Friday, September 25, 2015

LULLABY (An One Ok Rock Fanfiction) – part 7 (ENDING)



 Lullaby


Genre: Drama, Tragedy
Theme: Friendship
Panjang: 1807 kata
Illustration by Elisabeth Cintami

Perhatian!
Yang belum baca part 1 bisa klik disini.


Satu hari telah berlalu setelah kedatangan Nyonya Masako. Semalaman penuh ia menjagai putra sulungnya, Taka yang sekarang sudah dipindahkan ke ruangan yang biasa digunakannya setiap menginap di rumah sakit itu. Semenjak kedatangan Nyonya Masako, kondisi Taka terlihat membaik. Semua orang turut berbahagia atas hal tersebut.

“Ibu...” Taka terbangun dari tidurnya dan melihat Nyonya Masako tertidur berpangku tangan di sampingnya.

“Kau sudah bangun, ya?” Nyonya Masako pun terbangun. Wajahnya terlihat begitu bahagia karena sudah lama sekali ia tidak merasakan kedekatan seperti ini dengan anaknya.

Taka pun tersenyum. Kali ini ia merasakan suatu kebahagiaan karena bisa bersama-sama lagi dengan ibunya. Nyonya Masako mencium keningnya dan tersenyum kepadanya. Pancaran harapan muncul dari sorot mata ibunya itu. Akan tetapi, bagi Taka, harapan itu mungkin tidak bisa diwujudkan lagi olehnya.

“Ibu keluar sebentar ya, sayang,” Kata Nyonya Masako, lalu ia meninggalkan putranya sendirian.

Nyonya Masako pun keluar dari ruangan Taka untuk menemui Pak Shinichi yang dari semalam menunggu di depan ruangan. Kini ia didapati sedang tertidur di bangku tunggu sambil memeluk sebuah tas ransel hitam. Semalam ia bersikeras untuk ikut menunggui putranya. Namun ia tidak mau tidur di dalam ruangan, entah mengapa.

“Shinichi! Bangun...” Nyonya Masako menepuk bahu Pak Shinichi dengan niat untuk membangunkannya.

“Oh! Kau, Masako,” Pak Shinichi pun terbangun dengan terlihat sedikit terkejut.

“Di dalam masih ada banyak tempat. Tidurlah di dalam sambil menemani Taka!”

“Oh! I-iya. Nanti saja,” hal ini tentunya dikarenakan masih ada rasa gengsi di hati Pak Shinichi untuk berada bersama mantan istrinya.

“Ngomong-ngomong, dimana Tomo dan Hiro?”

“M-mereka sedang di kafetaria. Sarapan,” Pak Shinichi pun kini terlihat begitu canggung, “Oh iya! Kau belum mandi kan? Mandi dulu sana!”

“Ah kau ini! Aku tidak bawa baju ganti. Tidak perlu.”

“Ini!” Pak Shinichi pun menyodorkan tas ransel hitam yang tadi dipeluknya, “Aku menyuruh Tomo dan Hiro membawakan pakaian beserta alat mandi untukmu.”

“Astaga,” Nyonya Masako pun membuka tas ransel tersebut dan terkejut karena di dalam tas itu benar-benar ada satu setel pakaian miliknya beserta alat mandi. Ternyata masih ada pakaian miliknya di rumah mantan suaminya itu, “T-terima kasih. Shinichi.”

Nyonya Masako pun bergegas menuju kamar mandi dan membersihkan diri setelah seharian kemarin tidak mandi. Sementara itu, Pak Shinichi masuk ke ruangan Taka. Ia mendapati putra sulungnya sedang mendengarkan musik, terlihat dari headset yang dikenakannya sekarang. Headset yang diberikan Toru untuknya.

Melihat ayahnya memasuki ruangannya, Taka pun melepaskan headsetnya. Ia tersenyum kepada ayahnya seakan keadaan sedang baik-baik saja.

“Pagi, nak!” Sapa Pak Shinichi.

“Pagi ayah!” Taka pun membalas sapaan ayahnya itu.

“Sudah baikan ya? Aku mendengar lagi suaramu dengan jelas.”

“Mungkin Yah. Aku tidak tahu.”

“Oh ya! Aku sudah meminta dokter untuk mulai memberikan kemoterapi lagi kepadamu,” Pak Shinichi pun mulai menyampaikan rencananya dengan semangat kepada Taka.

Taka terlihat sangat terkejut. Ia hanya terdiam dan tidak tahu harus berkata apa. Menurutnya, pengobatan macam apapun sudah tidak mungkin dijalaninya lagi. Memang kondisinya terlihat lebih baik sekarang, namun ia tidak menjamin jika masih ada besok untuknya. Sepertinya.

