Sastra Inggris – Secuplik Perjalanan
Seorang Anak Bawang
![]() |
Source: Instagram @elisabethcintami |
Hari Sabtu gini cocok lah buat
cerita-cerita dikit, sambil ngopi sama ngemil wiskas (eh, bukan! Bukan! -__-).
Pokoknya sambil ngemil. Oke! Jadi gue mau cerita biar nggak terus-menerus
terlarut dalam dunia imajinasi liar gue.
Mungkin sebagian dari kalian
males banget bacanya. Tapi cerita ini serius, dan berasal dari dalam lubuk hati
gue (yaelah). Oke langsung aja...
Jadi, udah setahun aja gue jadi
mahasiswa di jurusan Sastra Inggris alias English
Department di UNDIP. Gue nggak nyangka setelah menclok sana-sini, pikiran
melayang-layang terbang di udara, dan hati berdebar-debar nan berenang-renang
(apasih?), akhirnya gue masuk Sastra Inggris.
Kalau ditanya seneng apa enggak
sih masuk Sastra Inggris? Jawabannya sih, seneng banget ya. Kenapa? Ya, inilah
pilihan gue.
Kalau boleh jujur, kemampuan
berbahasa Inggris gue selama sekolah dulu nggak begitu bagus. Coba bandingin
aja sama adek gue yang masih SMP aja udah ikutan “English Club”. Boro-boro
masuk “English Club”, dapet nilai tuntas di mata pelajaran Bahasa Inggris aja
harus berpeluh darah #lebay (terutama jaman SMA). Pas UN pun nilai Bahasa
Inggris gue cuma mentok di angka berkepala 7 (kalo di Naruto, biju yang berekor
7 namanya Shichibi #apasih).
Sebenernya dulu gue maunya masuk
Sastra Indonesia karena gue suka banget nulis cerpen, puisi dan kawan-kawannya
(dalam bahasa Indonesia). Nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia gue pun paling
tinggi di rapor (wondering kenapa EYD
gue masih acak2an? Ya, gue belom apal satu buku EYD #jawabannya). Tapi ya,
emang kalo boleh jujur nilai gue yang bagus itu ya di mata pelajaran Bahasa
Indonesia, Bahasa Jawa, TIK sama Kesenian, dan bukan Bahasa Inggris. Cuma
mereka berempat yang bisa nyentuh nilai 9 – 10.
Waktu gue berada di ujung tanduk
kelas 12 SMA, disitu gue diuji. Gue dihadapkan oleh ribuan pilihan hidup. Tau
lah! Masa akhir SMA itu galau, sob! SNMPTN, gue masih belum bisa menentukan
pilihan sendiri. Psikologi pun jadi pilihan satu-satunya buat gue demi menempuh
bangku kuliah. Kok nggak jadi Sastra? Karena peran keluarga besar gue berperan
besar dalam penentuan SEGALANYA (masih mending psikologi, kalo kedokteran kan
nggak mungkin). Jujur, gue juga pengen masuk psikologi dan ambil psikologi
klinis sambil berobat jalan. Tapi, masa iya kuliah berobat jalan? Ya, nggak
masalah sih. Tapi, yang gue sayangkan, gue milih jurusan psikologi di UI yang you know lah! SUSAH DITEMBUS buat
seorang Anak Bawang -__-
Lah! SNMPTN kan 3 pilihan? Iya,
pilihan 1 psiko UI, kedua Sastra Inggris #nahini UI, dan ketiga psiko UNDIP.
Gue milih itu semua tanpa trik! Hanya ngikut saran keluarga. Semuanya, ya gue
suka-suka aja sih. Tapi jalur SNMPTN itu adalah jalur yang bukan gue banget!
Karena menolak gue mentah-mentah. Jadi, gue gagal.
Gue juga mendaftarkan diri lewat
jalur PMDK di suatu Univ swasta di kota Semarang tercinta selama menunggu hasil
SNMPTN. Jurusannya? DKV. Lho kok DKV? Jawabannya, karena gue suka mainan “CorelDraw”
dan “Photoshop”. Bego kah? Kurasa tidak. Gue juga suka ngegambar, bikin film
dan fotografi. Kenapa nilai TIK gue tinggi? Karena pelajarannya tentang design,
begitu pula dengan kesenian. Gue diterima disitu, dan ortu gue mendukung karena
gue juga pernah menang lomba design. Dan nambah, jurusan DKV di Univ tersebut
terkenal paling bagus se-kota Semarang bahkan kayaknya se-Jawa Tengah.
