Wednesday, July 16, 2014

Cerpen Antologi Poster Film 2



THE PHOTOGRAPH
“Sometimes you gotta fall before you fly”Who Are You Now? (Sleeping With Sirens)

            Stalking... Stalking... Stalking...
            Akhir-akhir ini aku tidak pernah lepas dari sebuah blog tulis-menulis milik seseorang. Ya, mungkin cerita-cerita di blog ini agak sulit dimengerti bagi pemuda jomblo yang tidak punya tujuan hidup setelah lulus dari sebuah sekolah seni macam aku ini. Tapi, setidaknya aku bisa tenggelam dalam suatu dimensi imajinasi yang indah.
            Setelah beberapa saat aku merasa sedikit bosan, dan tiba-tiba aku memalingkan perhatianku kepada kamera DSLR milikku. Hari ini aku tidak menemukan inspirasi apapun untuk menangkap sebuah gambar, apalagi setelah semua gambar jepretanku ditolak oleh majalah sialan itu. Aku tidak mau membahas bagaimana foto-fotoku kembali dalam keadaan utuh setelah susah payah kukirimkan untuk sebuah event dalam majalah itu. Aku juga tidak mau membahas bagamana orang tuaku marah besar kepadaku.
            Aku kembali fokus ke blog tulis-menulis itu, dan sekarang aku mulai penasaran tentang siapa penulis cerita dalam blog itu. Siapapun itu, pasti ia sangat tertutup dan misterius. Aku mulai melihat detail profilnya, tidak ada catatan apapun. Pembaca dalam blog ini pastinya sangat sedikit karena tidak ada komentar apapun untuk cerita-cerita dalam blog ini bahkan blog ini tidak memiliki follower. Ah, jika aku tahu siapa penulis cerita-cerita dalam blog ini, pasti aku akan mengajaknya bekerjasama untuk sebuah film. Eits! Sebuah film? Mimpi.
            Foto-foto itu...
            Tiba-tiba terpikir olehku untuk membuat sebuah blog fotografi. Mungkin akan ada yang melihat hasil jepretanku itu. Tapi kalau aku harus berakhir dengan nol viewer? Ah, apa salahnya kalau mau mencoba? Aku pernah mendengar kesuksesan para fotografer yang mengupload foto mereka ke blog fotografi yang mereka buat.
            Setelah membuat blog fotografi itu, aku mengupload semua foto yang menurutku menarik. Aku pun juga memfollow blog tulis-menulis favoritku itu supaya bisa mendapatkan informasi yang jelas tentang penulis misterius yang akhir-akhir ini menghantuiku dengan tulisan-tulisan indahnya dalam blog itu.

***

            Keesokan harinya, aku menemukan sebuah komentar di bawah foto dalam blog fotografiku. Komentar itu terletak persis di sebuah foto gadis yang sedang duduk sambil membaca buku di bangku taman kampus. Aku ingat sekali, waktu itu aku sedang iseng mengambil gambar gadis itu. Aku pikir menarik ketika melihat seorang gadis yang sedang membaca buku dengan ekspresi tersenyum.
            “Ngapain lo foto gue? Diupload lagi o_O” komentar akun itu.
            Tunggu! iamnotagoodwriter.com? Blog itu yang mengirimkan komentar? Itu kan blog tulis-menulis favoritku? Wah, pucuk dicinta ulam pun tiba.
            “Itu foto elo? Anak Liberty Art College ya?” jawabku.
            Beberapa menit kemudian, blog itu menjawab, “Iya. Lo juga? Samaan dong? Foto lo keren-keren juga.”
            “Makasih banget. Btw, nama lo siapa?” nah, kini aku mulai bertanya.
            “Ehm. Nggak perlu tahu. Tapi makasih udah mau follow.” Jawabnya, beberapa detik kemudian.
            Nggak perlu tahu? Astaga! Dia benar-benar tidak berpikir kalau aku punya fotonya, berarti aku akan lebih mudah untuk mencarinya.
            “Oke, sip,” jawabku kemudian.
            Aku mulai mencari tahu tentang si gadis dalam foto yang tidak sengaja aku pajang dalam blog baruku itu. Dia mahasiswa jurusan sastra dan baru lulus sepertiku, begitulah kata teman-temanku. Pasti menarik sekali kalau aku tahu siapa gadis yang selalu menuliskan kisah-kisah fiksi yang gila itu. Mungkin aku bisa mewujudkan impianku untuk membuat sebuah film. Film lagi, film lagi.

***

“Apapun itu, aku bukanlah suatu koleksi alam semesta yang ditata rapi dalam konstelasinya.”

