Wednesday, July 16, 2014

Cerpen Antologi Poster Film 1



UNTITLED

“You need to get lost before you get found.”Lost and Found (A Rocket To The Moon)

            “Bang! Lo harus janji sama gue. Jangan pernah sakiti cewe, siapapun itu!”
            “Yo’i! Gue janji nggak akan sakitin cewe manapun. Nggak bakal bikin dia sedih kecewa, sakit...”
            “Dan lesbian!”
            “Oke oke! Dasar adek bawel!”

***

ESTHER
            Pagi ini aku terbangun dengan mata sembab, muka lusuh dan make-up luntur. Ya, semalaman tadi aku menangis hingga tertidur. Mungkin aneh kalau sekarang aku merasa cukup baik apalagi setelah kejadian semalam.
            Pesta ulang tahun Nindy. Aku ingat sekali betapa sakitnya hatiku ketika ia mengumumkan kekasih barunya. Gadis kaya itu mungkin bisa memacari seluruh cowo yang dia mau bahkan Edo, pacarku sendiri. Iya benar, Edo yang telah diumumkannya sebagai kekasih barunya yang “katanya” paling spesial diusianya yang ke tujuh belas. Dasar orang nggak punya hati!
            Aku pun mulai mengaktifkan kembali ponselku yang kumatikan semalaman, dan disitu terlihat ada lima puluh pesan singkat serta dua puluh panggilan tak terjawab dari sahabatku, Lisa. Astaga! Aku lupa berpamitan dengannya saat pulang dari pesta itu. Dia pasti bingung sekali. Ah, aku tidak peduli! Dia kan adkinya Edo. Pasti diam-diam dia sudah merestui hubungan “backstreet” Edo dengan Nindy.
            Tiba-tiba ponselku berbunyi dan disitu hanya tertulis nomor tak dikenal, dan aku pun sukses mengabaikannya. Aku tidak mau berbicara dengan siapapun hari ini. Aku sedih. Aku marah. Aku kecewa. Hanya itu yang menyelimuti seluruh hatiku. Aku pun kembali menangis –walau aku sempat merasa baikan- dan membenamkan wajahku ke dalam bantal yang menurutku paling empuk sedunia.
            Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamarku, aku pun terdiam dan tidak peduli.
            “Esther! Buka pintunya sayang!” ternyata mamaku. Tapi aku tidak mempedulikannya dan terus menangis.
            “Sayang, bangun dong. Ini udah siang lho!” mama pun masuk ke dalam kamar tanpa seijinku. Akan tetapi, aku tidak membalikkan tubuhku yang tengkurap di atas termpat tidur. Aku tidak ingin mama melihatku menangis karena biasanya aku selalu ceria dihadapannya.
            “Hmm... Hari Minggu, Ma.” Sahutku pelan tanpa gairah.
            “Ayo bangun!” mama pun mulai menyentuh kepalaku dan membelai rambutku. Rasanya lebih baik kalau aku menahan rasa sedih ini untuk sementara demi mama.
            “I-iya ma. Aku mandi dulu ya,” kataku tanpa memandang wajah mamaku. Aku pun langsung bergegas pergi ke kamar mandi dan mencoba melunturkan kesedihan ini. Mungkin air bisa jadi sahabatku kali ini.

EDO
            Menyesal, malu dan bingung. Pesta semalam benar-benar kacau bagiku. Aku tahu kalau aku juga mencintai Nindy meskipun aku juga mencintai Esther. Hubunganku dengan Nindy sudah berjalan cukup lama, tapi kami sudah sepakat untuk menutupinya rapat-rapat. Apa boleh buat kalau akhirnya Nindy sendiri yang membongkar semua ini. Aku tahu semalam dia tidak sadar. Dia mabuk. Aku pun juga mabuk. Aku lupa kalau ada Esther disana bahkan adikku sendiri, Lisa yang merupakan sahabatnya.
            Sekarang Lisa resmi membenciku. Aku lupa akan segala janjiku kepadanya untuk tidak menyakiti hati perempuan, siapapun itu. Aku pun mulai merasa kesakitan karena semalam ia menghantamku dengan kepalan tangannya. Ya, meskipun dia adik perempuanku, tetap saja emosinya tinggi ketika aku melanggar janji.
            Aku bingung bukan main, bahkan tidak ada seorang pun yang peduli denganku. Aku mulai memperhatikan ponselku dan tidak ada telepon, chat bahkan pesan singkat dari siapapun. Aku mulai merasa bersalah dan berdosa. Kenapa aku harus mabuk? Kenapa aku sebodoh itu?

