Saturday, June 23, 2012

No Limit (part 1)


“Sayang, kita akan bersama selamanya. Selamanya.”
            Ucapan dari Pierre yang membuatku terus sabar dalam penantian ini. Aku menanti dia yang sedang berusaha mendapatkan gelar Doktornya di Amerika. Aku dan dia terpisah jauh. Sekarang aku berada di Perancis untuk mendapatkan gelar magister untuk pendidikan seni.
            Sebenarnya aku dan Pierre hidup dalam dua dunia yang berbeda jauh. Dia adalah seorang ilmuwan dan aku seorang seniman. Bahkan kebangsaan kami berbeda. Dia dari Perancis asli sedangkan aku dari Indonesia. Kami bertemu di dalam gereja ketika kami sedang mengikuti Misa. Kebetulan ia berada di sebelahku. Entah mengapa sorotan matanya sangat tajam menatapku. Dan setelah Misa selesai ia mengajakku berkenalan. Aku baru tahu jika sebenarnya dia adalah seorang dosen Fisika. Aku heran sekali, orang sepintar dia mau mengenalku yang hanya seniman dan tidak tahu apa-apa akan dunianya.
            Sebulan setelah aku  mengenal Pierre, ia menyatakan cintanya padaku. Aku semakin tidak percaya bahwa seorang yang jenius sepertinya bisa mencintaiku. Sebenarnya aku merasa canggung, sangat canggung. Tetapi kata-kata romantisnya telah membunuh kecanggunganku. Dia tidak terlihat seperti ilmuwan ketika mencintaiku dan aku malah tidak terlihat seperti seniman ketika mencintainya. Kami sama. Kami sederajad dan sepertinya memang pantas untuk bersama. Walaupun masih banyak lagi perbedaan diantara kami cinta itu tetap tumbuh subur sesubur anggur yang manis tumbuh disini.
            Aku ingat ketika kami sedang berada di dekat menara Eifel. Pierre menggenggam tanganku dengan erat. Tatapan matanya membunuhku dan membuatku terhanyut didalam arusnya. Dan ia juga tersenyum padaku,
“Sayang, aku ingin kita bersama selamanya.” Katanya pelan dengan bahasa Perancis,
“Aku juga sayang. Tapi apa kamu yakin?” balasku,
“Aku sangat yakin padamu. Apa yang harus aku yakini lagi?”
“Aku bukan seorang ilmuwan sepertimu aku hanya seniman dan aku tidak sepintar kamu.”
“Sayang, cinta itu bukan hanya terbatas kepada status dan juga kecerdasan atau sebagainya. Kita sederajad karena cinta. Jadi, tidak ada masalah jika kita bersatu.” Kata Pierre lembut,
“Kau benar, namun apa kata orang lain? Apa kata orang tuamu? Keluargamu?”
“Semua orang, semua makhluk, semua benda, semuanya. Bahklan Tuhan akan berkata kita akan bersama selamanya. Jenna, sayangku. Kamu harus terima itu. Kamu masih cinta kan padaku?”
“Aku akan selalu mencintaimu Pierre.”
Lalu tanpa sadar ia mendekatkan wajahnya padaku dan menghampiri bibirku. Aku mulai merasakan ciuman lembutnya. Ciuman cerdas seorang ilmuwan yang sangat kucintai. Ciuman hangat seorang Profesor tampan dan manis itu melemahkanku, membelai mulutku, lidahku.
            Tanpa sadar hubunganku dengan Pierre sudah menginjak satu tahun. Kami merayakan ini dengan makan malam di apartemenku. Aku sudah buatkan makanan kesukaannya dan aku juga telah sediakan minuman anggur yang paling nikmat. Aku yakin ini akan menjadi hal yang menyenangkan. Namun dibalik kegembiraan, kebahagiaan dan keindahan malam itu tersirat rasa sedihku karena Pierre ternyata akan pergi ke Amerika untuk melanjutkan studinya. Ia ingin mendapatkan gelar Doktor. Aku tak habis pikir. Aku kalah banyak darinya. Namun aku lebih tidak habis pikir bahwa dia akan pergi ke luar negeri seperti ini.
@@@
            Setelah dua tahun aku menunggu. Akhirnya Pierre kembali ke Perancis. Kini dia telah mendapatkan gelar Doktornya dan aku juga telah mendapatkan gelar Master. Kami sama-sama mendapatkan gelar yang kami inginkan. Sebenarnya aku telah mendapatkan gelar itu setahun lalu dan aku telah bekerja disebuah perusahaan fashion terkemuka di dunia.
