Wednesday, July 16, 2014

Cerpen Antologi Poster Film 4



Unpredictable Love

 “Oh, I can see now that all of these clouds are following me in my desperate endeavor.” –Remembering Sunday (All Time Low)

            Sebuah perbincangan siang bersama dengan secangkir latte mungkin memanglah menyenangkan. Suasana hangat dan penuh pesona ketika aku bersama mereka, sahabat-sahabatku. Yoyo dan Dani. Mereka pasangan serasi, yang kadang membuatku sangat cemburu. Bukan! Bukan karena aku suka dengan Dani atau apa, tapi karena sampai sekarang aku belum pernah menemukan tambatan hatiku.
            Persahabatan kami sudah berjalan sangat lama, yaitu sejak kami berada di bangku SMP hingga sekarang, kami duduk di bangku SMA. Persahabatan ini juga menghasilkan suatu cinta, terutama antara Yoyo dan Dani. Oh, menurutku mereka adalah pasangan yang sangat serasi.
            “Woy Va!” teriak Dani, memecah lamunanku.
            “I-iya...”
            “Jangan suka melamun, Elva! Nggak bagus buat kamu,” kata Yoyo.
            “Hehe... Nggak kok Yoyo! Cuma mikirin sesuatu,” sahutku.
            “Hayo mikirin siapa?” tanya Yoyo dan Dani bersamaan, lalu mereka tertawa.

***

            Aku tidak mengerti mengapa hingga saat ini aku belum menemukan seseorang sebagai kekasih. Ya, mungkin aku terlalu sibuk dengan urusan sekolah atau keluarga. Keluarga? Ah! Aku sudah muak dengan itu semua. Mama dan papa yang selalu perang dingin –meskipun tidak pernah terlihat bertengkar hebat, tapi sudah meresahkanku- hingga adik perempuanku, Cicil yang selalu dimanja. Ya, namanya saja cewe yang girly. Pastinya kedua orang tuaku sangat menyayanginya, dan aku yang tomboy ini hanya bisa mengisap jempol melihatnya.
            Malam Minggu ini aku sedang tidur-tiduran sambil membaca buku Sejarah, karena pada hari Senin nanti bakal ada ulangan Sejarah bersama guru paling greget se-jagad raya. Ah sudahlah! Aku mau belajar, apalagi waktunya juga sudah menghimpitku, pukul sembilan malam. Hingga akhirnya ponselku berbunyi, memecah konsentrasiku. Aku pun membukanya, dan suatu pesan pendek menantiku.

From: Yoyo
Va! Tolongin aku sama Dani sekarang. Kami kecelakaan di daerah deket sekolah dan sekarang Dani nggak sadarin diri.

            Apa? Kecelakaan? Aku pun langsung bergegas menuju tempat kejadian. Aku sangat panik dan langsung menghampiri mobilku. Tanpa basa-basi, aku langsung tancap gas.
            Daerah dekat sekolah... Dimana? Aku mulai celingak-celinguk, hingga melihat kerumunan. Aku pun meminggirkan mobilku dan menghampiri kerumunan itu. Benar saja, aku melihat ada Yoyo yang sedang berusaha keluar dari mobil Dani yang cukup ringsek di bagian depan. Ia ditolong beberapa orang. Aku juga melihat Dani yang tergeletak tak sadarkan diri, dan berlumuran darah.
            “Kamu nggak pa-pa kan, Yo?” tanyaku setelah Yoyo berhasil keluar dari mobil. Keningnya berdarah, dan ia berjalan pincang karena kakinya terkilir.
            “Aku nggak pa-pa Va,” jawab Yoyo, lalu memelukku, “tapi Dani...” kini aku melihat matanya berair, ia menangis.
            “Nggak pa-pa, dia pasti baik-baik aja,” kataku, menenangkan Yoyo.
            Yoyo dan Dani pun dibawa ke rumah sakit. Aku tidak menyangka bahwa acara mereka malam ini harus berakhir dengan seperti itu. Sebagai sahabat, hatiku terasa sangat kacau. Aku merasa bersalah karena tidak bisa melindungi mereka.
            Dokter mengatakan bahwa Yoyo baik-baik saja, hanya terkilir dan luka ringan di kepala. Sedangkan Dani terluka parah, tulang rusuknya ada yang retak, namun beruntung karena tidak menghantam paru-parunya, dan ada syarafnya yang terancam mati. Namun sayang, dokter belum memastikan syaraf mana yang tidak akan berfungsi lagi. Hal inilah yang sangat merobek hatiku dan Yoyo sekaligus.
            Beberapa saat kemudian, orang tua Yoyo dan Dani datang. Mereka tampak sangat kacau, pastinya. Tidak ada orang tua yang mau anaknya kena musibah. Aku hanya bisa diam, karena kejadian ini terjadi dengan begitu saja.