LISA
            Nggak boleh! Bang Edo nggak boleh jahat sama Esther! Dia sudah berjanji kepadaku. Aku tidak mau kejadian semalam mengingatkanku kepada masa itu. Persis. Pengkhianatan itu, kesedihan itu dan kesakitan itu. Jangan sampai itu semua terjadi pada Esther. Dia sahabatku, dan satu-satunya yang mau menerimaku dengan keadaanku yang seperti ini. Apalagi jika tiba-tiba dia menjauhiku. Tidak akan aku biarkan!
            Aku mencoba menghubungi Esther, namun tidak ada jawaban. Mungkin nomor ponselku yang satu ini asing karena aku menggunakan nomor cadangan. Semalaman tadi, aku mati-matian menghubunginya dengan nomor biasanya, tapi dia tidak menjawab hingga aku tidak punya pulsa lagi untuk menghubunginya.
            Aku pun bergegas menuju rumah Esther tanpa mempedulikan Bang Edo. Biarin saja! Biar dia merenung saja. Dia sudah sangat bodoh dan mabuk waktu itu. Apapun itu, aku nggak akan biarin Esther sakit hati. Aku sangat... ah sudahlah.

ESTHER
            Astaga! Lisa datang. Ngapain coba dia kesini? Apa dia belum puas menyakiti hatiku dengan membiarkan abangnya yang tercinta itu mencurangiku? Ya, aku tahu selama ini dia marah kepadaku akan suatu hal. Dia pernah mengungkapkan hal itu secara blak-blakan ketika aku kembali lagi dengan Edo setelah kami memutuskan untuk berpisah beberapa bulan lalu.
            Waktu itu aku dan Edo bertengkar hebat karena ia mabuk berat hingga akhrinya kami memutuskan untuk berpisah. Selama itulah, Lisa selalu ada buat aku. Aku tahu itu karena dia adalah sahabatku. Kami bersahabat sejak masuk SMA, lalu ia mengenalkanku dengan kakak laki-lakinya dan seterusnya.
            Lama-lama aku merasakan sesuatu yang aneh dari perhatian Lisa. Itu bukan perhatian yang biasa, melainkan sangat luar biasa. Bahkan dia bisa 24/7 ada buatku, entah lewat media apapun. Aku merasa tidak enak dengannya, namun dia selalu mengatakan semua ini karena ia menyayangiku. Aku sahabatnya.
            Hingga pada saat Edo kembali padaku dengan segala janjinya. Entah mengapa, Lisa marah dan tidak mau berbicara lagi denganku bahkan kakaknya, Edo. Ia memutuskan untuk mengurung diri di kamarnya tanpa meninggalkan jejak apapun. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya disana. Hanya saja, sesuatu yang dilakukannya itu pasti buruk. Aku bisa merasakannya.
            “Esther!” aku mendengar suara mama, ia memanggilku.
            “I-iya Ma,” aku yang sedang berada di dalam kamar itu hanya bisa menjawab iya.
            “Ini lho, Lisa datang!”
            Sebenarnya aku tidak ingin menemuinya, tapi apa boleh buat kalau mama sudah mengatakan aku sedang berada di rumah. Aku tidak bisa mengelak.

LISA
            Aku duduk di ruang tamu rumah Esther, menunggunya. Sudah lebih dari setengah jam aku duduk disini, dan tiba-tiba ingatan burukku muncul begitu saja. Ingatan yang sudah hampa namun tetap menjadi cerita di hidupku.
            Aku sedang berada di pesta. Pesta yang sungguh menakjubkan dengan konser band metal dalam acaranya. Seharusnya aku berada disana dengan Bang Edo, tapi entah mengapa dia menghilang. Aku hanya ikut melompat-lompat dan larut dalam kerumunan hingga aku mengenal seseorang.
            Seseorang. Aku memutuskan untuk melupakan namanya untuk selamanya. Semua tentangnya adalah kebodohanku. Aku malu untuk menceritakan “seseorang”, tapi inilah dia, yang pernah aku cintai. Dimana aku benar-benar memberikan segala milikku padanya. Ya, segalanya kepada pemuda itu kalau mau tahu. Aku kehilangan emasku yang paling berharga itu pun hanya untuknya, berharap ia tidak akan meninggalkanku.
            Setelah sekian lama, aku tersadar akan kebodohanku. Seseorang itu telah membuatku kecewa. Ia meninggalkanku. Ia berkhianat. Ia mencampakkanku. Yang paling buruk adalah, ia mempermainkanku. Aku dijadikan bahan taruhan. Ia hanya ingin kemurnianku untuk kenikmatannya. Ya, aku sudah ternoda olehnya.
            Aku terpuruk selama berbulan-bulan. Aku menyendiri, diam, dan memilih untuk tidak mengenal siapapun untuk merahasiakan keadaanku yang seperti ini hingga pada akhirnya aku kalah. Aku mengenal Esther. Ia telah membebaskanku dari keterpurukan ini, dan membuatku memulai kehidupan baru. Aku pun mulai bahagia dan jatuh cinta kepadanya.
            Hal ini buruk. Aku cinta Esther. Bukan lagi menyayanginya sebagai sahabat, tapi lebih. Aku tahu ini gila, tapi aku benar-benar jatuh cinta padanya. Mungkin sebelumnya aku juga sudah pernah jatuh cinta dengan seorang gadis, tapi hanya Esther yang terbaik bagiku meskipun ia adalah pacar abangku. Tapi aku tidak akan memaksanya. Aku pernah berkata kepada Bang Edo, agar tidak menyakiti perempuan bahkan membuatnya menjadi lesbian. Kalau perempuan itu adalah Esther, itu berarti aku pun tidak boleh membuatnya menjadi lesbian.
            Beberapa saat kemudian, Esther datang. Matanya sembab, pasti ia menangis semalaman. Ia hanya mengenakan kaos pink polos dan celana pendek, rambutnya terlihat sedikit acak-acakan. Dia terlihat buruk sekali.
            “Lo nggak pa-pa kan, Ther?” tanyaku.
            “Eng-enggak. Lo sendiri? Lo pasti seneng dong,” jawaban Esther kali ini membuat mataku terbelalak. Ia pasti berpikir kalau aku yang membuat semua kejadian malam itu terjadi.