            Aku sangat terkejut ketika Pierre tiba-tiba melamarku. Ia memintaku untuk menikahinya. Aku sangat senang karena aku benar-benar mencintainya. Ia memasangkan sebuah cincin di jari manisku. Aku tidak percaya kami akan menikah.
            Satu minggu sebelum aku dan Pierre menikah, kami mendapatkan sebuah musibah. Kami mengalami kecelakaan mobil dan kecelakaan itu telah merengkut nyawa Pierre dan semuanya sirna seketika. Tidak ada menikah, tidak ada kebahagiaan lagi. Bagiku, hanya dia yang bisa membuatku benar-benar cinta.
@@@
            Sekarang aku berada disamping makam Pierre. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membuktikan cintaku padanya. Suasana disini sangat sepi, tak tampak seorangpun di pemakaman ini. Pierre, andaikan kamu disini. Aku hanya berharap untuk melihatmu.
            Tiba-tiba berhembuslah angin kencang dan aku hanya memejamkan mataku dan mencoba untuk bertahan dari tiupan angin itu. Namun suatu hal aneh menimpaku setelah angin kencang itu bertiup.
            Perlahan-lahan aku membuka mataku. Aku sangat terkejut karena semuanya berubah. Aku tidak sedang berada di pemakaman sekarang. Aku berada dalam ruang kerja Pierre di Universitas. Tempat dimana aku sering menemuinya sepulang kuliah.
            “Sudah berapa lama kamu menungguku, Jenna?” terdengar suara yang membuatku terkejut. Suara yang sangat aku kenal bahkan aku rindukan. Perlahan aku mencari arah suara itu.
            Aku terkejut. Aku sulit menerima ini. Suara itu ternyata adalah suara Pierre yang sekarang berada di dekat pintu. Aku sangat takut. Aku takut terjebak dalam alam lain. Apakah aku bermimpi? Ini sangat menakutkan. Aku hanya terpaku dan diam saja. Aku tidak menjawab pertanyaan Pierre sepatah katapun.
            “Mengapa kau terdiam, Jenna? Bukannya kamu menantiku? Bukannya kamu merindukanku?” Dia bertanya lagi. Apakah dia benar-benar Pierre? Tidak mungkin. Dia sudah pergi dan aku sedang berada di makamnya. Aku hanya bermimpi! Aku memang merindukannya. Tapi aku tidak boleh terlalu berkhayal tentang dia.
“Siapa kamu?” Aku memulai pertanyaanku perlahan,
“Aku? Apakah kamu sudah lupa denganku? Aku Pierre. Kekasihmu, tunanganmu.” Jawabannya itu membuatku semakin merasa bahwa aku sudah gila.
“Stop! Don’t make me mad!” Aku berteriak dan dia malah mendekatiku. Apa-apaan ini? Aku merasa benar-benar jatuh dalam imajinasi yang berlebihan.
“Aku benar-benar Pierre. Kamu tidak gila. Ini benar-benar aku.” Dia semakin berusaha meyakinkanku.
“Tidak mungkin. Kamu sudah...”
“Meninggal? Iya, aku memang sudah meninggal.” Suatu jawaban yang membuatku semakin ketakutan. Namun, jika ternyata aku juga ikut mati bersama Pierre itu terasa adil bagiku.
“Pierre...” aku mulai menitikkan air mataku, aku percaya dia benar-benar Pierre.
“Jangan khawatir. Kita akan selalu bersama.” kata Pierre, aku tak kuasa menahan ini. Aku langsung berlari memeluknya. Bahkan aku merasakan dia masih hidup karena aku bisa memeluknya seerat yang kumau.
“Apakah aku sudah mati? Apakah aku sekarang berada di surga denganmu? Apakah ini yang namanya surga?” tanyaku,
“Kamu masih hidup, Jenna. Selama kamu masih mencintaiku. Selama hati kita masih bersatu. Kita akan selalu bertemu.” Jawabnya. Aku tak tahu apa maksud semua ini. Akan tetapi aku merasa bahwa aku sangatlah beruntung sekarang.


(To be Continue)
Kira-kira apa yang membuat Jenna bisa bertemu dengan Pierre lagi?

No comments:

Post a Comment

Feel free to give me your opinion :D