Sunday, June 17, 2018

Song Fiction - Always Coming Back (Song by One Ok Rock)

Always Coming Back


wattpad.com/storyeleeze
Note: Untuk cerita ini, saya pakai nama fiksional (bukan nama member OOR kecuali Toru sih. Hehe). Kalian bisa bayangin siapapun member OOR berperan sebagai karakter tersebut sebebas-bebasnya. Atau bayangin siapa aja deh boleh, yang penting cerita ini terinspirasi dari lagu "Always Coming Back" nya One Ok Rock.

.
.
.

"Malam ini, izinkanlah aku untuk pulang."
Dalam lubuk hatiku, aku terus mengucapkan kalimat itu. Kalimat itulah yang membimbing langkahku hingga aku bisa mencapai tempat ini. Tempat yang aku tuju. Teriring perasaan yang resah, nafas yang sesak dan keyakinan yang terkoyak. Apakah dia masih mengingatku? Dan yang paling penting, apakah dia akan memaafkanku?
Aku pun mengetuk pintu yang ada di depan mataku ini. Aku ucapkan salam kedatangan se-sopan mungkin untuk memanggilnya agar dia sudi membukakan pintu itu untukku. Pintu ruangan apartemen yang dulunya kami huni bersama. Berikut pula kenangan aku dan dia, pastilah tersisakan dengan jelas di balik pintu itu. Suatu kenangan kebahagiaan yang aku yakini.
"Selamat malam. Siapa ya malam-malam begini?"
Seorang wanita muda berusia 28 tahun membukakan pintu apartemen itu. Wanita itu berbicara tanpa menatap mataku. Ada sebuh tongkat di tangannya.
Ini salahku.
Sepenuhnya, ini salahku.
"Kamu, No-noriko-san kan?"
"Iya, aku Noriko Takahashi. Maaf, kalau boleh tahu, Anda siapa ya?"
Ah, dia tampak ketakutan. Wanita mana yang tidak takut dengan tamu yang tiba-tiba datang di malam hari? Apalagi dia sedang dalam kondisi buta seperti sekarang.
"Ah, aku teman se-kampus mu dulu, Toru. Masih ingat?"
Aku berbohong.
"Kampus ya? Ah, maafkan aku. Aku menderita amnesia. Banyak hal yang sudah terlupakan olehku. Maafkan aku."
Noriko membungkuk, menyesal.
"Ah, tidak apa-apa. Aku sudah mendengar kabarmu sehingga aku kesini untuk menjengukmu. Seharusnya aku yang meminta maaf padamu karena tidak memberi kabar terlebih dahulu."
"B-bagaimana kalau mampir dulu? Silahkan masuk! Aku punya kopi yang enak."
Tidak kusangka bahwa dia akan mengizinkanku masuk.
"Ah, tidak usah repot-repot!"
"Tidak kok. Lebih repot lagi kalau aku harus menghabiskan kopi itu sendiri."
Ia tersenyum. Senyumannya manis dan tulus.
Kepribadiannya tidak pernah berubah rupanya.
"Wah, terima kasih banyak," jawabku dengan nada bersemangat.
"Silahkan masuk!"
"Baik, permisi..."
Aku pun akhirnya memasuki ruangan apartemen itu lagi, hanya saja, dengan perasaan sungkan. Rupanya, ruangan ini memang bukan lagi rumahku.
Aku pun duduk di atas sofa ruang tamu sambil memandangi sekitarku. Sebenarnya tidak ada perubahan yang berarti dari ruangan apartemen ini selain dipasangnya alat bantu untuk penyandang tuna netra. Ruangan ini terlihat rapi dan nyaman meski aku sudah lama sekali tidak tinggal di sini. Penataan interiornya masih sama saja seperti yang terakhir aku lihat jika aku memperhatikan ruangan ini. Apartemen ini merupakan ruangan 2ldk dengan dua kamar dimana satu berfungsi sebagai kamar tidur dan satunya sebagai studio musik kecil, satu ruang tamu sekaligus ruang keluarga , satu kamar mandi dan satu dapur. Namun aku hanya bisa mengamati ruangan ini.
"Ruangan yang sangat rapi, Noriko-san," aku memujinya.
"Ah, terima kasih. Ibuku yang merapikan ruangan ini seminggu sekali. Kebetulan beliau baru saja pulang satu jam yang lalu."
Dia tersenyum manis seakian-akan hidupnya jauh dari penderitaan. Sambil berjalan perlahan membawa teko yang berisi kopi panas, ia berkata,
"Syukurlah, bukan telingaku yang cacat, dan bukan juga tanganku. Kalau sampai terjadi seperti itu, apa gunanya pelajaran yang kupelajari di kampus dulu? Iya kan, Toru-kun?"
"Ah, i-iya. Syukurlah."
"Silahkan. Ini kopinya," dia meletakkan teko kopi dengan perlahandi sebelah dua cangkir kopi yang sudah dia letakkan sebelumnya. Aku pun menuangkan kopi ke dalam cangkir-cangkir tersebut.