“Kenapa kau diam saja? Bukankah ini kabar bagus?” Pak Shinichi pun duduk kursi yang berada di samping ranjang Taka.

“Ayah! Itu... Kemoterapi itu tidak usah dilakukan.”

“Apa maksudmu?” Pak Shinichi pun terlihat marah setelah mendengarkan ucapan Taka, “Itu demi kesembuhanmu. Kau tidak mau sembuh?!”

Taka pun hanya memalingkan wajahnya dari hadapan ayahnya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia tidak yakin kalau ayahnya mau mempercayainya. Semalaman ia tidak bisa benar-benar tidur karena kegelisahan yang dialaminya. Ia merasa sangat lelah, terutama dalam kehidupan ini. Perasaannya dikuasai oleh keinginan untuk melepaskan segalanya. Ia lelah dengan alat-alat rumah sakit. Ia lelah dengan obat. Ia lelah dengan air mata.

“Aku capek, Yah,” akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan oleh Taka dengan berat hati.

“K-kau ini,” kini Pak Shinichi kembali meneteskan air matanya. Sepertinya apa yang dikatakan oleh putranya itu sudah dipahaminya.

“Maafkan aku. Ayah,” Taka pun kini berani melihat wajah ayahnya.

Beberapa saat kemudian Tomo dan Hiro masuk ke ruangan Taka. Mereka terlihat sangat akur dan bahagia. Setidaknya itu yang terlihat di mata Taka.

“Kakak! Kau sudah bangun!” Hiro pun bersorak gembira sambil mendekati Taka.

“Berjanjilah kepada kami untuk terus hidup, kakak!” Kata Tomo, menyemangati.

Taka hanya tersenyum tanpa mengatakan apapun. Hal yang diinginkannya sudah terwujud, yaitu melihat seluruh anggota keluarga kecilnya berkumpul lagi.

***

Sementara itu Toru sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Taka dirawat. Ia pergi sendirian karena Tomoya dan Ryota tidak bisa dihubungi. Ia menyuruh mereka berdua untuk menyusul, lewat pesan singkat.

Pikiran Toru tidak tenang. Entah mengapa, setelah melakukan segala hal yang menggembirakan kemarin, ia malah merasakan suatu hal yang mengganjal di hatinya: Suatu perasaan takut. Maka dari itu, ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit se-pagi mungkin untuk memastikan bahwa tidak akan terjadi suatu hal yang tidak diinginkannya.

***

Setelah selesai mandi, Nyonya Masako pun masuk ke dalam ruangan kamar Taka. Ia melihat semuanya berkumpul. Tiga anak laki-lakinya dan mantan suaminya berada dalam satu ruangan. Oh, andaikan saja ini terjadi untuk seterusnya, pasti ia akan sangat bahagia, batinnya.

“Ibu!!!” Hiro pun kini berteriak sambil berlari untuk memeluk ibunya.

“Hei! Hiro! Jangan berteriak begitu! Ini kan rumah sakit!” Kata Tomo dengan sinis.

“Uh! Kak Tomo memang menjengkelkan!” sahut Hiro lalu menjulurkan lidahnya sebagai tanda bahwa ia tidak peduli.

“Sudahlah! Kalian jangan bertengkar!” Kata Taka dengan nada lembut. Sudah lama sekali ia tidak seperti itu.

Hiro pun terus memeluk ibunya. Ia ingin sekali dimanja oleh ibunya setelah sekian lama tidak bisa bertemu dengan wanita itu. Ia merasakan sebuah kebahagiaan yang luar biasa di sisi ibunya, apalagi setelah semuanya berkumpul.

“Ibu. Kembalilah bersama kami!” Tomo pun berjalan menghampiri ibunya. Ia memohon. Dengan berlutut. Menangis.

Pak Shinichi yang menyaksikan itu semua pun merasakan perasaan haru yang sangat dalam. Ia tidak bisa menahannya lagi. Ia pun menutupi wajanya dengan kedua telapak tangannya sambil menumpahkan air matanya. Ia tidak tahu apakah ini hal yang membahagiakan atau malah menyedihkan.

Taka merasa sangat lega dan bahagia. Inilah yang dikehendakinya selama ini. Namun dibalik kelegaan hatinya, dadanya justru terasa sangat sesak. Begitu panas. Begitu sakit.

UHUK!!!

