Monday, September 7, 2015

LULLABY (An One Ok Rock Fanfiction) – part 5



Lullaby
-Aku Bisa Melihatnya-

Genre: Drama, Tragedy
Theme: Friendship
Panjang: 1611 kata
Illustration by Elisabeth Cintami

Perhatian!!!
Yang belum baca part 1 bisa klik disini.
Maaf, mungkin updatenya kelamaan, alasannya bisa dilihat disini ya. Hehe. Ilustrasinya nyusul, jadi memang nggak ada gambar dulu buat part ini. Kalo ada typo atau kesalahan, bisa langsung komentar ya, soalnya mata gue belom sembuh bener, jadi ngetiknya masih semu-semu pake feeling gitu ;) Makasih udah baca fanfiction bikinan Anak Bawang ini yak! Hehehe... Part selanjutnya secepatnya kok. Hehehe.



Taka’s POV

Beep! Beep! Beep!

Aku mendengar suara semacam itu lagi, kali ini diikuti dengan suara berat nafasku yang mengerikan. Perlahan-lahan aku membuka mataku yang mungkin sudah lama terpejam. Aku pun merasakan nyeri yang luar biasa disekujur tubuhku yang masih terkulai lemas, bahkan aku tidak bisa menggerakkan tanganku. Mungkin aku sedang bermimpi, namun setelah aku ingat jika tidak ada rasa sakit dalam mimpi, aku tahu ini bukanlah mimpi.


Aku melihat disekelilingku, ruangan yang familiar dengan bermacam-macam alat yang membuatku ngeri. Ruangan ini pun hanya diterangi lampu yang tidak terlalu terang. Tubuhku dipenuhi dengan kabel, jarum dan selang, bahkan kini aku menggunakan BiPAP untuk bernafas. Astaga, ternyata segalanya telah memburuk.

Aku mendengar suara ayahku meskipun samar-samar. Suara itu terdengar dari luar sana. Aku ingin memanggilnya, namun suaraku tercekat. Tidak mungkin, aku kesulitan untuk berbicara.

“A-yah...” suaraku nyaris tidak terdengar bahkan olehku sendiri. Aku mencoba memanggil ayahku, dan rasanya sulit sekali. Air mataku tidak bisa aku bendung lagi ketika menahan semua ini, aku membiarkannya menetes.

Aku pasrah, dan mulai memejamkan mataku. Kini aku mendengar langkah kaki seseorang yang semakin mendekatiku. Aku harap itu langkah kaki milik ayahku, bukan malaikat maut.

“Kau sudah sadar, nak?” Syukurlah, ternyata itu benar ayahku.

Aku yang masih kesulitan berbicara hanya mencoba membuka mulutku untuk mencoba menyampaikan sesuatu padanya.

“Ayah,” dan sesuatu itu mulai terasa lebih berat bagiku, “Ibu dimana?”

“Sabar ya, nak. Aku masih mencoba untuk menghubunginya,” Ternyata ayah mendengarku. Ia pun menggenggam tanganku dan membelai rambutku. “Kau pasti akan sembuh, nak! Ayah berjanji,” Kata-katanya yang terdengar mantap itu malah membuatku merasa bahwa itu semua tidak mungkin karena aku melihat air matanya mengalir deras. Aku pun hanya bisa mencoba untuk tersenyum meskipun berat.

Disaat seperti ini, aku hanya ingin ibu berada disisiku. Biasanya, dia akan menceritakan banyak hal yang membuatku lupa jika aku sedang sakit. Ia pasti akan menceritakan petualangannya ketika masih muda dulu hingga menyanyikan lagu pengantar tidur untukku. Suaranya yang merdu membuatku keluar dari buruknya rasa sakit.

“Ayah... dimana yang lainnya?”

“Teman-temanmu akan kesini sepulang sekolah, dan adik-adikmu mungkin juga sama.”

Aku terdiam sejenak setelah berbicara dengan ayahku. Kali ini perasaanku sangat berat, bagaikan aku tidak memiliki banyak waktu lagi. Jika ayahku masih berusaha supaya aku sembuh, sepertinya sudah tidak mungkin. Aku bisa melihat bahwa sebentar lagi segalanya berakhir, entah hari ini atau mungkin beberapa hari lagi. Aku yang merasakan semuanya, bukan siapapun.

Sebenarnya aku masih ingin hidup lebih lama lagi, merasakan segalanya, mencoba apapun, hingga memperbaiki keadaan yang sekarang terjadi. Kurasa hidup ini terlalu kacau untuk kutinggalkan. Aku ingin, ketika aku pergi nanti, kehidupan ini tidak kacau lagi. Aku ingin orang tuaku kembali bersama, dan aku juga ingin sahabat-sahabatku kembali seperti dulu.