            Tiba-tiba aku mengingat kutipan dalam cerita pendek dalam blog iamnotagoodwriter.com itu. Sepertinya itu benar karena aku bebas, aku hidup dalam aturanku. Mari kita mainkan aturan ini.
            Amelia, teman-temannya biasa memanggilnya dengan nama Yamal. Selama ini cerita pendeknya sudah membuatku tenggelam, dan dia harus membereskan ini semua. Salah satu cerita kesukaanku adalah, Jatuh Tenggelam. Iya, benar. Salah satu kutipan favoritku ada disana. Cerita itu mengisahkan seorang gadis yang tidak tahu harus berbuat apa dengan cinta pertamanya yang membuatnya hancur berkeping-keping hingga tidak fokus dalam urusan sekolahnya. Kelulusannya tertunda, lalu ia bangkit dan membuat aturan hidupnya sendiri.
            Rumah Yamal sendiri ternyata tidak terlalu jauh dari rumahku, dan aku pun langsung pergi kesana. Bodoh? Tidak! Aku hanya ingin mewujudkan sebuah film impianku. Ehm, film lagi?
            Aku sampai di depan rumah Yamal, dan sudah pukul empat sore sekarang. Rumah yang tidak terlalu kecil, namun terlihat nyaman itu sangat sepi hingga aku mendengar sesuatu yang sangat menggangguku.
            “Kamu itu sudah lulus kuliah! Cari kerja sana!”
            “Aku udah berusaha, Pa!”
            “Udahlah, Pa. Jangan marahin dia!”
            “Sudah papa bilang kalau jurusan sastra itu nggak berguna!”
            Tiba-tiba aku ingat kalau hal semacam itu juga menimpaku. Seni? Sebuah pilihan hidup yang paling sulit namun paling aku cintai. Yah, orang tuaku juga tidak begitu bangga kepadaku. Aku hanya lulusan fotografi dan selalu gagal dalam menghasilkan uang. Ternyata kehidupan Yamal tidak jauh berbeda dari kehidupanku.
            Aku pun menekan tombol bel yang ada di dekat pagar rumah Yamal. Beberapa saat kemudian seseorang datang membukakan pagarnya. Tidak salah lagi, seseorang itu adalah Yamal. Wajahnya murung, tidak ramah dan sepertinya ia sedang memendam suatu rasa sebal bahkan marah.
            “Mau cari siapa?” tanyanya ketus.
            “Amelia, ehm Yamal,” jawabku dengan sedikit canggung.
            “Oh. Gue Yamal. Siapa lo?”
            “Ar...” aku pun mengajaknya berjabat tangan, “Ardian.”
            “Bentar deh! Gue nggak kenal sama lo,” dia tidak menjabat tanganku.
            “Gue yang pasang foto lo di blog.”
            “Hah?” dia tampak sangat bingung.
            “Boleh ngobrol sebentar?”
            “Sorry, gue nggak bisa,”
            Please! Gue ngefans sama lo!”
            “Ngefans? Apa? Nggak salah denger?”
            “Iya. Elo nggak salah denger.”
            Akhirnya aku diperbolehkan masuk ke dalam rumah Yamal, meskipun hanya sampai terasnya saja. Ia tidak mau kedua orang tuanya banyak tanya akan kehadiranku di rumah itu. Aku pun menceritakan bagaimana aku bisa menemukan blognya dan sangat suka dengan cerita-ceritanya. Aku juga bercerita bahwa hidupku ini juga sangat kacau setelah lulus kuliah, dan sebagainya. Sepertinya dia mau-mau saja mendengarkan ceritaku hingga pada saat aku mengatakan bahwa aku ingin membuat film yang diambil dari salah satu cerita pendeknya.
            Yamal yang tadinya terlihat fokus itu pun malah tertawa terbahak-bahak. Ia tidak yakin jika ceritanya bisa di-filmkan olehku. Sabar. Aku harus sabar. Memang aku juga belum yakin akan kemungkinan bisa membuat sebuah film yang sepertinya sangat jauh.

***

            Seminggu kemudian, aku terkejut setelah membuka blog fotografi milikku yang menunjukkan jumlah follower yang luar biasa banyak. Lima ratus? Serius? Apa-apaan ini? Viewernya sudah mencapai sepuluh ribu, bahkan hampir setiap foto yang kupasang disitu mendapat respon.
            Beberapa menit kemudian, aku menerima sebuah e-mail. Jarang sekali aku bisa mendapatkan sebuah e-mail, terutama dari seseorang.

