Heartache
Sebelum baca
song fictionnya, mohon baca ini dulu!
Cerita ini
hanya fiktif belaka dan sama sekali bukan fakta dari pemilik lagu. Seperti
konsepnya, song fiction adalah cerita yang terinspirasi dari sebuah lagu
(penjelasan lebih lanjut bisa dilihat disini). Saya mengambil nama panggilan
tokoh dari nama anggota band atau penyanyi yang membawakan lagu tersebut, namun
mungkin nama lengkapnya akan berbeda
(terutama nama belakangnya). Ciri fisik tokoh sama dengan pemilik asli namanya
(dipilih sesuai kecocokan karakter dan karakteristiknya).
Song by: One Ok Rock
Lyrics: click here
Lenght: 1433 words
![]() |
Illustration by Elisabeth Cintami |
“Dianne
Watson,” wanita itu berjalan mendekati ayahku sambil memperlihatkan kartu
identitasnya, “FBI.”
Wanita
itu datang ke rumah ayahku dengan dalih ingin bertransaksi ekstasi seperti
kebanyakan orang. Namun selang beberapa waktu kemudian, ia menangkap ayahku,
dan membawanya bersama dengan sekelompok polisi. Wajah khas perpaduan Asia dan Caucasoid-nya yang tegas, ditambah
dengan tubuhnya yang cukup tinggi itu mantap dan tidak bisa main-main.
Ia terlihat sangat berwibawa dengan balutan jaket kulit hitam, celana panjang
hitam dan sepatu hak tinggi. Dia adalah wanita yang tidak akan kulupakan untuk
selamanya.
Kini
aku hanya bisa berteriak dari atas sebuah ranjang di balik tembok-tembok tebal
ini. Semuanya serba putih dan tertutup. Aku tidak bisa keluar dari tempat ini.
Semakin keras usahaku untuk keluar dari sini, semakin mereka menyiksaku.
Sekilas,
bayangan wajah wanita itu kembali di depan mataku.
“Dianne...”
aku berbisik.
Ia
tidak menjawab.
“DIANNE!”
Aku berteriak.
Ia
tidak menjawab. Tidak akan.
Dalam
balutan straight jacket ini aku hanya
bisa pasrah, dan menunggunya kembali. Kembali kepadaku.
***
Lima
tahun setelah penangkapan ayahku, aku bertemu dengan Dianne secara tidak
sengaja di sebuah galeri lukisan di San Fransisko. Penampilannya kini berubah
total meskipun wajah tegasnya masih sama. Saat itu ia mengenakan kaus oblong
longgar putih dan celana biru donker, rambut hitamnya sekarang sudah panjang
dan disibakkan di bahu kanannya. Ia hanya mengenakan flat shoes polos berwarna
hitam. Ia terlihat sangat santai, tidak seperti pada waktu peristiwa
penangkapan ayahku. Jujur, ia terlihat sangat cantik.
Dianne
terlihat lebih muda dari sebelumnya, sebelum aku menyadari kalau sebenarnya ia
memang masih sangat muda.
“Taka,”
aku memberanikan diriku untuk memulai sebuah perkenalan dengannya, dan
mengajaknya berjabat tangan.
“Dianne,”
ia pun menjabat tanganku dengan mantap, “Dianne Joel Watson.”
“Sepertinya
aku pernah melihatmu.”
“Mungkin.
Aku pelukis disini,” jawab Dianne lalu tersenyum.
Pikiranku
kembali kepada peristiwa penangkapan tersebut. Dianne yang pada saat itu masih
memiliki rambut se-bahu, dan mengenakan jaket kulit hitam datang ke rumah
ayahku, dan kebetulan aku juga berada disana. Ia berkata bahwa ingin
bertransaksi. Ayahku pun datang menemuinya di ruangan khusus miliknya yang sampai
sekarang pun aku tidak pernah berani memasukinya. Lalu, aku melihat sekelompok
polisi sudah mengepung rumah ayahku, dan wanita itu memperkenalkan dirinya.
Aku
yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan bisnis ayahku pun selamat.
Aku tahu bisnis ayahku bukanlah bisnis yang bersih, sehingga aku menolak untuk
ikut campur di dalamnya. Hanya saja pada saat itu aku harus ikut ke markas FBI
untuk pemeriksaan.
Ayahku
adalah salah satu mafia narkoba besar asal Jepang yang sangat diincar
kepolisian, terutama di Amerika Serikat. Dengan pekerjaan seperti itu, ia bisa
menjadi sangat kaya. Namun aku tidak peduli dengan kekayaannya karena semua
kekayaannya itu bukanlah kekayaan yang membahagiakan dan bisa dibanggakan. Apa
bisa bahagia jika seseorang kaya, namun hidupnya tidak pernah tenang? Itulah
yang mendorongku untuk menjauhi bisnis ayahku.