Taka pun terbatuk. Terbatuk seperti setiap saat penyakitnya kambuh. Ia sulit untuk bernafas meskipun sudah memakai selang pernafasan. Rasanya sakit sekali, nyeri hingga seluruh tubuhnya. Kepalanya sakit dan tidak ada apapun yang bisa dilakukannya untuk mengendalikan tubuhnya. Dan lagi-lagi, batuknya mengeluarkan darah.

Seisi ruangan pun menjadi sangat panik. Kebahagiaan yang sempat dirasakan tadi terpecah menjadi rasa takut yang luar biasa. Pak Shinichi pun memanggil tim medis lewat telepon darurat, dan Nyonya Masako pun berusaha menenangkan Taka dengan menyeka keringat dingin di wajahnya beserta darah di telapak tangan dan bibirnya. Sementara itu, Tomo dan Hiro terpaku pada posisi mereka masing-masing sambil menagis. Mereka merasakan suatu hal yang salah dalam keadaan ini.

Dokter dan tim medis pun datang. Mereka meminta Pak Shinichi dan lainnya untuk menunggu di luar. Sepertinya kondisi Taka kali ini sudah sangat mengkhawatirkan.

Sesaat kemudian, Toru pun sampai di koridor depan ruangan Taka. Ia terkejut karena Pak Shinichi, Nyona Masako, Tomo dan Hiro sedang berada di sana. Mereka berempat terlihat begitu sedih dan panik. Wajah Toru yang tadinya bersemangat karena ingin melihat sahabatnya yang sempat terlihat membaik itu seketika berubah menjadi suram. Ia dipenuhi rasa ketakutan. Ini yang tidak diinginkannya.

“Toru, jangan masuk dulu!” Pak Shinichi pun mengisyaratkan agar Toru menunggu dulu bersama mereka sementara dokter dan timnya menangani Taka.

Toru menundukkan kepalanya, dan hanya terdiam mematung di tempatnya. Lalu Tomoya dan Ryota pun datang. Mereka terkejut seketika setelah melihat semua yang berada di depan ruangan Taka. Nampak sekali rasa takut yang mereka rasakan. Tomoya pun menepuk bahu Toru, namun ia justru terjatuh berlutut. Kaki Toru terasa begitu lemas hingga tidak bisa menopang tubuh dan juga perasaan sedihnya.

“Toru!” Tomoya pun berusaha mengangkat tubuh Toru dan memapahnya menuju bangku tunggu di koridor itu, “duduklah disini!”

“Kemarin dia baik-baik saja,” kata Toru, lirih.

Semua yang berada di sana merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan oleh Toru. Kemarin Taka terlihat baik-baik saja, bahkan hingga beberapa saat yang lalu. Pemuda itu justru sudah memperlihatkan kondisi yang semakin membaik, namun apa yang barusan terjadi sungguh berbeda jauh. Semua yang melihatnya merasa seperti menaiki sebuah roller coaster, dan dijatuhkan dari ketinggian ke dalam perut bumi.

Beberapa saat, dokter yang menangani Taka keluar dari ruangan. Ia mengijinkan semuanya untuk masuk. Wajahnya terlihat begitu putus asa setelah ketegangan yang dirasakan ketika berusaha menangani Taka, pasien yang sudah selama dua tahun lebih ditanganinya. Memang kini Taka terlihat begitu tenang, namun itu bukanlah ketenangan yang membahagiakan. Ia hafal betul dengan apa yang terjadi.

Wajah Taka terlihat begitu pucat, dan sorot matanya terlihat begitu lelah. Sepertinya benar apa yang dikatakannya, bahwa ia sudah lelah.

Nyonya Masako dan Pak Shinichi pun berdiri di samping anak sulung mereka Sementara itu, yang lainnya berada tepat di hadapan Taka. Mereka terlihat begitu sedih karena hawa ruangan itu sudah berubah, yang tadinya hawa bahagia menjadi hawa sedih. Toru yang sudah tidak kuat melihat salah satu sahabatnya dalam keadaan seperti itu malah menyendiri di sudut ruangan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Semua yang diinginkan Taka berada di ruangan itu. Tak terkecuali.

“Ibu, tolong nyanyikan aku lagu pengantar tidur!” Pinta Taka dengan suara lirihnya, “Selama ini aku tidak bisa tidur karena tidak ada ibu disampingku. Biasanya ibu memelukku ketika semua terasa dingin, ketika aku merasa nyeri, dan ibu yang menenangkanku ketika aku tidak sanggup menghirup udara.”

“Sudahlah, nak! Kau tidak boleh banyak berbicara!” Pak Shinichi pun berusaha menginterupsi perkataan Taka.