Namun memang berat ketika aku menyadari bahwa semua itu tidak mungkin. Sembuh? Sepertinya itu hanya mimpi siang bolong. Orang tuaku kembali bersama dan keluargaku utuh? Ah! Aku tahu sekali bagaimana cara mereka berpisah. Cara dimana tidak ada lagi hal yang sanggup menyatukan mereka kembali. Sahabat-sahabatku? Mereka terlalu kecewa denganku. Aku tahu kalau semuanya adalah salahku. Karena aku, mereka semua terpecah. Karena aku, rencana mereka gagal. Aku memang jahat. Mungkin dalam lubuk hatiku, aku menginginkan agar semua orang sama hancurnya seperti aku. Aku yang tiba-tiba jatuh sakit dan menderita itu tidak mau menderita sendirian. Tapi itu harusnya bukan keinginanku. Aku tidak mau.

Lalu? Aku sering berpikir dan mempertanyakan, “Apakah Tuhan itu ada? Apakah Para Dewa itu benar-benar ada, dan berkuasa untuk menolong manusia? Apa justru membuat manusia menderita? Seperti aku.” Pertanyaan yang kejam memang. Aku tidak pernah bertanya kepada ayah ataupun ibuku, atau siapapun. Aku tahu kalau nanti mereka akan menceramahiku, atau justru pertanyaanku ini membuat mereka berada di pihakku, dan ikut-ikutan mempertanyakan hal serupa. Aku juga tidak mau hal itu terjadi.

Kini aku melihat wajah ayahku. Wajahnya memanglah tidak seperti dulu lagi, usia dan ujian dalam kehidupan inilah yang membuatnya berubah. Aku tahu, kini dia semakin terlihat tegar dan berwibawa dalam kerutan-kerutan yang dimilikinya. Namun, jika aku semakin melihatnya, aku semakin ingat dengan ibuku. Apakah ia juga seperti itu? Atau malah terlihat depresi dan hancur sepertiku?

“Apa yang kau rasakan, nak?” ternyata ayahku menangkap sorot mataku.

Aku hanya diam saja, lalu memejamkan mataku. Jawabannya sudah pasti, “sakit”. Namun aku memutuskan untuk diam karena semakin aku berbicara, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi.

“Ayah juga rindu ibumu,” tiba-tiba ayahku mengucapkan kalimat yang sangat mengejutkanku, “ini semua salahku. Tidak seharusnya dia pergi. Dia wanita yang baik,” air mata pun menetes dari mata ayahku. Ternyata perkiraanku salah.

“Maafkan ayahmu ini, nak! Meskipun aku ini sudah tua, aku masih saja berbuat salah. Aku masih selalu egois dan mudah tersulut emosi,” aku pun semakin terkejut karena ayah tidak pernah bertindak seperti ini sebelumnya, “Seharusnya aku melakukan sesuatu untuk membuat segalanya lebih baik, terutama untukmu. Tapi, aku justru memperburuk keadaan. Apa yang kuanggap lebih baik, justru membuat orang lain semakin terpuruk,” kini ayahku menangis, dan menutupi matanya yang lembab dengan tangan kirinya. Ia masih berdiri di sampingku sambil membelai rambutku dengan tangan kanannya.

“S-s-sudahlah ayah!” Kataku dengan susah payah, dan berusaha meraih tangan kanannya untuk kugenggam. Aku merasakan perasaan bersalahnya. Perasaan itu sama dalamnya dengan perasaan bersalah yang kumiliki.

Ayahku terdiam untuk beberapa saat. Ia terlihat sangat sedih sekarang. Memang, semenjak ia menceraikan ibu, aku justru menjadi tidak peduli dengan apapun, bahkan diriku sendiri. Aku tidak mau lagi menyentuh obat-obatan meskipun demi kesembuhanku, tidak mau makan hingga menjauhi semua orang. Aku juga telah beberapa kali mencoba untuk mengakhiri hidupku karena aku sudah putus asa. Aku sendiri merasa bersalah. Kalau saja aku tidak seegois itu, hal buruk seperti ini tidak perlu terjadi. Ayahku tidak perlu meangis di depanku, dan tetap menjaga wibawanya. Persahabatanku pun tidak akan hancur. Dan yang lebih baiknya, aku tidak harus cepat-cepat mati.

Beberapa saat kemudian, dokter datang bersama seorang perawat. Mereka mulai memeriksa kondisiku. Perawat memberikan suntikan morfin kepadaku, dan mengganti BiPAP dengan selang biasa. Mungkin nafasku terasa lebih berat, namun aku lebih mudah berbicara jika begini, dan kini aku merasakan tubuhku tidak lagi nyeri.

“Bagaimana perasaanmu?” Dokter pun mulai menanyaiku. Laki-laki yang sudah menjadi dokterku semenjak aku divonis sakit itu juga mulai menempelkan stetoskopnya di beberapa bagian tubuhku yang ingin diperiksanya.

“Lumayan,” jawabku singkat.

“Kau hebat, nak! Kau masih bisa bertahan samapai sekarang,” kata dokter itu sambil tersenyum. Aku tahu apa yang dipikirkan oleh dokter itu.

“Dokter! Apakah masih ada jalan keluar untuknya?” Ayahku pun mulai bertanya kepada dokter itu.

