Friday, March 23, 2018

Short Story - Bayangan Matahari

Bayang-Bayang Matahari

Illustration by Elisabeth Cintami
Pagi hari adalah musuh bagi seorang pemimpi, terutama pemimpi sepertiku. Entah mengapa aku sangat suka dengan malam hari yang penuh dengan gemerlap semunya. Orang tuaku selalu mengatakan bahwa malam hari merupakan waktu yang tepat untuk berada di rumah sambil tertidur tenang. Memang benar, tidur itu benar-benar merupakan suatu hal yang sangat menyenangkan. Akan tetapi, apakah dengan terus tertidur, hidup akan berubah menjadi lebih baik? Tapi, mengapa aku juga suka untuk tidur?

“Yume!” Seseorang memanggil namaku dengan nada tidak sabar, “Bangun!”

Seperti biasanya, Mama membangunkanku dengan berteriak.


Aku pun melirik ke arah jam dinding di kamarku. Jam itu dengan teganya menunjukkan pukul tujuh pagi. Ini hari Selasa. Aku pun terbangun dengan lemas tanpa merasa terburu-buru meskipun seharusnya sekarang aku sudah ada di kelas dan mengikuti satu mata kuliah pagi. Bagiku, mimpi adalah segala-galanya. Bagiku, waktu malam itu begitu berharga hingga tidak mungkin aku lewatkan. Pada malam hari aku “bermimpi” hingga tiada yang mampu menghalangiku untuk melakukannya. Pada malam hari kehidupanku terasa sangatlah indah.

“Yume, kamu telat lho, sayang!” Suara Mama semakin keras hingga memekakkan telingaku, “Ini udah jam tujuh lho! Kamu nggak kuliah?”

“Iya, Ma!” Aku pun membalas teriakkannya dan beranjak dari tempat tidur.

Aku pun berangkat menuju kampus dengan wajah yang tidak bergairah. Bermodalkan topeng bedak, aku membawa rasa percaya diriku yang masih menempel ke gedung dimana aku belajar. Tas besarku yang berisikan satu buah komputer jinjing, buku kuliah, buku agenda, hingga alat tulisku sudah sangat membebani punggungku pagi ini. Aku pun membolos jam pertama karena sudah sangat terlambat bagiku untuk masuk. Akan tetapi, membolos mata kuliah pertama pagi ini membuatku senang. Setidaknya, aku tidak mendengarkan ungkapan utopis Dosen Politikku pagi ini.

Yume, diambil dari bahasa Jepang yang berarti mimpi. Entah mengapa orang tuaku memberiku nama selucu itu. Mengapa bukan Hime saja, yang berarti Putri? Yah, aku memang dilahirkan sebagai pemimpi, atau sebagai seseorang yang dibebani oleh “mimpi”. Aku ingin menjadi seorang pemimpin yang berpengaruh suatu hari nanti. Aku ingin menjadi seorang yang karyanya selalu diingat segala insan di dunia. Aku ingin dicintai. Oh, bukannya aku tidak suka mendengarkan ungkapan utopis orang lain? Tapi, mengapa aku sendiri sangat bersifat utopis? Bakan, namaku sendiri sangat utopis. Dasar! Aku ini terlalu bodoh.

Aku sangat tertarik dengan keinginanku untuk dicintai. Tiba-tiba aku teringat bahwa aku sendiri tidak pernah bisa memiliki satupun “teman” dalam hidupku karena orang-orang yang menyebut diri mereka “teman” tidak pernah bisa kusebut dengan nama “teman”. Karena keinginanku untuk dicintai sangatlah kuat, aku pun menjadi aktivis kampus alias “wanita karir kampus”. Mama selalu menjulukiku sebagai “wanita karir” setiap kali aku pulang malam karena kegiatan ke-aktivis-anku.

“Yume! Kamu ndak kelas, tho?” Tanya Tania, teman sekelasku yang kebetulan berpapasan denganku sesudah keluar dari kelas Politik. Aksen Semarangannya sangat kental ditelingaku yang sebenarnya lebih asli Semarang dibandingkan dengannya. “Nggak! Males! Baru bangun jam tujuh, Tan,” jawabku. “Owalah, iya-iya. Semalem kamu rapat og ya?” Tania pun menanyaiku, “Heem, Tan. Besok ada demo anak-anak seni gitu soal akan dihapuskannya organisasi kesenian kampus,” jawabku dengan jujur. “Wah! Bakal rame iki. Kamu orator gitu po, Yum?” Tanyanya lagi, “Ya, salah satunya sih, Tan,” jawabku. “Sukses ya Yum! Tak ke kantin dulu. Laper,” Tania pun pergi ke kantin setelah basa-basinya itu.