ESTHER
            Aku mulai menyinggung Lisa. Mungkin ia tersadar akan suatu hal. Ya, aku tahu kalau dia pernah menyatakan cintanya kepadaku. Aku pernah menolaknya. Itu mungkin membuatnya dendam terhadapku. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa menjadi sama sepertinya. Aku tahu masa lalunya kelam. Aku tahu seseorang telah mengkhianatinya sedemikian rupa. Aku tahu. Aku tahu.
            “Ther! Gue memang pernah bilang cinta ke elo. Tapi asal lo tahu! Gue sudah memikirkan segalanya,” dia mulai menatapku serius, “lo bisa marah sama Bang Edo, tapi jangan marah sama gue karena gue juga marah sama dia. Dia pernah janji ke gue buat nggak nyakitin cewe. Tapi apa? Dia ngelanggar janjinya.”
            “Ya emang. Tapi kan...” jawabku, terputus.
            “Sssttt!” dia menginterupsi kata-kataku dan meletakkan jari telunjuknya di bibirku, “nggak Ther. Gue nggak dendam sama lo. Bagaimanapun juga, cuma elo yang bisa jadi sahabat terbaik gue. Gue juga bosen kok sama kehidupan absrud ini. Obsesi terhadap sesama cewe, dendam sama cowo, luka masa lalu. Ah! Gue udah nggak mau semua itu bikin hidup gue tambah kacau.”
            “Terus apa mau lo?”
            “Cuma ini,” dia mulai memegang pipiku dan menghapus air mataku yang tanpa terasa turun begitu saja, “jangan nangis! Lo nggak pantes nangis. Lo nggak boleh sedih!” Tiba-tiba ia mencium keningku. Sedikit menjijikan ketika aku mengingat saat ia menyatakan cintanya waktu itu. Tapi ciuman ini hanya kuanggap sebagai ciuman persahabatan.
            Bebarapa saat kemudian, aku mendengar bel rumahku berbunyi. Aku hanya terdiam. Sepertinya aku tahu siapa itu.
            “Itu pasti Bang Edo. Lo disini aja! Biar gue usir dia kalo lo mau,” kata Lisa sambil melihat ke layar ponsel yang sedang digenggamnya. “Udah gue bilang, jangan kesini. Dasar abang ngeyel.” Gumamnya sambil beranjak dari tempat duduknya. Aku pun mencegahnya.
            “Udahlah Lis! Biarin dia masuk,” kataku. Sepertinya aku menyerah.
            “Okay.”
            Edo pun masuk ke rumahku. Ia menginjakkan kakinya yang sudah ternoda itu di rumahku. Oke, aku harus memaafkannya. Mungkin memberinya kesempatan atau apapun itu.
            Selama beberapa menit, ruangan ini terasa sunyi. Tidak ada yang berbicara. Suasana menjadi sangat canggung dan menyebalkan. Lisa yang duduk di tengah, antara aku dan Edo pun hanya celingak-celinguk bingung.
            “Jadi, lo udah insyaf?” Ia mulai bertanya kepada Edo dan hanya dijawab dengan anggukan kepala.
            “Oke. Gue akan tinggalin kalian berdua. Setuju?” sekarang dia bertanya kepadaku dan Edo.
            “Lo disini aja Lis!” aku mencegahnya.
            Setelah sekian lama, akhirnya Edo angkat bicara.
            “Ther... A-aku minta maaf ya. Soal kemarin itu...”
            “Aku maafin kamu kok.”
            “Makasih ya.”
            “Tapi kita nggak bisa balikan lagi.”
            “Aku tahu, kamu capek sama aku. Aku minta maaf.”
            “Kita sahabatan aja.”
            Edo pun mengangguk. Ini keputusan yang terbaik. Aku nggak mau terpuruk. Kalaupun ia adalah jodohku, pasti suatu saat nanti ia kembali kepadaku. Aku juga tahu walaupun semalam ia dan Nindy sedang mabuk, pengumuman itu tidak hanya akan dijadikan suatu isapan jempol bagi semua orang yang ada dalam pesta itu. Aku tidak mau dia malu. Bagaimanapun juga, dia adalah kakak laki-laki sahabatku.
            “Sip! Jadi sekarang kita sahabatan!” Lisa pun berteriak senang dan merangkul kami berdua. Tiga sahabat? Yah, mungkin inilah yang terbaik. Aku pun tersenyum lega.

(THE END)

Klik disini untuk membaca pengantar.

No comments:

Post a Comment

Feel free to give me your opinion :D