Setelah
perkenalan itu, aku dan Dianne semakin dekat. Kami sering bertemu di galeri dan
saling tukar cerita bahkan aku juga belajar melukis dengannya. Disitulah aku mengenal
sosok Dianne yang sesungguhnya. Ia baru saja menjadi mahasiswa di suatu
Institut kesenian ketika peristiwa penangkapan ayahku. Ia masuk sebagai salah
satu agen FBI setelah bebas dari rehabilitasi narkotika. Memang semasa SMA, ia
merupakan pemakai ganja dan hafal segala bentuk narkotika bahkan cara
bertransaksinya, untuk itu ia menjadi agen FBI. Ia ditugaskan untuk menangkap
ayahku yang dijuluki “Si Kaya Raya Congkak” olehnya, dan setelah itu ia keluar.
Sudah lima tahun itu semua berlalu, dan sekarang Dianne menjalani rutinitasnya
sebagai pelukis.
Dianne
juga menceritakan kehidupan lamanya yang penuh sekali cerita. Keluarganya yang
terpisah-pisah karena pekerjaan meskipun kedua orang tuanya tidak bercerai,
lalu kehidupannya di Institut yang sangat menyenangkan semakin membuatnya gerah
berada di kepolisian. Ia adalah seseorang yang cinta kebebasan dan kesenangan,
bukan keteraturan. Ya, memang sungguh terlihat jelas pada penampilannya yang
sekarang.
“Kalau
kau sendiri bagaimana? Sejak waktu itu hanya aku yang bercerita.”
“Maaf,
kehidupanmu sungguh luar biasa. Aku jadi lupa buat bercerita.”
“Luar
biasa kacau maksudmu?”
“Eh!
Bukan! Luar biasa menarik.”
“Kau
ini bisa saja.”
Dan
aku pun menceritakan hal yang sesungguhnya: Bahwa aku adalah anak dari seorang
yang penah ditangkapnya itu.
Mendengar
hal itu, Dianne langsung beranjak meninggalkanku. Aku pun langsung mengejarnya
dan menjelaskan bahwa aku tidak memiliki hubungan apapun lagi dengan ayahku
semenjak ia ditangkap. Aku berjanji untuk melindungi Dianne, dan akan
merahasiakan kedekatan kami.
Aku
dan Dianne pun semakin dekat hingga kami menjadi sepasang kekasih. Hal ini
terdengar sangat mustahil dimana anak penjahat bisa menjadi kekasih mantan agen
kepolisian yang telah berhasil menangkap ayah si anak penjahat itu. Namun ini
lain karena hatiku sudah tertambat padanya sejak hari itu, dan kesempatan
bertemu kembali adalah peluang besar untuk semakin mendekatinya. Inilah yang
terjadi. Tidak ada yang mustahil dalam dunia ini, asal kita mau menggunakan hati
nurani kita untuk memutuskan suatu hal supaya terjadi tanpa mengabaikan
ketulusan.
Dua
tahun pun telah berlalu dan ayahku dibebaskan dari penjara untuk sementara
waktu entah dengan cara apa. Hal itu sangat mengejutkan bagiku karena aku takut
kalau ia tahu siapa kekasihku sekarang. Aku tahu ia sangat dendam dengan
Dianne.
Namun,
seperti halnya suatu bangkai yang selalu disembunyikan, rahasiaku ini pun
akhirnya ketahuan. Ternyata ayahku mengetahui hubunganku dengan Dianne melalui
anak buah-anak buahnya yang berada dimana-mana. Mereka selalu membuntutiku
kemanapun aku pergi secara diam-diam.
BRAKKK!!!
Ayahku
menggebrak meja di ruang kerjanya sekuat tenaga sambil memasang wajah penuh
amarah. Ini kali pertama aku melihat isi ruangan ayahku. Biasa saja. Ia menyuruhku
datang ke rumahnya hanya untuk ini.
“Kau
itu bodoh atau bagaimana?!” Ia pun kini berteriak.
Aku
hanya diam.
“Jawab
aku!” Dia menggebrak meja lagi, “kau ingin mati dengan pacaran dengan wanita
jahanam itu?”
“Aku
hanya cinta padanya.”
“Baka! Cinta itu tidak ada! Apa-apaan kau
ini? Kau terlalu banyak bersama ibumu, jadinya begini.”
“Bukan
urusan Anda,” lalu aku pun meninggalkan ruangan ayahku.
Setelah
pertemuan dengan ayahku, aku dan Dianne berusaha pergi sejauh mungkin dari
jangkauan ayahku. Kami pergi sampai di perbatasan Amerika Serikat dan Kanada
yang semestinya sangat jauh dari jangkauan ayahku. Aku hanya ingin bebas
melakukan apapun dengannya.