Aku kuliah sebagai mahasiswa Sastra Inggris di sebuah Universitas di kota Semarang yang sedang bergelut dengan “kekurangan dana”-nya. Pihak universitas pun telah membuat rencana untuk menghapus organisasi yang berbau kesenian karena dianggap sebagai organisasi yang paling boros tanpa prestasi. Aku yang kebetulan merupakan salah satu pengurus organisasi perfilman universitas sangat tidak terima dengan rencana itu. Bukannya kesenian itu adalah sesuatu yang dinikmati, bukan digengsikan? Bukannya keindahan digunakan untuk menghibur, bukan membebani? Mereka memang salah mengenai konsep kesenian itu sendiri. 

Apa jangan-jangan aku yang salah mengenai konsep kesenian? Kalau iya, mengapa aku yang selalu berada dalam posisi persalahan? Aku terlalu fundamentalis hingga tidak tahu siapa sebenarnya yang berada dalam posisi yang salah. Permasalahanku terlihat sangat gelap sebelum aku benar-benar menghadapinya. Luar biasa semangat masa muda ini. Aku harap, aku tidak terjun ke dalam lubang setelahnya karena tidak ada manusia yang benar-benar mau untuk “jatuh” sekalipun mereka mengatakan bahwa mereka berani mati.

Semalam, pukul 22.03, aku baru sampai di depan pagar rumahku yang sudah terkunci rapat karena semua anggota keluargaku sudah tertidur pulas. Pikiran dan tubuhku sangat lelah setelah berdebat dengan para mahasiswa yang menyebut diri mereka sebagai “Aktivis Kesenian” itu. Mereka terus-menerus mengatakan untuk menyerah dan mundur karena mereka benar-benar takut. Aku heran, mereka menyebut diri mereka yang seperti itu sebagai “seniman”. Gila. Gila memang. Memang gila.

Aku terpaksa memberanikan diriku untuk memimpin mereka pada saat orasi nanti. Yume yang bodoh harus terlihat berdiri tegak di depan banyak orang yang takut. Mamaku? Ia tidak akan tahu tentang masalah ini, begitu pula dengan Papa dan saudara-saudaraku yang selalu memilih tidur di malam hari. Setelah masuk ke dalam kamarku, aku langsung membuka grup obrolan Komunitas Film se-Indonesia. Kenyataan pahit baru pun aku terima ketika mereka membicarakan para penguasa besar ingin membuat kami lebih “bermoral”. Sensor yang akan dilakukan untuk semua film tak terkecuali akan diberlakukan. Bagaimana bisa kita dibungkam lagi? Apa yang terjadi pada kesenian? Apa yang terjadi pada hak kekayaan intelektual? Apa yang terjadi kalau aku tidur?

Oh, Dewa Apollo! Katanya Kau ini yang paling nyeni. Tolonglah anak ini! Oh, Santa Sisilia! Oh, Santo Gregorius! Aku memang tidak takut tapi aku bukan manusia yang berani mati. Aku ingin dicintai pada saat aku masih hidup. Aku belajar dari kelas ke kelas untuk tetap bertahan hidup, jadi aku tidak ingin mati. Jika aku mati, berarti aku gagal dalam menempuh pendidikan selama bertahun-tahun. Oh! Dewi Saraswati! Anak ini sedang kebingungan.

Aku pun masuk ke dalam ruangan kelas Grammar yang masih sangat kosong karena aku datang paling awal. Sambil menyenderkan kepalaku ke dinding kelas, aku berpikir kalau penulisan harus menurut aturan, tapi, apakah kesenian juga harus menurut aturan? Aku telah belajar untuk semakin tidak tahu akan hal-hal yang sudah aku akui sebagai diriku. Aku semakin masuk ke dalam lubang tak terhingga dalam diriku. Aku bisa memperbaiki tata cara menulisku dengan masuk kelas ini, tapi aku tidak tahu hal baik seperti apa yang harus aku ikuti untuk membuat pengertian tentang kesenian semakin jelas. Aku sendiri pusing dengan pemikiranku.