Kopinya benar-benar enak. Rasa yang tidak pernah berubah sejak dulu. Kemampuannya dalam meracik minuman ini ternyata masih tersisa di dalam dirinya yang sekarang. Di dalam hati kecilku, aku merasa bangga sekaligus bahagia. Aku menitikkan air mata untuk pertama kalinya.
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa sampai di sini malam-malam begini?" Noriko mulai bertanya "Ah, iya. Jam berapa sekarang?"
"Ah, hanya kebetulan lewat dan tiba-tiba teringat kabar tentang kamu dari beberapa teman," aku pun melirik jam dinding yang terletak percuma di atas sebuah altar kecil, "ah, sekarang jam 11 malam." Hatiku pun tentram melihatnya.
"Wah, ternyata sudah malam ya. Maaf, aku malah menjamu dirimu dengan kopi. Hehehe."
Ia tertawa kecil namun dengan nada khas kekanakannya. Begitu manis. Tubuhnya yang mungil, dan wajahnya yang mungil membuat tawa kecil nan renyah itu terasa sebagai berkat tersendiri bagiku.
"Harusnya aku yang minta maaf dong karena sudah mengganggumu malam-malam begini."
"Wah benar juga ya! Dasar kau ini! Hehehe."
Dia tertawa lagi. Sepasang maata bulatnya yang tidak berfungsi itu menutup ketika ia tertawa. Manis sekali.
Kami pun mengobrol dengan asiknya. Meskipun Noriko lupa akan masa lalunya, dia tetap mengikuti perbincangan ini dengan penuh semangat. Aku disini bercerita dengan penuh keyakinan sebagai seorang bernama Toru yang entah sebenarnya ada atau tidak di kampusnya dulu. Aku menikmati permainan peran ini meskipun dadaku terasa sesak karena aku ingin sekali menceritakan segala sesuatu yang telah terjadi kepada kami berdua. Tapi, hal itu justru jauh lebih menyakitkan lagi.
***
Noriko merupakan lulusan dari sebuah institut kesenian di kota ini. Ia mengambil jurusan seni musik dan menguasai alat musik biola. Sedangkan aku, seorang mantan vokalis dan gitaris sebuah band yang kabarnya membubarkan diri setelah kepergianku. Aku bertemu Noriko pada saat bandku melakukan rekaman debut label major. Pada saat itu usia kami sama-sama 17 tahun. Yang membuat kami berbeda adalah, aku masih kelas 2 SMA sementara Noriko sudah berada di semester pertama perguruan tinggi.
Sejak pertemuan itu, kami semakin dekat, dan kami pun mulai berkencan. Kencan kami sangat menyenangkan karena kami sama-sama berprofesi sebagai musisi. Kami selalu bertukar pikiran dan pengalaman. Hal yang selalu membuatku lega adalah pemikiran terbuka Noriko. Ia selalu menyemangatiku. Bahkan, setelah kami bertengkar hebat sekalipun, ia tetap mendukungku. Kecuali, pertengkaran waktu itu.
Setelah berpacaran selama lima tahun, aku dan Noriko memutuskan untuk tinggal bersama dalam satu atap hingga satu tahun kemudian kami pun memutuskan untuk menikah muda. Kami berani mengambil lagkah ini karena merasa sudah menggenggam karir kami masing-masing, meski... kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Seorang wanita mengaku telah hamil, dan bayi di dalam kandungannya merupakan buah cintanya denganku. Wanita itu meneror Noriko hampir setiap hari. Dalam menghadapi teror itu, Noriko hanya bisa menangis. Ia merasa kesal padaku dengan logika bahwa dia sendiri saja yang sudah bertahun-tahun berada disisiku belum kunjung hamil sedangkan aku malah menghamili wanita lain. Akan tetapi, pada waktu itu aku berani berucap sumpah kalau aku tidak menghamili wanita itu bahkan melihat wajahnya saja belum pernah.
Tidak butuh waktu lama, berita kehamilan wanita itu pun merebak di media massa, dan masa depanku sebagai seorang musisi pun terancam karena semua orang menganggapku orang jahat. Noriko yang jarang meluapkan amarahnya dengan perbuatan kasar pun akhirnya menampar wajahku dengan tangannya yang kecil itu. Meski begitu, rasanya tetaplah sakit karena aku ditampar akibat sesuatu yang menurutku tidak aku lakukan. Ia pun tidak mau menyentuhku lagi ataupun disentuh olehku lagi.