Namun
perkiraanku salah. Melalui anak buahnya, ia menemukan tempat persembunyianku
dan Dianne. Pada saat itu, waktu senja hari, ayahku dan beberapa anak buahnya
datang ke tempat persembunyianku dan Dianne. Mereka membawa senjata dan bersiap
untuk memisahkan aku dengan Dianne. Akhirnya, aku memutuskan untuk berlari
bersama Dianne sampai masuk ke dalam sebuah hutan.
Karena
ayahku dan beberapa anak buahnya tidak berhenti untuk menembakkan peluru dari
senjata mereka, Dianne pun memutuskan untuk mengambil senjata dari dalam
tasnya. Hal ini sangat mengagetkanku karena ternyata dia masih membawa senjata
bahkan menggunakannya.
“Maafkan
aku, Taka. Aku tidak bisa terus-meneus dikejar begini,” kata Dianne sambil
menembakkan senjatanya ke arah salah satu anak buah ayahku dan mengenai
kakinya.
Dianne
menembak satu per satu anak buah ayahku tepat di kaki karena ia tidak ingin
membunuh siapapun, hingga tersisa ayahku dan seorang anak buahnya yang paling
setia. Ayahku menodongkan pistolnya ke arah kepala Dianne yang juga sedang
menodongkan pistol ke arah kepala ayahku.
“Turunkan
senjatamu! Pelacur!” Bentak ayahku kepada Dianne sambil mengarahkan pistolnya
sejajar dengan dada Dianne.
“TIDAK!”
“Dasar
bodoh!” Dan ayahku pun menarik pelatuk pistolnya.
DOR!
Tepat di jantung Dianne, dan ia terjatuh.
Pistol
Dianne pun ikut terjatuh, dan berhasil kuambil. Aku pun berhasrat untuk
menembak ayahku, namun Dianne menghalangiku. Ia menarik pelan tanganku yang
masih ada dalam jangkauannya. Kini aku merasakan betapa lemahnya seorang gadis
seperti Dianne di saat sepeti ini.
“J-j-jangan!”
Dianne pun tersenyum dalam wajah penuh kesakitannya, “dia itu ayahmu, Taka.”
Aku
pun tak kuasa menahan air mataku yang kini telah bercucuran. Mengapa Dianne mau
mencegahku? Dia sekarat karena ayahku. Aku pun memeluknya, membelai wajahnya
dengan penuh haru biru di hatiku.
“Maafkan
dia!” Kata Dianne Lirih, “Dan maafkan aku.”
Itulah
hal terakhir yang dikatakan Dianne sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Namun perasaanku yang kacau tidak bisa menahan keinginanku untuk menarik
pelatuk pistol itu.
---
“Jangan
main-main sama senjata! Bahaya tahu!” Dianne tertawa ketika aku mulai memegang
pistol kosongnya yang tergeletak di mejanya.
“Tapi
ini kan kosong,” kataku sambil mengamati pistol itu.
“Sudahlah!
Bahaya!” Kata Dianne sambil mengambil pistol itu dari tanganku, dan
meletakkannya kembali ke atas mejanya.
“Jangan
meremehkan aku!” Aku pun mendekatinya, lalu mencium bibir tebalnya yang polos
tanpa pulasan apapun, “Kau tahu kan aku anak siapa? Hehe.”
“Jangan
sombong dulu!” Wajah Dianne terlihat sangat manis saat itu, apalagi aku baru
menyadari bahwa ia memiliki sepasang lesung pipi dan sepasang mata hitam yang
menggemaskan.
Lalu
kami tertawa bersama. Tertawa sepuasnya tanpa perasaan berat apapun. Aku pun
memeluknya erat dan merasakan tubuhku yang cukup kurus ini mulai mendapatkan
kehangatan, dan kulitku yang kekuningan ini melekat pada kulitnya yang
kemerahan. Sungguh ini adalah masa yang indah.
---
DOR!
Satu
orang lumpuh di tempat. Tepat pada kaki. Aku telah menembak kaki ayahku. Dan
segalanya menjadi hitam.
***
Dianne.
Aku
tidak bisa melupakanmu kalau kau terus di depanku. Mengapa kau disitu?
Kemarilah! Aku merindukanmu. Apa kamu tidak melihat senyumanku ini? Aku ingin
memilikimu lagi.
Air
mataku terus menetes saat Dianne mendekatiku dan memelukku. Aku tersenyum dalam
pelukannya yang hampa karena rasa bersalahku. Janji itu tidak aku tepati.
Janjiku untuk melindunginya yang kini bagaikan sampah dalam buaianku
terhadapnya. Namun Dianne tetaplah seorang pemaaf. Ia pun membaringkan aku, dan
seketika keresahanku menghilang. Digantikan dengan kegelapan.
(The End)
Semarang, 14 Agustus 2015
ELISABETH DYAH AYU CINTAMI WISNUGROHO
Another Stories: Click Here
Comments
Post a Comment
Feel free to give me your opinion :D