Saturday, June 2, 2018

Short Story - Loveless Pretension

Loveless Pretension

Illustration by Elisabeth Cintami
Amy berjalan gontai menyusuri pusat kota Tokyo di malam Natal yang dingin. Pikirannya sedang berada pada tingkatan yang memuakkan, kacau namun bisa dikatakan kosong. Sudah tiga tahun ia tidak kembali ke negaranya. Di tempat yang dulu biasa disebutnya sebagai rumah, sudah tidak ada siapa pun lagi. Ah, pikirannya mulai kabur. Ia mabuk berat. Kepalanya sakit. Ia kesepian.
Salah memang karena ia memutuskan untuk melewati pusat kota di malam Natal seperti ini. Yang ia jumpai hanyalah pasangan-pasangan yang sedang dimabuk asmara. Ia hanya sendirian dan penuh amarah. Amarah yang diam-diam singgah di hatinya.

Demi menyelamatkan dirinya, ia memasuki sebuah gereja yang letaknya cukup terpinggir. Gereja yang terlihat sangat sepi meskipun beberapa jam yang lalu diadakan misa malam Natal di situ. Di negeri ini, gereja bukanlah tempat untuk merayakan Natal. Hanya Amy dan kaumnya saja yang mau berkumpul di sini untuk merayakan "Natal" yang semestinya.
Ia pun memasuki ruangan utama gereja itu dan duduk di salah satu kursi umat. Meskipun sedang dalam keadaan mabuk, ia tetap masuk ke tempat itu, karena disitulah ia bertempat tinggal. Ia juga tahu persis bahwa gereja akan sangat sepi sehingga tidak akan ada yang melihatnya dalam keadaan seperti itu, apalagi setelah mengikuti misa perayaan Natal. Bahkan menariknya, ia melepaskan pakaian biarawatinya. Sungguh, hal ini merupakan suatu langkah yang terlalu berani. Hanya di Jepang, ia berani melakukan ini.
Sesaat kemudian, ketika Amy memalingkan wajahnya, ia melihat sosok laki-laki. Matanya yang sudah lelah tidak mau menampilkan keseluruhan wujud dan rupa laki-laki itu. Mungkin umat biasa yang sedang berdoa, batinnya. Namun tidak disangkanya, laki-laki itu justru menghampiri Amy.
"Jarang sekali aku melihat orang lain selain imam dan biarawati di gereja," Kata laki-laki itu dalam bahasa Jepang, "ah, Anda orang asing. Maafkan saya."
Amy tertawa dalam hati karena hal tersebut harusnya diucapkan olehnya sebagai seorang biarawati, dan seorang yang tinggal di gereja itu selama dua tahun lamanya, bukannya diucapkan oleh laki-laki itu. Apalagi laki-laki itu sangat asing baginya. Kata-kata itu, yang harusnya tercetus dari mulut biarawati misionaris yang hanya tinggal bertiga dengan dua biarawati lain yang usianya sudah sangat lanjut. Kata-kata yang harusnya muncul dari seorang wanita perawan yang selalu merasa hampa karena gereja selalu sepi kecuali pada saat misa di hari raya atau adanya upacara pernikahan.
Amy tinggal bersama dua biarawati lanjut usia yang merupakan pribumi Jepang. Bertahun-tahun sudah ia hidup selibat dan melayani Tuhan bersama dengan segala hal disekitarnya. Ia ditempatkan di Jepang setelah bersekolah di Roma dan beberapa saat bertugas di Filipina. Tempat-tempat yang jauh berbeda dari negara yang menganggap Natal sebagai Valentine jilid 2 ini.
Di usianya yang ke 29 tahun ini, Amy sudah mengikrarkan Kaul Kekal sebagai biarawati resmi sebuah ordo misionaris. Sesungguhnya, ia sudah menjadi mempelai Allah. Selama hidupnya, baru kali ini ia melakukan dosa dengan alasan telah mengalami kehampaan dan kesepian. Baru kali ini ia berontak. Berontak karena pikirannya sendiri. Karena hatinya sendiri yang semakin jauh dari keberadaan Tuhan. Karena suatu perasaan dan gejolak asing yang tiba-tiba meletup di dalam hatinya. Parahnya lagi, ia masih berani menginjakkan kakinya ke dalam gereja dengan kondisi mabuk berat disertai dengan gemelut lara dalam benaknya. Rasa penyesalan yang aneh pun ikut menyertainya.
"Ah, baru kali ini saya lihat Natal di Jepang." Sahut Amy dengan nada menyindir dan tempo terseret, "Aneh sekali. Saya jadi cemas."
"Apa yang Anda cemaskan, Nona? Bukankah itu bagus? Banyak hiasan di setiap sudut kota. Suasananya pun menjadi meriah dan penuh kasih."