From: ivanthedirector@mail.com
To: ardianandphotograph@mail.com
Subject: Film
            Sorry, gue nggak pake basa basi dengan kata-kata selamat pagi, siang, sore, malam bahkan makan. Ehm, sebelumnya gue perkenalkan diri dulu. Nama gue Ivan, lulusan sinematografi Liberty Art College (sama kayak elo, cuma bedanya, elo anak fotografi). Gue ngefans berat sama foto-foto yang lo post di blog lo yang namanya notsopictureperfect.com (yang sama sekali nggak gue setujui namanya). Ehm, jujur aja foto-foto lo keren abis.
            Langsung ke inti masalahnya aja. Begini. Gue sebagai lulusan sinematografi pastinya pengen mengaktualisasikan kemampuan gue. Jadi, gue mau buat sebuah film pendek. Gue butuh tim alias kru. Gue lihat penguasaan lo terhadap kamera bagus banget sehingga gue mau ngajakin elo jadi seorang kameramen.
            Masalah filmnya tentang apa, bisa kita bahas besok. Kalo lo tertarik, bales e-mail ini secepet mungkin. Maksimal pukul lima sore hari ini. Ehm, Cuma dengan “Ya.”
Ivan.

            Aku pun melihat jam, sekarang sudah pukul setengah lima sore. Aku pun berpikir cepat tentang semua ini. Aku ingin membuat sebuah film, aku butuh bantuan, dan tentunya aku butuh seorang profesional untuk mewujudkannya. Ya, tekadku sudah bulat, dan aku membalas e-mail itu dengan kata “Ya”, dan beberapa saat kemudian Ivan membalas e-mail itu dan memintaku menemuinya di sebuah coffee shop dekat kampus, besok, pukul sepuluh pagi.
            Keesokan harinya, aku langsung menemui Ivan di tempat yang sudah dijanjikan. Tunggu! Aku tidak tahu siapa Ivan itu? Wajahnya pun aku tidak tahu. Astaga, aku seperti datang di sebuah kencan buta. Tapi, coffee shop itu sepi dan hanya ada satu pengunjung. Seorang pemuda kurus dan tinggi, kulitnya gelap dan ia sedang menyulut rokoknya. Pemuda itu duduk di dekat jendela, ia mengenakan kemeja biru tua polos dan sepertinya menunggu seseorang. Jangan-jangan itu Ivan? Mungkin.
            Aku pun menghampiri pemuda itu, dan memberanikan diri untuk bertanya, “Permisi. Apakah Anda yang bernama Ivan?” Astaga, mengapa kosa kataku bisa se-sopan ini? Ah, aku tidak peduli.
            “Oh, bener. Lo Ardian, bukan?” Thanks God, aku tidak salah. Pemuda itu memang benar-benar Ivan yang mengirimiku e-mail kemarin.
            “Iya.”
            “Silahkan duduk!”
            Ivan pun memulai pembicaraannya tentang film pendek yang direncanakannya kemarin. Sebenarnya film itu akan digunakannya untuk bergabung di sebuah rumah produksi terbaik di Indonesia. Kedengarannya agak menyebalkan karena film itu akan digunakannya sebagai project pribadi, tapi ia menyangkal pendapatku tentang itu. Ia berkata bawa siapapun kru yang tergabung di dalam film itu akan ikut bergabung dalam rumah produksi tersebut.
            Inikah kesempatan emas? Atau hanya keberuntungan pemula? Masa bodoh! Yang aku pikirkan hanyalah bahwa aku akan mewujudkan sebuah film.
            Setelah berdiskusi tentang segala macam cerita yang akan kami buat, kini aku mulai menyarankan “Jatuh Tenggelam,” sebuah cerita pendek yang paling melekat dalam hidupku, dan aku menyarankan Yamal sebagai penulis naskahnya. Jika ia nantinya juga bisa bergabung dalam rumah produksi itu, mungkin orang tuanya tidak lagi memojokkannya, dan ceritanya yang indah itu bisa dilihat banyak orang.
            Aku meminta Yamal datang ke coffee shop ini, dan ia setuju. Beberapa menit kemudian, ia datang menghampiriku dan Ivan. Kami bergabung menjadi sebuah kru kecil sekarang. “Jatuh Tenggelam” akan difilmkan, dan pemainnya adalah Yamal sendiri. Cerita ini akan menceritakan bagaimana ia menghadapi kegagalan, terutama masalah cinta pertamanya.