“Tapi, mayoritas orang Indonesia selalu berpikir kalau masuk
Universitas Negeri itu jauh lebih membanggakan...”
Gue pun ikut SBMPTN demi
mewujudkan statement di atas.
Galau lagi, gue bingung mau pilih
jurusan apa. Gue dihadapkan sama keinginan lama gue untuk menjadi musisi.
Sebuah Univ negeri di kota gue menyediakan jurusan pendidikan seni musik, cuman
ada suatu hal yang bikin gue minder (apa itu? Kapan-kapan gue ceritain), nggak
mungkin lolos (batin gue). Lalu gue inget kalo gue pengen masuk UI. UI adalah
tujuan hidup gue waktu itu.
Sepupu gue kebetulan lulus dari
S1 Akuntansi di UI sehingga ortu gue pengen gue mengikuti jejaknya, daripada
gue tenggelam dalam obsesi gue yang menuut mereka bodoh itu: sebagai musisi,
artis, budayawan, penulis, filmaker, apalah. Menurut mereka kerja di kantor,
jadi akuntan dan mapan itu sangatlah indah dan menyenangkan.
Gue menolak mentah-mentah.
Akuntansi gue di SMA nilainya do, re, mi doang, kalo gue masuk akuntansi,
bisa-bisa gue muntah darah tiga kali sehari. Kan repot!
Gue pun akhirnya masih memilih
psikologi, demi (dibolehin) masuk (sebenernya daftar) UI. Gue pun melupakan
sesuatu: Jurusan psikologi UI itu SUSAH BANGET MASUKNYA. Tapi tenang! Kan tiga
pilihan. Maka, gue pun juga memilih satu jurusan SASTRA di UI yang menurut gue
menantang sekaligus gila (yang nggak tau sebenernya, tapi menurut gue
peluangnya lebih besar buat gue masiki), Sastra Rusia. WOW! Kok nggak Sastra
Indonesia? Sekali lagi, keluarga besar berperan. Kok nggak Sastra Inggris?
Karena peluangnya sama sempitnya dengan Psikologi.
Terus Sastra Inggris UNDIP itu?
Ya, itu jodoh gue yang sebenernya cuman gue sisipin. Gue sekali lagi, pengen
klik Sastra Indonesia, terus gue merenung:
Apa yang gue pikirkan mungkin
kedengeran sangat bullshit. Bahasa
internasional itu ya bahasa Inggris, dan gue adalah seseorang yang exhibitionist. Sifat exhibitionist gue ini lah yang membuat
gue bercita-cita untuk jadi seniman bahkan penulis. Blog ini adalah salah satu perwujudan
sifat exhibitionist gue, bahkan
tulisan ini juga. Disamping itu, sifat exhibitionist
gue membawa gue terus-menerus bercita-cita menjadi seniman, lebih tepatnya
musisi sekaligus penulis. Nah! Gue berpikir kalau gue pengen terkenal sampe
tingkat internasional. Gue pengen jadi artis yang go internasional dan dikenal di seluruh dunia. Mungkin dengan
menggunakan bahasa Inggris, gue bisa sampai tujuan itu. Bullshit nggak sih? Tergantung.
Gue pun menyusun begini:
Psikologi UI, Sastra Inggris UNDIP dan Sastra Rusia UI sewaktu SBMPTN 2014
lalu. Apakah itu semua asal-asalan? NGGAK! Sama sekali nggak asal-asalan. Kali
itu gue udah lebih mementingkan jurusan daripada Universitas. Gue pilih yang
gue suka tanpa memikirkan kata orang lain. Sastra Rusia UI gue taruh di pilihan
ketiga karena gue belum siap dengan kemungkinan keluarga nggak suka kalau gue
lolos disitu. Kenapa? Mereka belum tahu “apa itu bahasa Rusia”, “budaya Rusia”
sampai “kenapa harus Rusia?” buat gue. Gue nggak mungkin bisa jelasin ke mereka.
Kenapa? Alasannya karena otak gue berpikir random, nggak kaya orang-orang
kebanyakan. Mereka nggak akan ngerti penejelasan gue yang dimulai dari Masha and The Bear, negara yang berperan
besar terhadap dunia antariksa dan bla bla bla itu. Kalau psikologi, gue mau
masuk situ karena gue pengen bisa mempelajari manusia dan berobat jalan #lagi
(jadi pilihan pertama karena paling berat buat urusan kuota sampe passing grade). Terus Sastra Inggris
UNDIP itu? Ya, itu pilihan kedua gue. Gue letakin jurusan itu dipilihan aman,
dan bener kan? Gue masuk situ dan meninggalkan DKV (karena masuk negeri, inget
kan kutipan di atas? Hehehe).