"Penuh kasih? Aku mendengar sebuah sindiran untuk Tuhan. Hahaha!" Biarawati itu justru tertawa lepas.
"Dan mengapa Anda mabuk lalu masuk ke dalam gereja seperti ini?"
"Aku hanya perlu untuk pulang. Setelah kesepian yang kualami semakin buruk."
"Pulang? Anda tinggal disini?"
"Tebak saja!"
"Oh." Laki-laki itu terdiam sesaat, "Kau cemas karena kesepian, begitu? Dan, tempat ini tidak bisa memuaskanmu ketka yang kamu lihat hanyalah pasangan-pasangan kekasih penuh hasrat, begitukah?"
"S-siapa kau?" Tanya Amy sembari memelototi laki-laki yang kini duduk tepat di sebelahnya.
Wajahnya masih saja tidak terlihat dengan jelas.
"Shinjiro Hasegawa desu," ia memperkenalkan diri, "Hanya seorang umat biasa yang ingin singgah sebentar setelah misa malam Natal selesai."
Kemudian laki-laki itu memandang ke arah altar dengan wajah yang penuh kedamaian.
"Aku tidak perlu mendengar namamu. Biarkan itu menjadi rahasia," kata Hasegawa sambil tersenyum.
"Apa maumu?"
"Tidak mau apa-apa sih. Hanya kebetulan aku berada disini dan menemukan seorang wanita yang sedang mabuk, yang ternyata adalah seorang biarawati."
"Ya, sebaiknya ini menjadi rahasia. Dan sebaiknya kau tidak mencampuri urusanku lebih dari ini."
"Ah! Kau pasti ingin merayakan hari ini seperti layaknya mereka yang kau temui di jalan, kan? Mengaku saja lah!"
"Aku sudah bilang padamu untuk tidak ikut campur!"
"Ssssttt!!!" Laki-laki itu menyuruh Amy untuk diam dan mengambil posisi berdoa. Aneh sekali.
Suasana pun menjadi hening, dan di dalam keheningan ini, Amy hanya terdiam.
Selama hidupnya, biarawati itu tidak pernah merasakan nikmatnya memiliki seorang manusia yang benar-benar ia cintai, bahkan keluarga biologis pun tidak pernah ia jumpai. Ia dibuang sejak lahir lalu dirawat dan dibesarkan di panti asuhan yang kebetulan dikelola oleh para biarawati dari ordo yang sekarang menaunginya, sampai pada akhirnya, ia sendiri menjadi seorang biarawati. Ia dididik secara keras dan diajarkan untuk tidak mementingkan hal-hal duniawi selama hidupnya, hingga ia mempelajari sendiri bagaimana dunia ini bekerja. Hingga ia mehami dengan sendirinya segala hal duniawi selama menjalankan misinya. Kini, ia bukan lagi seorang biarawati yang polos dan selalu menyerahkan segalanya kepada Tuhan.
Ia mulai merasakan kesepian, kesunyian dan kepenatan. Dunia seakan memanggilnya untuk bermain sejenak.
"Manusia... Ah! Manusia itu rapuh," tiba-tiba Amy berpikir.
Sambil berjalan terhuyung, ia meninggalkan laki-laki itu dan berjalan menuju pintu keluar gereja.
Ia berjalan terhuyung dan pandangannya mulai berkedip.
Hitam... Putih... Lalu kabur...
Baru kali ini ia merasakan mabuk dan menyesapi anggur yang tidak biasa ia sesapi. Anggur yang jelas berbeda. Anggur yang membuat kepalanya pening dan sakit seperti dipukuli.
Ia pun merasakan dunia ini mengombang-ambing tubuhnya. Ia hampir jatuh, laki-laki tadi malah memeluknya dari belakang sebelum tubuhnya sempat bersentuhan dengan lantai.
"Kau tak akan kemana-mana, Nona." Kata laki-laki itu dengan bisikan yang lembut tepat di telinga kiri Biarawati itu.
Amy yang sedang mabuk itu tidak tahu harus bagaimana dan malah memandangi wajah laki-laki itu dengan tatapan kesal. Tatapan yang dibalas dengan senyuman datar namun bermakna oleh laki-laki itu.
Mereka masih berpelukan, tepatnya laki-laki itu masih memeluk tubuh Amy. Biarawati itu mulai merasakan gejolak yang aneh dalam dirinya. Jantungnya berdebar dan tubuhnya semakin lemas. Sesaat kemudian, entah bagaimana caranya, lampu-lampu di gereja itu mati. Hanya tersisa cahaya lilin dari altar dan ruang doa. Cukup gelap, namun manis. Kegelapan yang cukup untuk menutupi rasa malu dalam diri Amy, seorang Biarawati yang sedang memendam berahi.
Semarang, 31 Desember 2017
(edited & published on Wattpad (Cerita Siang Kelabu), 9 Mei 2018)
Elisabeth Cintami.
(THE END)
p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!

No comments:

Post a Comment

Feel free to give me your opinion :D