***

            Syuting...
            Mungkin syuting kali ini masih terasa seperti main-main, karena kami hanya menggunakan peralatan seadanya. Jumlah kru yang hanya tiga orang itu sepertinya memang menyebalkan. Tapi, cerita satu sisi yang dibawakan Yamal lebih memudahkan bagi kami, apalagi dialog yang sangat sedikit membuat kami tidak begitu kesusahan dalam masalah audio.
            Tiba saatnya mengekspos sebuah kegagalan yang sering dialami anak muda, yaitu kegagalan cinta. Kini aku atau Ivan harus ikut masuk dalam frame sebagai seorang yang dicintai Yamal. Oke, hanya akting, akan tetapi kisah ini pernah dialaminya secara nyata sehingga akan mengakibatkan sebuah efek nostalgia yang luar biasa bagi Yamal. Untuk yang satu ini aku tidak bersedia, lebih baik Ivan saja yang berperan menjadi kekasih Yamal. Ivan pun ikut menolak, sehingga muncul percekcokan diantara kami bertiga. Terpikir olehku untuk mencari seorang pemain tambahan, tapi Ivan menolak karena syarat dari produser rumah produksi itu yang ternyata membatasi jumlah kru, yaitu maksimal tiga orang.
            “Cukup!” Yamal mulai mengambil alih, “kalau nggak ada satupun dari kalian yang mau main, mending kita hapus adegan itu.”
            “Tapi Yam, adegan itu bumbu cerita kita,” tepis Ivan, “apalagi cerita ini kan tentang cinta pertama.”
            Aku yang mendengar itu hanya mengangguk setuju.
            “Ya kalo lo anggap itu bumbu, kenapa lo nggak mau main?”
            “Gue nggak mau kalo lo ineget masa lalu lo yang macem itu.”
            “Come on! Gue udah move on kalik!”
            Setelah mempertimbangkan sungguh-sungguh, akhirnya Ivan mau berperan menjadi kekasih Yamal dalam cerita itu. Kenapa bukan aku? Karena aku sadar kalau aku tidak bisa berakting. Ya, setidaknya kamera tetap di tanganku.
            Film berdurasi lima belas menit itu pun selesai dalam waktu satu bulan. Cukup lama, tapi kami puas setelah menyuntingnya. Aku harap produser rumah produksi itu mau menerima film ini, karena itu semua sangat berarti bagi kru kecilku.
            Bos Adit, begitu mereka menyebutnya. Ia pemilik “Stacato Film,” rumah produksi terbesar di Indonesia saat ini. Mendengar hal itu saja rasanya sudah sangat mendebarkan. Produser itu memang sangat selektif untuk memproduksi filmnya. Aku, Yamal dan Ivan pun mulai berdiskusi dengannya. “Jatuh Tenggelam” versi kami pun diputar dan dibahas dalam waktu bersamaan dari berbagai segi.
            Beberapa jam kemudian, Bos Adit mengatakan hal yang menurutku luar bisa, “Kita harus membuat film ini menjadi besar. Ya, dalam arti saya akan membeli cerita film ini.” Tapi aku tidak menemukan petunjuk bahwa kru kecilku bakal diterima di rumah produksinya. “Baiklah. Film ini bakal saya produksi sehingga butuh Yamal, pastinya. Ia akan berperan sebagai penulis naskah. Saya yakin bahwa naskahnya bisa diperbaiki lagi hingga menjadi film berdurasi panjang.”
            Sesaat aku terdiam dan kini kurasakan bahwa suasana berubah menjadi hening. Hanya Yamal? Cerita ini saja? Lantas bagaimana dengan nasib kru ini? Bagaimana dengan aku dan Ivan? Sesaat aku juga melirik Ivan yang wajahnya penuh tanda tanya. Aku yakin bahwa ia pasti bingung karena Bos Adit hanya memilih ceritanya, bukan dia. Bukan aku juga.
            “Ehm, pastinya akan lebih baik,” tiba-tiba Bos Adit memecah keheningan ruangan ini, “kalau Ivan menjadi sutradaranya, dan Ardian menjadi penata artistiknya.”
            Kini aku merasa sangat lega. Apakah film itu hanya mimpi? Kebetulan? Kurasa tidak. Aku akan menggenggam tujuanku dan membuktikan kepada semua orang bahwa perjuanganku untuk menjadi seniman tidaklah sia-sia.
            Tiba-tiba aku ingat akan blog fotografiku yang tidak kusentuh selama seminggu. Aku ingat dengan foto Yamal di blog ku. Aku ingat e-mail Ivan yang isinya mengajakku bergabung dengannya dalam produksi film ini. Aku pun ingat akan hari ini. Deal? Ya.
            Aku pun mengambil kamera di dalam tas kameraku. Aku mulai mengambil gambar pertemuan ini. Aku akan mendeklarasikan semuanya. Aku akan mengatakan kepada dunia bahwa aku bukanlah pecundang. Aku juga akan mewakili Ivan dan Yamal. Kami akan berteriak. Kami adalah lulusan sekolah seni. Kami punya harapan. Kami punya tujuan. Dan kini kami memegang kendali dari tujuan kami sepenuhnya.

(THE END)


Klik disini untuk pengantar dan disini untuk cerpen pertama.

No comments:

Post a Comment

Feel free to give me your opinion :D