Hingga pada saat ulang tahun pernikahan kami yang ke dua, aku memberanikan diri untuk mengajaknya ke luar kota. Aku mengajaknya mendaki gunung meskipun pada saat itu dia masih terlihat marah.
Dalam perjalanan yang terasa canggung tersebut, kejadian itu pun terjadi. Cuaca yang tadinya cerah berubah menjadi sangat buruk. Hujan deras dan angin kencang menerpa kami. Aku tidak bisa fokus mengendarai mobilku. Noriko yang merasa tidak nyaman dengan caraku mengendarai mobil memaksa untuk menggantikanku. Ia berkata bahwa aku tidaklah becus dalam hal ini. Ia pun mengaitkan caraku menyetir dengan rumah tangga kami. Inilah hal yang terpendam dalam kepribadian seorang Noriko yang aku takuti dan aku hindari.
Aku tidak mau menyerahkan stir ini kepadanya, hingga pada akhirnya aku menabrak pembatas jalan, dan mobil pun terperosok ke dalam jurang.
Benar, aku tidak becus. Benar, insting seorang istri tidak bisa dibohongi. Benar, aku menghamili wanita itu. Sudah terlambat untuk meminta maaf.
***
"Ah, Toru-kun. Maaf ya, sampai pada titik ini aku belum juga mengingatmu."
Kata Noriko dengan lembut. Saat ini, waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari.
"Tidak apa. Aku senang hanya melihatmu tersenyum."
Jawabku, standar.
Aku kembali memandangi jam dinding, dan sesuatu yang berada tepat di bawahnya.
"Dia sempat koma. Hampir dua tahun. Dia tidak punya keluarga selain aku, istrinya. Aku... Aku lupa kalau aku sudah menikah. Sejujurnya, aku yang menyetujui pelepasan alat-alat penunjang hidupnya. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Bahkan... waktu itu aku tidak merasakan apapun selain kehampaan. Ketika dia dinyatakan meninggal, aku hanya menundukkan kepalaku meskipun orang-orang disekitarku menangis. Mereka mungkin menganggapku sebagai orang jahat. Tapi... wajahnya saja, aku sudah lupa."
Kini Noriko menangis tersedu-sedu. Aku pun terkejut karena dia tahu bahwa aku sedang memperhatikan altar kecil yang terletak di bawah jam dinding tersebut. Altar dimana nama dan fotoku terpampang dikelilingi beberapa benda kenangan dan dupa. Ah ada lonceng kecil di depannya.
"Ah, kopinya masih tersisa namun sudah dingin. Apakah kamu punya susu cair?"
Tanyaku, mengalihkan perhatian.
"Oh, ada di dalam kulkas. Ma-maaf. Aku malah menangis dan menceritkan hal sedih begini. Kamu pasti tidak ingin mendengarnya, bukan?"
"Tidak juga,"
Aku pun bergegas mengambil susu cair di dalam kulkas, menuangkan kopi ke dalam gelas besar dan menambahkan susu serta beberapa bongkah es batu ke dalam sisa kopi yang sudah dingin tersebut.
Aku membawa kopi susu itu ke altar dan meletakkannya tepat di depan fotoku sendiri. Melihat fotoku disitu, aku malah merasa terhibur, bukannya sedih. Wajahku terlihat menyebalkan di foto itu, apalagi ditambah dengan gestur tubuh yang konyol. Lalu, aku membunyikan lonceng yang ada di altar itu dan mulai berdoa. Aku hanya berdoa untuk Noriko. Bukan untuk diriku sendiri.
"Toru-kun?"
Noriko terlihat terkejut.
"Kemarilah! Aku buatkan es kopi susu kesukaanmu," kataku.
Dengan canggung, Noriko menghampiriku dan duduk di sebelahku. Aku pun memberikan es kopi susu itu untuknya. Tanpa malu-malu, dia pun meneguk kopi susu itu.
Kini, akulah yang menangis. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi kepada kami berdua pada malam ini. Aku pun memeluk Noriko dari belakang sambil terus berucap kata maaf. Entah pengampunan seperti apa yang ingin kudapatkan, aku hanya ingin meminta maaf kepadanya.
"Maafkan aku Noriko. Tolong! Maafkanlah aku!"
Noriko yang masih meneguk kopi susu itu meneteskan air matanya. Aku pun mulai kehilangan kelekatan tubuhnya.
"Ha-haruki?" Ia menyebut namaku dan menangis sekencang-kencangnya.
Iya, aku Haruki. Haruki Takahashi. Suamimu.
Semoga kamu tetap bahagia, Noriko. Selamat tidur.
(TAMAT)
Semarang, 7-8 Mei 2018

Elisabeth Cintami

DILARANG KERAS UNTUK COPAS!!!

No comments:

Post a Comment

Feel free to give me your opinion :D