Dari dulu gue tahu banget yang
namanya jurusan sastra itu peluangnya infinity
alias nggak terbatas. Mau sastra apa aja deh. Kenapa? Hmm... Pernah berpikir
kenapa kebanyakan jurusan sastra berada di fakultas yang bernama Fakultas Ilmu
Budaya? Atau dalam bahasa Inggris “Faculty of Humanities”?
Ini gue jelasin berdasarkan
refleksi gue sendiri: Budaya... Culture... adalah hasil cipta, karya dan karsa
manusia. Humanities atau humaniora sendiri adalah pembelajaran yang
berkonsentrasi kepada cara pikir dan tingkah laku manusia. Sastra sendiri
adalah produk dari budaya itu sendiri. Dalam sastra sendiri terdapat hasil
pikir manusia. Pernah nggak sih kalian terpengaruh ketika baca “The Davinci
Code”? Atau bahkan merenung setelah membaca puisinya Chairil Anwar? Itulah
sastra yang merupakan produk budaya. Kalau mau bahas ini susah banget karena
luasnya minta ampun. Kalau gue terusin bisa-bisa gue bikin skripsi sebelum
waktunya.
Sastra sendiri tercipta oleh
karena adanya bahasa. Kita tahu lah kalo bahasa itu alat komunikasi tertua di
dunia, meskipun itu bahasa tubuh (eh, itu juga dipelajari lho kalo ambil
peminatan linguistik). Nah! Coba nggak ada bahasa? Terus kita mau apa? Diem
mematung? Mungkin dunia malah nggak ada kalau nggak ada bahasa. Tuhan aja
menciptakan dunia dengan bahasa, yaitu cinta kasih.
Nah! Cerita gue nggak berhenti
disitu. Belajar di jurusan yang mengandung unsur sastra itu berarti kita
dihadapkan sama segala macam ilmu. LHO? Iya, emang. Nafas dari sastra sendiri
adalah membaca. Baca novel doang? YA NGGAK LAH! Segala macam bacaan adalah
teman anak sastra, meskipun terkadang proses untuk mau membaca itu bagaikan
proses pembuatan tembikar bahkan penempaan keris.
Kok? Ya, gue ngaku aja lah! Gue
memang anak IPS banget, tapi semangat membaca gue jauh memenuhi standar anak
IPS. Gue lebih suka observasi (itu IPA banget kan ya? Tapi nggak kalau yang lo
pelajari “perilaku” manusia), gue juga lebih suka mendengar (jadi ada orang
baca atau presentasi, gue dengerin. Itu lebih mudah buat gue pahami) dan gue
lebih suka berimajinasi (sehingga otak gue begitu absurd di dalamnya, dan sekali baca satu kalimat, imajinasi gue
udah berkelana). Buat bisa membaca satu novel aja, gue bisa menghabiskan waktu
satu bulan (ada yang satu tahun lho), kalo boleh jujur. Baca komik? Satu jam
kurang udah katam. Hehehe. Ya, itulah proses. Buat bisa ngebut dalam membaca,
tau maksudnya, sampai bisa membuat ciptaan sendiri memang butuh proses yang
luar biasa keras.
Terus yang anak sastra dihadapkan
dalam segala macam ilmu? Ya, dalam belajar ilmu budaya, kita nggak bakal lepas
dari unsur filsafat. Filsafat sendiri adalah bakal dari segala ilmu. Terus?
Untuk membuat suatu tulisan (fiksi sekalipun) yang berkelas, seorang sastrawan
(dari latar belakang apapun) harus belajar dulu (entah observasi, cari-cari
artikel sampe sekolah lagi), sastrawan juga harus kritis dengan lingkungan
sekitar atau bahkan keadaan “apapun” (nggak ada tema khususnya) yang terjadi di
dunia. Makanya, sekarang lo bisa baca “Twilight”, dan bahkan terhanyut. Wah! Itulah
alasannya. Sudah pada tahu kan kalau Stephanie Meyer itu lulusan Sastra
Inggris? Dalam penulisan semacam itu, nggak cuma unsur mitologi aja yang
dimasukin, tapi juga unsur logic of
thingking. Logika berpikir itulah yang membuat pembaca (terutama masyarakat
modern) lebih terpikat untuk membaca suatu karya sastra. Terus nih ya, buat
menganalisis satu karya sastra aja dibutuhkan banyak banget referensi karena
sudut pandang manusia dalam melihat suatu hal itu tak terbatas. Jujur aja, buat
bahas cerpen The Last Leaf-nya O
Henry sama puisi The Sick Rose-nya
William Blake buat ngerjain tugas Introduction
of English Literature aja, gue sampe buka artikel psikologi, politik,
sejarah sampe buka Alkitab juga. Warbyasah!