***

            Pada akhirnya, Dani koma. Yoyo sangat tidak siap menerima keadaan ini. Ia merasa sangat bersalah karena telah mengajaknya pergi malam-malam. Ia tidak pernah berhenti menyalahkan dirinya sendiri, bahkan mengunci diri di kamarnya.
            Aku sangat sedih karena harus melihat dua sahabatku menjadi seperti ini. Aku pun hanya bisa menjenguk Dani, dan sesekali menemaninya semalaman di rumah sakit. Yoyo tidak mau menemui siapapun, dan ini sangat buruk. Aku tahu kalau keadaan Dani sangat memprihatinkan, tapi aku sanagat tidak setuju kalau Yoyo justru memilih untuk menjauh.
            Selama menunggui Dani, aku merasakan sesuatu yang aneh. Melihatnya tertidur, bagaikan melihat seorang pangeran yang tertidur. Tunggu! Jangan! Jangan sampai aku jatuh cinta dengannya! Jangan bodoh, Elva! Dia sahabatmu. Aku berusaha melupakan rasa itu. Aku tidak boleh menghancurkan persahabatan ini, apalagi dengan keadaan mereka yang sanagat memprihatinkan seperti ini.
            Setelah seminggu dalam keadaan koma, akhirnya Dani terbangun. Aku hanya mendengar kabar itu dari kedua orang tuanya karena aku tidak menungguinya pada saat itu. Aku sangat bahagia dan langsung mebujuk Yoyo untuk menemuinya. Ya, meskipun sangat susah untuk membujuk Yoyo, tapi aku berhasil.
            Sesampainya di rumah sakit, aku dan Yoyo mendapat kabar bahwa sesuatu yang sangat buruk terjadi kepada Dani. Suaranya telah diambil darinya. Aku ingat bahwa dokter yang menanganinya pernah mengatakan bahwa akan ada salah satu syarafnya yang mati, dan aku tidak mengira kalau itu syaraf yang berhubungan dengan kemampuan berbicaranya.
            Aku dan Yoyo masuk ke kamar Dani. Kamar rumah sakit VIP itu terlihat sangat kacau, dengan pecahan beling dimana-mana. Ia pasti habis mengamuk. Aku pun melihatnya terdiam, matanya sembab dan wajahnya sangat pucat. Ketika melihat aku dan Yoyo memasuki kamarnya, ia langsung memalingkan wajah. Aku tahu ini berat baginya, karena harus kehilangan suaranya bahkan mungkin untuk selamanya –begitulah kata dokter-. Dengan hati-hati, kami memasuki kamar itu.
            “Dan... Kamu nggak pa-pa kan?” Yoyo mendekati Dani, dan dibalas dengan anggukan walaupun ia tetap tidak mau melihat kami.
            “Dan...” Yoyo mulai membelai Dani, “lihat aku!” kini Dani mencampakkan tangan Yoyo yang mengenai lengannya.
            “Dani!” teriakku. Aku tidak tahan melihat ini, kasar sekali. Mengapa ia harus seperti itu?
            Yoyo langsung menangis dan pergi. Ia berlari kencang sekali hingga aku tidak bisa menangkapnya. Ia pasti sangat kecewa dengan sikap Dani tadi. Aku putuskan untuk kembali ke kamar Dani. Aku mulai menceramahinya soal tata krama. Ya, ia tidak akan menjawabku, tidak seperti biasanya. Kecerewetannya hilang, digantikan dengan keheningan yang panjang, apalagi dengan ia tidak mau melihatku sama sekali.
            Yoyo tidak kembali, ia pulang ke rumahnya. Aku sangat menyesal karena tidak bisa menyatukan mereka untuk saat ini. Dan kini, suasana masih hening. Aku pun mengisi keheningan ini dengan membersihkan ruangan ini. Aneh? Aku tidak peduli. Aku hanya ingin Dani sadar akan keberadaanku.
            Beberapa hari kemudian, Dani sudah diijinkan pulang. Ia pun kembali ke sekolah walaupun sebenarnya ia tidak mau kembali sekolah. Kedua orang tuanya memaksanya untuk menjalani kehidupannya seperti semula dan belajar untuk menerima keadaan. Ya, sejauh ini aku melihat bahwa teman-teman yang lainnya tidak mempermasalahkan perubahan Dani selain bersimpati, sok mengasihani atau apalah itu.
            Namun, hingga saat ini Yoyo masih tetap menghindar dari Dani bahkan dariku. Ia masih mengurung diri dan tidak berangkat sekolah. Aku sangat kecewa karena hal ini terlalu bodoh. Seharusnya ia tidak menjauh karena Dani membutuhkan seorang lagi sebagai pendukungnya, yaitu kekasihnya sendiri.
            Kini akulah yang selalu ada untuk Dani. Aku mencoba untuk tidak memiliki maksud apapun selain berperan sebagai sahabatnya. Hari-hariku justru berubah menjadi sangat melankolis tatkala melihatnya terlihat sangat menderita. Aku tidak tega. Hatiku terasa bagai tercabik-cabik melihatnya menangis tanpa alasan hingga melihatnya tidak mau bergabung dengan teman-teman nongkrongnya, walaupun sesekali ada dari mereka yang mau memperhatikannya.
            “Elva, makasih karena kamu udah mau nungguin aku,” Dani pun menulis di secarik kertas. Inilah pembicaraan pertamanya kepadaku setelah sekian lama.
            “Sama-sama Dan. Kamu kan sahabatku,” jawabku.
            “Tapi sekarang aku berbeda. Aku nggak pantas buat siapapun. Terutama kamu dan Yoyo,” tulisnya lagi.
            “Enggak Dan! Kamu itu berharga buat kami berdua. Ya, mungkin Yoyo shock dengan kejadian ini. Tapi aku yakin kalau dia bisa balik lagi ke kamu.”
            “Aku yang mendepak dia, Va. Aku nggak mau dia punya pacar bisu kayak aku,” kini Dani kembali menitikkan air mata setelah menuliskan kalimatnya.
            Aku pun memeluknya. Aku tidak peduli kalau itu terjadi di kelas. Tidak peduli kalau rasa itu kembali. Kami bersahabat dan tidak ada alasan lain selain itu. Aku harap kami berpelukan bertiga, aku, Dani dan Yoyo. Aku merindukan semua itu. Aku harap suatu keajaiban datang untuk Dani sehingga ia bisa berbicara lagi dan Yoyo kembali dari keterpurukannya. Apakah itu hanya suatu mimpi?
            Menurutku, Yoyo masih mencintai Dani. Ia tidak akan peduli akan keadaan Dani yang seperti ini. Akan tetapi, perlakuan Dani beberapa waktu yang lalu sangat tidak bisa diterima Yoyo. Itu menambah keterpurukannya setelah rasa bersalah bahwa ia telah mengajak Dani pergi di malam Minggu itu. Aku tidak mau hal ini juga menghancurkan persahabatan kami.

