Thursday, September 24, 2015

LULLABY (An One Ok Rock Fanfiction) – part 6

Lullaby
-Okasan-
Genre: Drama, Tragedy
Theme: Friendship
Panjang: 1510 kata
Illustration by Elisabeth Cintami
Perhatian!!!
Yang belum baca part 1 bisa klik disini.
Maaf update-nya lama banget karena gue sibuk -banget- setelah masuk kuliah lagi. Maaf banget :(
Makasih buat yang udah ngikutin cerita ini dari awal. Chapter / part ini adalah part sebelum ending. DAN, endingnya bakal gue post BESOK. Oke! Makasih banget yak buat OORers atau siapapun yang udah baca "LULLABY". Kalian luar biasa!
Oke! Cerita ini HANYA FIKTIF BELAKA YA! Jangan anggap kalo ini nyata! Merci! :)



Author's POV


Sudah satu jam lamanya Tomoya dan Ryota menunggu depan sebuah pintu apartemen yang bertuliskan nomor “609” itu. Apartemen bernomor 609 itu adalah milik Nyonya Masako, ibu Taka. Mereka mengetahui keberadaan beliau melalui bartender yang semalam ditemui Tomoya. Meskipun selamam Tomoya tidak mengaku bahwa ia mengenal Nyonya Masako, bartender itu tetap memberikan alamat tersebut.



***


Pagi tadi, Tomoya melihat Toru yang sedang duduk sendirian di kelasnya. Toru memang sering datang terlalu pagi, bahkan menjadi yang pertama berada di kelas. Saat itu, Tomoya melihat wajah Toru yang muram. Sebenarnya ia ingin lewat saja dan tidak peduli, namun kali ini ia malah menghampiri Toru, dan duduk disebelahnya.



“Hei! Ada apa?” Tomoya mulai bertanya dengan nada santai, dan sok melupakan masalah mereka berdua.


“Kau?” Toru pun mulai menunjukkan ekspresi terkejutnya, “Mengapa kau kemari? Bukanya kau sudah tidak peduli denganku?”



“Maafkan aku. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal.”



“Hei! Apa kau tidak tahu?”



“Sepertinya memang banyak hal yang tidak kuketahui.”



“Kau tidak tahu kalau Taka sakit, kan?”



DEG! Jadi, apa yang dikatakan bartender itu benar. Bahkan Nyonya Masako juga mengatakan kalau anak sulungnya sedang sakit. Dan kini, Toru mengkonfirmasi semua informasi tersebut.



Tomoya pun menundukkan kepalanya yang kini mulai terasa berat. Wajahnya tidak menunjukkan eksprei terkejut, melainkan kekhawatiran.



“Memangnya dia sakit apa?” Ini kesempatan Tomoya untuk menanyakan hal itu.


“Kau yakin mau tahu?”



“Mengapa tidak?” dengan sedikit berat, Tomoya juga mengatakan, “Dia juga sahabatku.”



“Baiklah,” walaupun Toru terkejut, ia tidak menunjukkannya, “Ia sakit kanker paru-paru, dan sudah hampir tiga tahun. Sekarang ia sedang sekarat.”




Kini hati Tomoya terasa hancur. Inilah awal dimana ia mulai ingin kembali bersama sahabat-sahabatnya, namun kenyataan bahwa suatu garis takdir yang tidak akan menyatukan mereka berempat kembali telah menghancurkan hatinya. Toru pun juga menceritakan segala hal yang telah menimpa salah satu sahabatnya itu kepada Tomoya. Hal itu menjadi penguatan akan cerita yang didengarnya semalam, di suatu bar.



Tomoya pun mulai mencari informasi keberadaan Nyonya Masako melalui bartender yang ditemuinya semalam, yang kebetulan masih berada di bar itu. Tomoya mengatakan bahwa keluarganya akan mengadakan suatu acara, dan butuh seorang penyanyi untuk mengisi acara tersebut. Tanpa ragu-ragu, bartender itu memberikan alamat tempat tinggal Nyonya Masako.




***


“Ah! Katanya tidak mengenalku?!” Kata Nyonya Masako setelah membuka pintu apartemennya, dan menemukan Tomoya dan Ryota sedang berdiri di depannya.



“Maafkan saya, Nyonya,” Tomoya pun meminta maaf atas kejadian semalam.



“Maaf kalian harus menunggu lama. Sebenarnya ada maksud apa kalian kesini?”



“Apakah nyonya mau ikut dengan kami?” Tanya Ryota.



“Hah? Kemana? Kalian kan teman-temannya Taka. Untuk apa aku ikut kalian?”



“Untuk menemuinya,” jawab Tomoya dengan tegas.



Perasaan bahagia pun muncul di benak Nyonya Masako. Ia sangat rindu dengan anak-anaknya, terutama Taka. Namun ia masih meragukan ajakan itu karena mantan suaminya pasti akan mengusirnya.