“Pak Shinichi. Bukanya saya menyerah. Penyakit yang diderita putra bapak ini sudah sangat luar biasa parah, dan bahkan sudah sampai di bagian tubuh lainnya seperti syaraf, darah, bahkan jantungnya,” jawab dokter itu dengan sangat hati-hati.

“Apa maksud Anda?” Kini suara ayahku terdengar marah.

“Kita hanya bisa berharap adanya keajaiban.”

“Tidak mungkin!” Kini suara ayahku terdengar begitu keras.

“Mari ikut saya sebentar!” Dokter pun mengajak ayah keluar dari ruanganku.

Setelah ayah pergi mengikuti dokter, aku pun sendirian lagi di ruangan ini. Perasaanku semakin tidak karuan. Kali ini aku semakin yakin kalau waktuku tinggal sebentar lagi. Kata-kata dokter itu memang benar, aku merasakannya sendiri.

Beberapa saat kemudian, seseorang datang ke ruanganku. Sepertinya dia bukan ayahku ataupun dokter bahkan perawat. Aku pun memutuskan untuk memejamkan mataku agar aku tidak takut kalau saja seseorang itu akan membawaku pergi sekarang.

“Taka,” suara itu terdengar tidak asing bagiku.

“Taka! Ini aku, Toru. Kau bisa mendengarku kan?” Ternyata orang itu adalah Toru. Aku pun memberanikan diri untuk membuka mataku, dan perlahan-lahan melihat ke arahnya.

“Kau,” kataku pelan dengan usaha yang cukup berat, “Ada apa?”

“Sebentar lagi kau akan bertemu ibumu,” Toru berkata dengan penuh keyakinan, bahkan ekspresi wajahnya sangat optimis. Sekarang, dia tersenyum padaku, dan aku pun mencoba untuk membalas senyumannya. Entah mengapa, aku sangat meyakini apa yang dikatakan olehnya.

“Terima kasih,” aku hanya bisa menjawabnya dengan ini.

“Sama-sama.” Kini senyum Toru semakin terkembang, dan itu membuatku rindu masa kecil kami. Andaikan saja aku bisa hidup lebih lama lagi, mungkin senyuman seperti itu akan menjadi senyumanku juga.

Toru pun menggenggam tanganku yang semakin lama semakin mati rasa. Akan tetapi, genggaman tangan Toru begitu kuat dan dalam, sehingga masih dapat kurasakan. Aku tidak tahu harus berkata apa kepadanya. Aku masih kesulitan untuk berbicara, dan hal ini begitu menyiksaku. Tapi aku yakin kalau ia paham dengan kondisiku ini.

“Ini semua berkat Tomoya,” tiba-tiba Toru mengatakan hal semacam ini, “Ia yang membantu aku dan Ryota. Ia baru tahu keadaanmu tadi pagi, dan langsung bergegas mencari ibumu yang sebenarnya sudah ditemuinya tadi malam secara tidak sengaja. Dan beberapa saat lalu, ia memberiku kabar gembira karena ia berhasil menemukannya.”

Tomoya. Ternyata dia sudah tahu apa yang terjadi. Aku tidak menyangka kalau ia akan menjadi perhatian seperti itu. Namun tiba-tiba aku ingat janjinya kepadaku beberapa waktu lalu, yaitu untuk membunuhku. Aku rasa dia sudah menepati janjinya. Tapi mengapa ia justru ikut mencari ibuku?

Aku mencoba untuk tidak peduli akan hal itu, namun tetap saja aku memikirkannya. Aku hargai usaha mereka semua untuk mencari ibuku. Dalam hatiku, aku merasa sangat senang karena mereka dapat kembali bersama, bahkan mencoba untuk mempertemukan aku dan ibuku lagi.

“Maafkan aku,” kataku dengan nada lirih dan tersendat-sendat. “Kalau saja aku tidak egois, kau tidak akan serepot ini.”

“Kau tidak bersalah! Aku yang salah. Andai saja, aku tidak cuek. Andai saja aku tidak merebut Rin darimu. Aku yang bersalah, Taka.”

Rin? Gadis itu lagi? Mengapa Toru masih mengingatnya? Bagiku gadis itu tidak lebih dari cinta monyet yang mudah sekali untuk kulupakan. Mungkin pada awalnya, sikapku terlihat dingin kepada Toru setelah ia merebut gadis itu dariku, namun itu hanya perasaan sesaat karena aku sudah melupakan semuanya.

“Itu bukan salahmu,” tepisku.

Aku pun memejamkan mataku karena rasanya aku begitu lelah sekarang. Tiba-tiba aku merasakan aliran air di tanganku. Sepertinya Toru mulai menitikkan air matanya yang seharusnya tidak perlu ia boroskan untukku. Samar-samar, aku mendengar suara tangisnya meskipun tertahan di tenggorokkannya. Suara tangisannya yang kini semakin menghilang seiring dengan menghilangnya kesadaranku.



(To be continued)

What's next? Tell me what your prediction is...!
p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!


Baca juga Song Fiction "Heartache"
Baca juga cerita fiksi lainnya, disini.
Back to part 4
Next to part 6

No comments:

Post a Comment

Feel free to give me your opinion :D