Hmm... Kalau bahas peluang kerja
dari Sastra Inggris sendiri? Banyak yang udah bahas ya. Jadi, gue nggak perlu
sebutin lagi. Dan yang lebih bikin gue tertarik adalah kata “artis” atau “entertainer”
dalam peluang kerja itu, disamping penulis, diplomat, duta besar, translator,
jurnalis, editor, dan blablabla (jadinya disebutin, hehehe). Ya, “ARTIS” atau
“ARTIST” atau “SENIMAN” atau “ENTERTAINER”. Jadi, gue nggak harus kuliah di
Institut Kesenian kalo mau jadi “ARTIS” (kurang lebih begitu intinya) karena
pelajaran kesenian apapun bisa dimasukkan dalam Sastra (walaupun kebanyakan
masih sebatas apresiasi, tapi kalau bisa produksi, kenapa enggak?).
Mau jadi seniman lewat sastra
Inggris? Ya.
Menyimpang? Nggak kok. Tuh ada
peluang di kerjanya. Hehehe :D
Emang bisa nyanyi, nge-band sampe
bikin orkestra lewat Sastra Inggris? Bisa banget. Mau nulis lagu dengan lirik
berbahasa Inggris? Ayo! Di-share ke
seluruh dunia? Ayo! Lagian, musikalisasi puisi juga dimiliki Sastra Inggris
kok. Mau bikin film? Ayo! Nggak cuma bahasa Inggrisnya dalam film, tapi ada
kajian sinema dalam pembelajaran di Sastra Inggris (terutama yang ambil
Literature sama Amstud). Drama? Uh! Itu mah pasti. Mau jadi pelukis, designer,
animator? Ayo! Kalau lo punya kemampuan visual lebih dan kemampuan untuk
mewujudkannya, terus setiap kamu membaca bisa menghasilkan suatu karya seni
visual, dan imajinasi lo liar? WHY NOT?!
Hehehe.
Mo jadi apalagi? Dubes? Diplomat?
Jurnalis? Editor? Penulis? Guru? Dosen? Peneliti? Filsuf? Translator?
Budayawan? Kurator? Sutradara? Script Writer? Musisi? Song Writer? News Anchor?
Public Relation? Advertiser? Designer? Aktor? Model? Miss Universe? Menteri?
Presiden? Blablablablaaa buanyak....
Udah ah, udah long post banget. Lain kali gue ceritain
lebih banyak. Huft! Kalo diterusin, lagi-lagi, gue bisa skripsi sebelum
waktunya. Hehe. :) Makasih yang udah mau #sukarela membaca curhatan si Anak
Bawang ini. Kalo mau kasih nasehat, tanya-tanya atau malah sharing, boleh banget. Hehehe. :D
LOVE YOU! Hehehe :D
Add LINE "Elisabeth Cintami"
Just scan it! And DONE :)
wahh cocokk kak.. :) thanks ya kak.
ReplyDeletemakasih kak, artikelnya bagus bgt, jd tmbh yakin mau ambil sastra inggris :)
ReplyDeletemakasih kak, artikelnya bagus bgt, jd tmbh yakin mau ambil sastra inggris :)
ReplyDeletesuch a great article.. Makasih kak!
ReplyDeleteKak nilai bahasa inggrisku di sekolah cuma 8 di raport, terus aku lemah banget di listening. kira-kira aku bisa masuk sastra inggris gak sih kak?
ReplyDeleteThanks~
Dek, nilai 8 mu tidak terlalu terpakai saat kamu dihadapkan pada teori2 feminism, sexism, psikoanalisis, marxism. Besok kalau kamu keterima di sasing, coba kasih tau kakak ya, topic essay dan teori yang kamu apa :)
Deleteregard,
Anak ingusan
*teori yang kamu pakai
Deletewhat ever the result is the beauty part is the process
ReplyDelete