“Apa tidak muluk-muluk? Shinichi pasti mengusirku.”



“Tidak mungkin, Nyonya. Beliau telah menyetujuinya,” Tomoya pun mencoba untuk meyakinkan Nyonya Masako.



“Baiklah,” Tanpa basa-basi, Nyonya Masako langsung menyetujui ajakan Tomoya dan Ryota. Ia pun ikut mereka berdua menuju rumah sakit tempat Taka dirawat.



Sesampainya di rumah sakit, Nyonya Masako langsung disambut oleh Hiro, anak bungsunya. Hiro pun langsung berlari untuk memeluk ibunya yang sudah lama tidak ditemuinya. Kali ini mereka berdua menangis dalam pelukan. Bagaimana tidak? Mereka saling merindukan satu sama lain. Sesaat kemudian, Tomo datang. Kali ini ia terlihat sangat senang. Ia tidak bisa menyembunyikan wajah gembiranya saat melihat ibunya.



Tomo pun memeluk Nyonya Masako. Ia tidak bisa berkata apa-apa karena ia terlalu bingung. Kedatangan ibunya itu memang tiba-tiba sekali.



“Ibu,” Tomo pun mencoba untuk bertanya kepada ibunya, “Apa ibu akan kembali ke rumah?”



“Kita lihat nanti ya, sayang,” jawab Nyonya Masako sambil tersenyum.



Beberapa saat kemudian, Pak Shinichi datang, dan dipeluknya lah Nyonya Masako. Kali ini ia memeluk mantan istrinya itu karena menyesal. Perasaan bersalahnya memang begitu menumpuk dan membuatnya sedih, sehingga ia ingin meminta maaf kepada Nyonya Masako.



“Masako, maafkan aku. Aku memang sudah bertindak sangat egois,” Pak Shinichi pun mengakui kesalahannya.



“Iya. Aku memaafkanmu,” jawab Nyonya Masako. Meskipun ia pernah membenci mantan suaminya, ia tetap memaafkannya karena bagaimanapun juga, mengakui kesalahan dan meminta maaf adalah hal yang patut dihargai.



Setelah bertemu dengan kedua anak dan mantan suaminya, Nyonya Masako pun masuk ke dalam ruang ICU tempat anak sulungnya berada. Seperti mimpi, apa yang ia rasakan hari ini terasa bagaikan suatu hal yang tidak nyata. Namun Nyonya Masako tetap merasa bahagia. Ia berharap untuk bisa merasakan kebahagiaan ini untuk waktu yang lebih lama lagi.



Taka masih tertidur. Wajahnya yang pucat memperlihatkan suatu kegelisahan. Mungkin ia sedang bermimpi buruk sekarang, batin Nyonya Masako.



Nyonya Masako mendekati Taka, dan berdiri di sebelahnya. Ia mulai membelai rambut anak sulungnya itu dengan penuh kasih sayang, lalu mencium keningnya. Ia meluapkan semua rasa rindunya hingga air matanya pun tidak bisa berhenti menetes.



Secara perlahan-lahan, Taka membuka matanya. Ia terlihat terkejut setelah melihat sebuah sosok yang hampir mustahil untuk ditemuinya.



“Apa aku sedang bermimpi?” Taka pun bertanya dalam hatinya. Kali ini ia kembali sulit untuk berbicara, namun tatapan matanya mencerminkan pertanyaan yang bisa dibaca oleh ibunya itu.



“Kamu tidak sedang bermimpi, sayang,” kini Nyonya Masako menunjukkan senyumannya yang merupakan senyuman hangat khas seorang ibu, ”Ini ibu. Ibu disini, nak.”



“I-ibu...” Suara Taka kini terdengar pelan dan lirih.



“Iya, sayang,” kali ini air mata Nyonya Masako mengalir lebih deras.



“J-jangan menangis. Ibu,” Taka pun berusaha mengangkat tangan kanannya agar mencapai wajah ibunya. Ia pun menghapus air mata di pipi ibunya karena tidak mau melihat ibunya menangis.



Taka pun berusaha untuk bangkit, dan memeluk ibunya. Ia sangat merindukan pelukan ibunya yang selalu membuatnya merasa lebih baik. Karena posisi kepala ranjangnya yang dinaikkan membuatnya setengah duduk, Taka lebih mudah untuk menggapai tubuh ibunya untuk memeluknya.



“Ibu merindukanmu, nak,” kata Nyonya Masako sambil terus memeluk anak sulungnya itu.



“Aku juga.”



Ketika berpelukan dengan ibunya, Taka merasa sangat bahagia. Ia merasa tenang dan aman, namun ia tetap tidak bisa melupakan kalau waktunya sudah akan berakhir. Ia tidak ingin pergi jika belum melakukan sebuah hal yang selalu dilakukannya bersama ibunya, naik ke atap gedung dan bercerita.



“Ibu,” Dengan sekuat tenaga Taka berkata, “Boleh aku meminta sesuatu?”