***

            Sudah sebulan berjalan setelah kecelakaan itu, dan Yoyo tetap mengurung diri di kamarnya. Mungkin kedua orang tuanya masih bisa menemuinya, namun aku tidak bisa. Ia selalu menolak kehadiran orang lain selain mama dan papanya, bahkan kakaknya sendiri tidak diperbolehkan untuk menemuinya.
            Hingga aku memiliki keberanian untuk masuk ke kamar Yoyo. Aku memaksa. Aku tidak peduli apapun yang akan menimpaku. Yang kupikirkan hanyalah sebuah persahabatan yang harus diselamatkan. Aku masuk, benar-benar masuk. Aku memeluk Yoyo, dan dia hanya diam. Aku merindukannya, namun ia hanya diam.
            “Yo, kamu kok diem aja sih?” tanyaku.
            Yoyo pun mengambil selembar kertas dan menulis sebuah kalimat untukku, “Aku mau diem aja biar sama kayak Dani.” Aku tidak percaya kalau itu yang ia katakan. Rasa bersalahnya terlihat sangat berlebihan.
            “Kamu nggak bisa gitu, Yo!”
            “Aku nggak mau Dani merasa aneh sendirian,” tulisnya lagi.
            “Dia nggak merasa aneh kok,” jawabku.
            “BOHONG!” Tulisnya lagi, lalu ia membuang muka.
            Oh, jadi ini? Yoyo berpikir dengan diam dan membisu akan mengurangi rasa bersalahnya kepada Dani. Tapi cara ini sejatinya gagal. Yang ada hanyalah, ia telah menyia-nyiakan hidupnya. Ini sungguh konyol.
            “Dia bilang kalau dia nggak pantes buat aku, makannya aku bikin dia pantes buat aku.” Tiba-tiba ia mengirimiku pesan dalam chatting Line setelah kami terdiam selama satu jam.
            Aku terpaku. Mereka sangat sulit untuk kembali. Kini aku merasa bahwa usahaku akan sia-sia. Aku muak. Aku berteriak.
            “Bukan gitu Yo! Caranya nggak kayak gitu! Kalau kamu sama Dani saling aneh kayak gini, nggak ada harapan lagi buat hubungan kalian bahkan kita!”
            Aku menyerah dan memutuskan untuk pergi. Aku muak dengan keadaan ini. Rasa-rasanya tidak mungkin bagi kami untuk kembali bersatu. Dan kini giliranku untuk, ehm, menangis.