Setelah segala macam mata kuliah aku ikuti hari ini usai, aku langsung menuju gedung kemahasiswaan untuk mematangkan rencana untuk berorasi hari Rabu besok. Pukul 16.06 sore, dan aku merasa cukup lelah. Setelah aku dan semua anggota aktivis kesenian berunding, mereka yang takut memutuskan untuk tetap bersorak di belakangku dan beberapa anggota laki-laki yang berkata untuk berani mati. Aku sudah siap untuk menerima apapun, kecuali “kematian”. Aku mulai merasakan getaran panas menjalar ke seluruh tubuhku. Aku ingat betapa gilanya perjuanganku untuk membuat satu buah film dan membawanya ke berbagai kompetisi dengan hasil yang nihil tanpa satu peserpun bantuan dana dari universitas. Bagaimana bisa mereka mengatakan kami boros? Aku pun ingat pada saat aku membuat acara pemutaran di lingkungan kampus, pihak universitas langsung mengirimkan pihak keamanan untuk membubarkannya dengan alasan sudah “malam”. Pada saat itu, aku menerimanya dengan lapang dada. Dengan lapang dada. Sekali lagi.

Penguasa tidak akan berkuasa tanpa ada yang menganggapnya berkuasa. Kali ini, aku yang berkuasa. Kali ini aku yang dianggap berkuasa. Kali ini, aku tidak memikirkan mimpiku lagi. Aku membawa mimpi orang-orang yang berdiri di belakangku. Semuanya membebankan mimpi mereka kepadaku untuk aku ungkapkan, dan aku bantu wujudkan.

Hari untuk berorasi pun tiba. Rabu pagi, pukul 09.09 dengan diiringi terik matahari, aku berjalan menuju gedung rektorat kampus bersama dengan anggota aktivis kesenian. Mereka sudah menggunakan kostum dan berlaku sesuai cabang kesenian yang mereka genggam. Aku? Aku yang berjalan di depan hanya membawa satu kepingan DVD. Satu hal yang aku kerjakan setiap malam demi mereka yang ingin selalu kuanggap sebagai “temanku”. Dicintaikah aku? Tidak. Aku hanya proyektor dan speaker mereka.

Suasana yang begitu ramai pun terasa hingga membuatku bersemangat dan kehilangan keraguan. Aku dan beberapa aktivis kesenian pun membentangkan satu layar putih besar di bawah pepohonan, memasang sound system besar dan perlengkapan pemutaran film lainnya hingga sebuah gambar dari kepingan DVDku mulai muncul bersama suaranya. Suaraku mulai terangkat, keras, terbang bersama angin muson timur. Aku pun menyorakkan keberadaan dan keindahan. Aku tidak tahu apa yang terjadi selain yang terlihat di mataku dan terdengar di telingaku.

Pagi itu terasa seperti salah satu mimpi malamku yang terlupakan. Pagi itu seperti bunga tidur. Aku hanya merindukan malam hariku, tapi Sang Kaisar Matahari memerintakhan padaku untuk terbangun dan memangdangnya dengan tatapan menantang.
Salah satu pejabat tinggi kampus pun keluar dari dalam persembunyiannya sambil memberikan wejangan bijaknya kepada kami. Semua orang terdiam. Beliau ikut melihat layar besar di bawah pohon. Aku yang menjadi orang terdepan disana pun ikut terdiam karena tidak ada perlawanan besar dari pihak kampus selain ikut menonton layar besar itu. Semuanya berubah menjadi sangat sunyi, dan ingatanku mengenai masa muda egoisku pun mulai nampak jelas. Aku pun memalingkan wajah sambil menitikkan air mata. Semakin gelap, aku pun diraba oleh Sang Malam. Ia ingin menjemputku pulang.

Oh Dewa Apollo! Mungkin Kau sudah terlambat untuk mengingatkan aku untuk mundur. Santa Sesilia, Santo Gregorius, Dewi Saraswati! Mengapa Kalian lupa menarikku untuk mundur dari malam yang semu? Aku tidak tahu harus berlaku apalagi selain tersenyum palsu kepada semuanya.

Sebenarnya, apa yang sedang aku lawan? Apa yang ingin aku ungkapkan? Aku hanya dibebani oleh mimpi orang lain. Mereka hanya menonton dan mengatakan tidak ada organisasi yang harus dihapuskan. Berhasilkah langkahku? Aku tidak merasakan suatu keberhasilan. Aku hanya merasakan bahwa semangat muda ini telah membuatku latah. Aku hanya merasakan kalau apa yang aku lakukan hanya cermin suatu emosi sesaat yang tidak berada pada tempatnya. Keramaian ini menghilang sampai seseorang datang dan mengatakan,

“Yume! Bangun!”

Aku pun membuka mataku dan terbangun dengan lesu.

(Tamat)
Semarang, 19 April 2016
Elisabeth Dyah Ayu Cintami Wisnugroho


p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!
(All Rights Reserved)

No comments:

Post a Comment

Feel free to give me your opinion :D