“Apapun itu, sayangku.”



“Aku ingin ke atap gedung bersama ibu.”



“Kau serius?”



“Iya, Bu,” Taka pun menark nafas dalam-dalam, “Sekarang juga.”



Nyonya Masako pun akhirnya meminta ijin Pak Shinichi dan dokter yang merawat Taka untuk membawa anak sulungnya naik ke atap gedung rumah sakit. Ia merasa bahwa ini akan menjadi pengalaman kebersamaan mereka untuk terakhir kalinya.



Semua pihak setuju dengan keinginan Taka tersebut, dan mengijinkannya untuk naik ke atap gedung rumah sakit bersama dengan ibunya, dengan syarat bahwa ia tetap dalam pengawasan dokter. Taka menyetujui itu, dan segeralah ia pergi ke atap gedung bersama ibunya.



Taka dibawa ke atap menggunakan kursi roda, dan masih harus menggunakan selang pernafasan berserta infus. Ia juga mengenakan sweater dan slayer karena dokter tidak mengijinkannya untuk terkena terpaan angin. Kali ini ia tidak peduli apapun yang terjadi di atas nantinya, karena yang ia inginkan sekarang adalah menghabiskan waktu bersama ibunya.



“Ibu. Berceritalah!”



“Ah! Kau pasti penasaran kan dengan petualangan ibu, ya?”



“Iya,”



“Baiklah! Ibu akan ceritakan semuanya.”



Nyonya Masako pun menceritakan segala hal yang dialaminya selama perpisahannya dengan keluarga kecilnya itu. Ia mulai dari mencari apartemen baru dan pekerjaan baru. Ia juga menceritakan perasaan bebas yang menurutnya salah. Ia juga mengenalkan “kesenangan-kesenangan” yang menurutnya juga harus dirasakan oleh putra sulungnya itu selagi masih muda. Seperti misalnya klub malam, minum, dan sebagainya. Nyonya Masako mengatakan bahwa hal semacam itu boleh dicoba oleh Taka sekali-kali meskipun agak berbahaya. Tentunya pula, Nyonya Masako menceritakan itu semua dengan nada bercandanya yang khas, sehingga Taka hanya tersenyum ketika mendengarkannya.



“Kau harus sembuh, sayang! Ibu berjanji akan membuatmu merasakan itu semua.”



“Ah, ibu. Aku sudah merasakan yang lebih bagus dari semua itu.”



“Wah! Rupa-rupanya putra ibu yang satu ini nakal juga ya!”



Taka pun tertawa meskipun tidak keras, namun itulah hal yang sudah lama tidak diperlihatkannya. Ibunya selalu bisa membuatnya tersenyum bahkan tertawa dalam keadaan apapun. Itulah sebabnya, ketika ibunya tidak berada di sampingnya, Taka berubah total. Dan semuanya kini seakan kembali seperti sedia kala karena ia sudah bisa tertawa lagi.



Toru, Tomoya dan Ryota menyusul Taka dan ibunya secara diam-diam ke atap gedung rumah sakit. Mereka membawa sebuah gitar dan berencana untuk menghibur sahabat mereka itu.



Setelah Toru, Tomoya dan Ryota sampai, mereka langsung bernyanyi bersama untuk Taka. Meskipun merasa kesulitan, Taka pun ikut bernyanyi bersama mereka. Sepertinya ia terlihat begitu bahagia, dan kondisinya semakin membaik. Semua orang terlihat senang melihat kondisi Taka yang seperti itu.



Selesai bernyanyi, Tomoya mendekati Taka. Perasaan haru pun menyelimuti hatinya karena ia merasa bersalah kepada sahabatnya itu. Ia berlutut di depan Taka dan menundukkan kepalanya.



“Taka, maafkan aku!” Kata Tomoya.



Taka pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia memaafkan Tomoya. Ia memaafkan semua orang, kecuali dirinya sendiri.



Tomoya pun memeluk Taka, lalu diikuti Toru dan Ryota. Mereka berempat terlihat seperti Teletubbies yang sedang berpelukan. Mereka pun tertawa karena rasanya mereka telah kembali ke masa lalu, dimana persahabatan mereka masih baik-baik saja.



Nyonya Masako yang menyaksikan itu semua pun ikut tersenyum. Meskipun ia tidak tahu persis apa yang sudah terjadi, ia ikut gembira dengan kembalinya persahabatan Taka, Toru, Tomoya dan Ryota. Seperti yang sebelumnya, Nyonya Masako berharap kebahagiaan ini akan berlangsung lebih lama lagi, atau bahkan selamanya.




(To be continued)

What's next? Tell me what your prediction is...!
p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!


Baca juga Song Fiction "Heartache"
Baca juga cerita fiksi lainnya, disini.
Back to part 5
Next to part 7
 


No comments:

Post a Comment

Feel free to give me your opinion :D