Taka pun tersenyum lemah tanpa memperdulikan perkataan ayahnya. Ia pun menggenggam tangan kedua orang tuanya dan meletakkannya di atas dadanya. Ia mengisyaratkan bahwa semuanya harus kembali bersatu. Kedua orang tuanya harus kembali bersama.

“Dan aku, hanya ingin tidur. Melupakan rasa sakit ini,” Taka melanjutkan perkataannya. Permohonannya.

Dengan sedikit berat hati karena perkataan anak sulungnya yang membuatnya sangat terkejut sekaligus takut, Pak Shinichi pun memutuskan untuk bernyanyi bersama dengan Nyonya Masako. Kali ini ia yang mengajaknya. Hingga akhirnya mereka berdua bernyanyi bersama, disusul dengan nyanyian berbisik dari Toru yang didapati sedang menangis di sudut kamar itu. Mereka menyanyikan lagu pengantar tidur yang paling disukai oleh Taka sejak kecil.

“Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are!
Up above the world so high,
Like a diamond in the sky.
Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are!

When the blazing sun is gone,
When he nothing shines upon,
Then you show your little light,
Twinkle, twinkle all the night.
Twinkle, twinkle little star,
How I wonder what you are!”

Pada akhir bait kedua lagu itu, Taka pun tertidur. Ia memejamkan matanya dengan sangat tenang dan melupakan segala rasa sakit yang dirasakannya selama ini. Ia merasakan perasaan damai yang sudah lama sekali tidak dirasakannya, hal yang dirindukannya.

- “Kalian! Teruslah bersama sampai kapanpun! Aku akan selalu ada buat kalian! Di dalam hati kalian bertiga! Aku berjanji.” Setidaknya itulah yang diingat Toru, Tomoya dan Ryota. Itulah yang diinginkan Taka setelah apa yang mereka lalui selama ini. Itulah janji yang diberikannya kepada tiga sahabatnya. Janji yang diucapkannya di atas gedung rumah sakit. Di suatu ketinggian. Dekat dengan langit.-

(THE END)
p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!


NOTE from The Author:

Makasih buat semua yang udah baca fanfiction gue yang berjudul "Lullaby" ini. Yah, fanfiction ini memang nggak berbau "cerita pas konser" atau apapun yang biasa dilakukan band2 pada umumnya. Gue cuma ngangkat tema persahabatan dan kehidupan yang tiba-tiba tersirat di pikiran gue. Ya, ini fanfiction buat One Ok Rock. I don't know what to say, mungkin gue sendiri yang mellow sehingga melahirkan cerita seperti ini. Sekali lagi, INI FIKSI LHO YA!

Uh, dan ilustrasi gambar di fanfiction ini pada part/chapter yang ke 2, 3, 5, 6 dan 7 adalah hasil karya tangan gue yang gatel pengen nggambar. Maaf kalo jelek atau gimana. Gue memang suka design tapi baru suka gambar manual akhir-akhir ini *tepatnya setelah lulusan SMA setahun lalu*, jadi bikin ilustrasi di fanfiction ini sendiri adalah cara gue buat latihan menggambar. Hehehe.

Maaf banget kalo ceritanya gimana-gimana, jelek atau kurang berkenan buat kalian. Gue bikin segala macem cerita berdasarkan dengan apa yang sedang tersirat di pikiran gue *secara tiba2, dan itu selalu absurd*. Tapi makasih banyak buat yang sudah baca :)

Selanjutnya, gue bakal ngelanjutin fanfiction Besties yang merupakan fanfiction buat Sleeping With Sirens yang sebenernya udah setahun lebih nggak gue lanjutin. Kalo mau start baca bisa klik di link berikut ini: Besties chapter 1. Oh ya! Gue bakalan lanjutin juga SONG FICTION yang udah gue mulai beberapa bulan lalu. Terus gue bakal lanjutin review2 lagu atau album musik lagi.

Thanks all!
ELISABETH DYAH AYU CINTAMI WISNUGROHO



Baca juga Song Fiction "Heartache"
Baca juga cerita fiksi lainnya, disini.
Back to part 6

2 comments:

  1. Hai ...
    aku pembaca baru ff kamu ..
    Aku lagi nahan untuk ga nangis diakhir cerita ini ..
    Makasiih sudah buat cerita yg begituuuuu baper!

    Salam kenal n tetap lanjut nulisnya yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo...
      Makasi yak udh baca ff absurd ini... huhu :')
      Makasi jg udh baper #eh hehe...

      Delete

Feel free to give me your opinion :D