***

From: Yoyo
Va, aku rela kamu sama Dani. Kalau kamu cinta sama dia, kamu bisa ambil dia buat kamu. Aku nggak pantes buat dia.

To: Yoyo
Nggak! Kamu kenapa sih?

            Sesaat setelah pesan singkat itu dikirim, aku langsung pergi menghampiri Dani. Sekarang hari Minggu, dan kejadian apapun bisa terjadi di hari ini. Aku membujuknya untuk ke rumah Yoyo. Firasatku mengatakan bahwa sesuatu yang sangat buruk akan menimpa Yoyo atau akan dilakukannya sendiri.
            Aku dan Dani bergegas menuju rumah Yoyo. Akan tetapi, kami tidak menemukannya di kamar, bahkan rumah. Hingga akhirnya aku teringat tempat favoritnya, danau. Danau itu letaknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Akhirnya aku mengajak Dani kesana, dan benar saja kalau Yoyo akan melakukan sesuatu yang paling konyol bagiku, bunuh diri.
            “Yoyo!” Teriakku.
            Yoyo hanya menyuruhku mundur dengan bahasa isyarat, ia masih membisu. Dan kini raut mukanya seperti terancam ketika melihat Dani. Ia semakin mendekati Danau dengan berjalan mundur perlahan. Semakin aku atau Dani mendekat, semakin cepat Yoyo mundur meuju dermaga  danau yang posisinya cukup tinggi dari permukaan danau, dan jika terjatuh dari situ aku yakin bahwa ia tidak akan selamat, mengingat danau itu juga sangat dalam meskipun di pinggirnya.
            Semakin dekat, dekat, dekat ujung dermaga, menuju kematiannya. Yoyo terus nekat hingga pada akhirnya sesuatu terjadi.
            “Yoyo berhenti!” Sebuah teriakan. Suara yang kurindukan selama ini.
            Iya, itu suara Dani. Ia berlari secepat kilat menuju dermaga, menghampiri Yoyo. Ia berhasil menghentikan tindakan konyol Yoyo. Ia pun memeluk kekasihnya itu.
            Aku terharu melihat kejadian ini. Perasaanku bercampur-campur, tapi kuputuskan untuk bahagia. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain bersatu kembali dengan para sahabatku. Aku pun menghampiri mereka berdua dan ikut berpelukan. Berpelukan bertiga. Akhirnya ini terjadi lagi.

***

            Setelah kejadian di danau itu, suara Dani perlahan kembali. Kini ia melakukan terapi untuk mengembalikan suaranya lagi supaya ia bisa berbicara seutuhnya. Yoyo pun tidak lagi membisu, dan ia kembali ceria seperti dulu. Aku bahagia karena semua kemalangan ini berakhir. Yang lebih membahagiakanku adalah dimana kami bisa kembali bersama. Dimana tidak ada lagi hari-hari melankolis bodoh yang harus aku lalui. Inilah cinta, tidak bisa membuat kita terpisah, tidak bisa diperkirakan bagaimana seharusnya. Bagaimana merpati akan kembali lagi setelah terbang jauh, dimana bumerang yang dilempar jauh sanggup kita genggam lagi.

(THE END)



Klik disini untuk pengantar, disini untuk cerpen pertama, disini untuk cerpen kedua, dan disini untuk cerpen ketiga.

No comments:

Post a Comment

Feel free to give me your opinion :D