Wednesday, July 6, 2016

Short Story - Kata

Photo by Elisabeth Cintami
KATA




Di sebuah balkon kampus, sore hari...

                “A. A. Apa. Apa?” Kali ini Karin pusing sekali. Hanya untuk membaca kata “apa” saja seperti sedang membaca rumus matematika. Namun rasa pusing itu tidak sebanding dengan rasa hancur di hatinya setelah dokter mengatakan bahwa dirinya menderita disleksia setelah mengalami benturan keras di kepalanya karena dipukuli oleh beberapa senior di kampusnya.

                Sekarang Karin tidak bisa membaca seperti dulu lagi. Prestasinya yang gemilang dulu seperti sia-sia belaka. Ia sudah tidak lagi sanggup menerima keadaannya yang sekarang.


         “Ahhh!!! SAMPAAHH!!!” Ia membanting novel yang sedang dibacanya. Novel yang dulu merupakan novel favoritnya pun kini terasa seperti sebuah batu hieroglif yang sulit dibaca. Kini ia menangis dan mulai menginjak-injak novel itu. Kini ia merasa bahwa masa depannya sebagai seorang mahasiswa Sastra sudah berakhir.

           “Jangan dibuang! Buku bukan untuk dirusak, kan?” Tiba-tiba seorang pemuda mendatanginya. Pemuda itu merupakan sorang yang belum pernah dilihatnya. Tinggi dan tampan. Aduh, tidak ada yang seperti itu di kampunya. Ia merasa bahwa seluruh teman laki-laki se-kampusnya tidak ada yang setampan ini. Pemuda itu mengenakan sweater warna hitam, dan membawa tas ransel coklat.

                “Oh.” Jawab Karin dengan nada sinis dan singkat.

                “Pasti ada tugas untuk membuat essay kan?”

                “Bukan urusanmu!”

            “Novel ini pasti kamu pilih karena mudah.” Pemuda itu memungut novel yang sudah terkoyak itu sambil memandanginya.

                “Mudah? Ndasmu!”

           “Galak amat sih?” Pemuda itu pun duduk di sebelah Karin dan membacakan kalimat yang tadi tidak bisa dibancanya, “Apa alasanmu menolakku?”

                “Eh! Kamu siapa sih? Tiba-tiba kok bilang gitu?”

                “Bu-bukan! Ini kan? Ini kalimat yang tadi mau kau baca.”

                “Ah! Sok tau!”

          “Kalau kamu mau, aku bacakan buku ini untukmu. Buku ini tipis kok. Dalam dua jam aku akan membacakannya sampai selesai. Bagaimana?”

                “Kamu siapa sih?”

           Pemuda itu tidak menjawab pertanyaan Karin. Ia justru terus membacakan isi novel itu dengan semangat. Karin tidak memiliki pilihan selain mendengarkannya.

          Selesai membaca novel, pemuda itu tersenyum kepada Karin sambil menyodorkan novel itu kembali.

                “Kamu sudah paham kan?”

           Karin menganggukkan kepalanya meskipun bingung dengan apa yang dilakukan oleh pemuda itu.

                “Baca saja sebisamu. Kata tidak akan pernah menghianatimu.”

                “Kamu siapa sih?”

                “Ingat! Kata tidak akan pernah menghianatimu.”

         Pemuda itu tidak mengatakan siapa dirinya. Ia justru pergi meninggalkan Karin tanpa penjelasan apapun. Karin memang sudah paham dengan isi novel tersebut sekarang, bahkan lebih paham daripada sebelumnya. Bagusnya lagi, ia juga paham segala hal yang terisrat dalam cerita di novel itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan pemuda itulah yang tidak bisa dipahaminya. Siapa dia? Mengapa dia baik sekali?

            Meskipun kepalanya terasa sakit, Karin memutuskan untuk melupakan kejadian tadi. Ia hanya memikirkan bagaimana cara menyelesaikan essay yang akan dikerjakannya nanti.

             “Kata tidak akan pernah menghianatimu ya?” Karin mengulang kalimat yang dua kali disebut oleh pemuda tadi.

            Tiba-tiba sesuatu terjatuh dari sela-sela buku novel yang dibawa Karin. Sebuah kertas yang bertuliskan puisi lama buatannya saat menjadi mahasiswa baru pun terjatuh tanpa disadarinya.

Aku Membuat Perjanjian dengan Kata

Seperti perjanjian dengan iblis,
aku akan menukarkan segalanya untuk Kata.
Tapi Kata berkata tidak mau.

Kata yang aku baca bagaikan malaikat penolongku.
Ia begitu kuat, tidak sepertiku.

Seperti perjanjian dalam sejarah,
aku akan memberikan keuntungan untuk Kata.
Tapi kata berkata tidak mau.

Kala aku membaca, ia memberiku pengertian.
Kata tidak mau meninggalkanku.
Begitupun aku yang berjanji untuk selalu setia kepadanya.
Karena kata tidak akan pernah menghianatiku.

Seperti perjanjian kedua mempelai,
aku akan mengikrarkan janji sehidup dan sematiku. 
Inilah yang diinginkan Kata dariku. 

           Hari sudah petang, dan langit pun sudah gelap. Karin memutuskan untuk pulang. Kini ia pulang dengan membawa kepercayaan bahwa Kata tidak akan pernah menghianatinya.


(FIN)
ELISABETH DYAH AYU CINTAMI WISNUGROHO

p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!
(All Rights Reserved)

No comments:

Post a Comment

Feel free to give me your opinion :D