue ketemu dengan Imel, gue cuma dapet sebuah tamparan. Ternyata dia tau kalo akhir-akhir ini gue sering jalan sama Anna. Imel merasa udah nggak kuat lagi jadi pacar gue. Karena gue nggak pernah care sama dia. Sebenernya gue nyesel karena diputusin sama dia. Tapi gue memang udah jahat sama dia. Selama kami pacaran, nggak pernah satu hari pun gue dekdikasiin buat dia.
                Hubungan gue sama Anna semakin hari semakin deket aja. Bahkan kita selalu jalan setiap malem Minggu. Walaupun terlalu primitif, gue suka ngajakin dia jalan pas malem Minggu.  Saking deketnya gue sama Anna, akhirnya kita jadian. Dan selama gue jadian sama dia, nggak ada rasa pengen mendua. Rasanya cuma dia satu-satunya cewe di hidup gue. Apa ini yang dibilang cinta sejati? Mungkin.
                Pulang sekolah, gue sama Anna langsung ke padag rumput. Kami menghabiskan sore disini.
“Gue nggak percaya, kita bisa kesini lagi dengan status pacaran.” kata gue ke Anna,
“Iya. Dulu gue marah-marahin lo disini.” katanya,
“Oh ya, lo anak dance ya?”
“Iya. Pasti gara-gara lo mergokin gue nge-dance disini ya?”
“Iya iyalah. Kok lo malah nge-dance disini?”
“Waktu gue lihat rumput-rumput bergoyang, gue kayak pengen ngikutin mereka bergoyang.”
“Wah! Gue kirain lo yang bikin rumput-rumput disini bergoyang.”
“Enak aja lo!”
“Lah kan gue nggak tau.”
“Iya iya.”
“Gue pengen lihat lo ngedance.”
“Ehm, oke deh.”
                Lalu Anna mulai nge-dance. Walaupun nggak ada musik, tapi dia tetep nge-dance dengan energik. Sambil ngelihatin dia nge-dance, gue ambil sebatang rokok dari tas gue. Waktu gue akan menghisap rokok gue itu, Anna lihatin gue dan dengan cepat dia ambil rokok gue itu.
“Jangan pernah lo ngerokok di depan gue!” bentak Anna sambil membanting lalu menginjak rokok gue itu,
“Apa-apaan sih lo?”
“Gue cuma nyelametin lo!”
“Tapi kenapa?”
“Apa lo mau mati muda karena ini?”
“Nggak mungkin juga ah.”
“Jangan pernah sepelein apa yang gue omongin!” lalu Anna menitikan air matanya.
“Lo kenapa Na?”
“Gue cuma nggak mau kehilangan cowo gue untuk ketiga kalinya.”
“Maksud lo?”
“Cowo pertama gue dulu meninggal gara-gara radang paru-paru. Dia perokok berat.”
“Tapi kan gue jarang ngerokok. Paling ya sehari dua kali.”
“Tapi resikonya tinggi Ardhy!” Bentak Anna,
“Oke. Gue nggak akan ngerokok lagi.”
Gue langsung peluk dia. Gue berjanji buat nggak lagi merokok. Walaupun susah banget buat gue. Tapi gue harus berusaha buat dia.
                Semenjak kejadian kemarin, gue mulai jadi anak alim. Gue nggak minum, gue nggak ngerokok. Gue juga jarang main sama temen-temen gue. Gue lebih sering jalan sama Anna. Dia udah ngerubah gue.
                Ujian semakin dekat. Bentar lagi gue bakal lulus. Bokap gue maksain gue buat kuliah di Australia. Sebenernya gue nggak mau kuliah jauh-jauh karena gue pengen terus sama Anna. Tapi kalo bokap gue yang bilang. Gue mau ngapain lagi?
                Setelah gue lulus, gue bener-bener akan kuliah di Australia. Gue mencoba untuk mengatakan hal ini ke Anna,
“Na, maafin gue ya. Gue harus kuliah di Australia.” kata gue setelah pengumuman kelulusan di sekolah,
“Kenapa Di?”
“Bokap gue yang suruh.”
“Ternyata cowo kayak lo. Bad boy kayak lo. Kalah sama bokap sendiri.”
“Tapi...”
“Nggak. Gue cuma bercanda. Nggak pa-pa kok. Kan kita masih bisa ketemu. Sekarang kan jaman udah canggih. Kita bisa LDR.”
“Iya juga ya.”
“Gue dukung lo. Asal lo nggak aneh-aneh.”
“Thanks ya.” kata gue, lalu memeluk Anna. Kali ini air mata gue yang menetes.
ooo
                Selama gue kuliah di Australia, gue selalu berhubungan dengan Anna lewat Internet. Tapi ini nggak cukup. Gue pengen selalu ketemu sama dia. Bahkan setiap gue lihat padang rumput, gue kayak lihat dia nge-dance disana. Tapi itu cuma khayalan gue. Maklum LDR itu berat.
                Empat tahun berlalu. Gue balik ke Indonesia. Tujuan pertama gue adalah padang rumput. Hari ini hari Minggu. Gue nggak yakin Anna ada disana. Tapi gue pengen banget buat sekedar habisin waktu gue disana.
                Sambil menikmati angin sepoi-sepoi di padang rumput, gue dengerin musik. Kali ini gue dengerin musik dance. Aneh banget. Biasanya gue cuma dengerin musik metal. Tapi sekarang gue dengerin musik dance. Waktu gue lagi asik dengerin lagu. Gue dikagetkan dengan adanya seorang cewe berambut panjang dan lurus terurai nge-dance membelakangi gue. Gue heran kok bukan Anna yang ada disitu dan nge-dance. Tapi cewe lain.
                Beberapa saat kemudian, cewe yang nge-dance di tengah rumput yang bergoyang itu berbalik. Gue perhatikan wajahnya dengan seksama. Gue ngerasa ini surprise banget. Karena cewe itu adalah Anna. Sekarang dia berubah. Dia tambah cantik dengan rambutnya yang lurus. Apalagi rambutnya berkibar tersentuh angin.
“Anna!!!” Teriak gue, lalu Anna melihat ke arah gue.
“Ardhy!!!” Teriak Anna balik lalu dia berlari.
“Akhirnya lo balik.” Kata Anna sambil memeluk gue.
“Iya. Gue balik.”
“Gue nggak tahan jauh-jauh dari lo.”
“Gue juga.”
“Mulai sekarang jangan tinggalin gue lagi!”
“Gue nggak bakal tinggalin lo. I’ll never leave you.” Air mata kami menetes diantara rumput-rumput yang bergoyang ini dan teriknya matahari nggak jadi halangan kamu buat melepas rindu.



Requested by Devina

Wednesday, February 1, 2012

Cerpen By Request

HAI!!!
Buat kamu yang pengen request
SEBUAH Judul Cerpen
Sekarang kamu bisa request judul cerpen yang akan gw jadikan satu buah cerpen.
CARANYA...
Kirim 1 judul cerpen beserta tema dan buat siapa cerpen ini ditunjukin nantinya ke...
rockerbudiman@yahoo.com

1 judul yang terbaik bakal dibuat jadi CERPEN dan bakalan dipost di blog ini.
 Makanya!!!
     BURUAN KIRIM!