LULLABY
-Bukan Ini yang Kuinginkan-
Genre: Drama, Tragedy
Theme: Friendship
Panjang: 1846 kata
![]() |
Illustration by Elisabeth Cintami |
Perhatian!!!
Seperti
biasa, sebelum membaca fanfiction ini, jangan lupa! Cerita ini hanya fiktif
belaka dan bukanlah merupakan suatu fakta kehidupan dari nama-nama yang menjadi
tokoh dalam kisah ini (cuman minjem nama dan ciri2 fisik?!). Dan, hati-hati
karena cerita ini cukup keras dan kemungkinan bikin baper sehingga jangan
baper. Hehe ;) Jika ada kesalahan dalam hal budaya (penulisan nama, tata cara,
dsb), silahkan beri masukan karena cerita ini menyangkut kebudayaan luar
Indonesia sehingga saya yang masih dalam taraf belajar belum bisa sempurna
dalam mengemasnya. Kritik dan saran dipersilahkan langsung ditulis di kolom
komentar. Terima kasih :D
Suara Taka kini sepertinya sudah
habis dihantikan oleh suara batuk yang keras. Hal ini membuat Pak Sinichi dan
lainnya panik. Mereka menghampiri Taka yang sedang berbaring meringkuk
menyamping ke arah berlawanan dari yang lainnya di atas ranjangnya yang hingga
kini tidak mau memperlihatkan wajahnya kepada mereka.
“Ada apa denganmu, nak?” Pak
Sinichi kini mulai berbasa-basi sambil memalingkan wajah anaknya itu ke
arahnya.
Betapa terkejutnya Pak Sinichi
melihat darah yang mengalir dari hidung anak sulungnya, dan darahnya juga
keluar dari mulutnya ketika terbatuk tadi. Pemandangan di depan mata Pak
Sinichi pun sangat mengerikan dan tidak pernah terbayangkan olehnya. Darah yang
tercecer disekitar Taka sangat menakutkan hingga membuat air matanya menetes.
“A-ayah... S-sakit,” kata Taka
dengan nada begitu lirih diikuti air matanya yang terus-menerus mengalir.
Sepertinya ia tidak mampu menahan sakit yang dirasakannya kini meskipun ia
masih harus tersadar dan menanggungnya.
Toru pun bergegas memanggil mobil
ambulans karena keadaan kali ini benar-benar gawat. Ia tidak akan membiarkan
sahabatnya pergi hari ini. Tidak akan.
Ambulans pun datang dan membawa
Taka menuju rumah sakit didampingi ayahnya, sementara Toru dan Ryota menyusul.
Keadaan kali ini sangat menegangkan sampai membuat konsentrasi Toru dalam
mengemudikan mobilnya hampir buyar. Sudah beberapa kali ia hampir celaka karena
tidak memperhatikan jalan.
“Sudahlah Kak Toru! Tenangkan
dirimu!” Kata Ryota yang sudah ketakutan di dalam mobil karena selalu hampir
celaka.
“Bagaimana bisa aku tenang kalau
keadaannya begini?”
“Apa kau tidak tahu siapa Kak
Taka? Jangan remehkan dia! Dia orang yang kuat!”
“Kuat? Berapa kali dia mencoba
bunuh diri, ha?! Itu yang kau maksud dengan kuat?”
“Bukan itu! Percayalah saja
padanya, daripada kita celaka! Kita juga sudah kehilangan jejak ambulansnya.”
Toru pun mulai menenangkan
dirinya hingga sampai di rumah sakit. Ia mulai percaya dengan apa yang
dikatakan Ryota, bahwa Taka adalah orang yang kuat. Meskipun ia mencoba untuk
mengakhiri hidupnya sendiri, namun Taka tidak kehilangan kesadaran ketika merasakan
sakitnya. Ia juga tidak pernah sampai untuk membunuh dirinya sendiri. Kenyataan
yang lebih kuat untuk membuktikannya adalah, ia sanggup hidup dalam kekacauan
luar biasa seperti sekarang. Mungkin Toru sendiri tidak akan kuat menghadapi
cobaan hidup seberat cobaan yang dirasakan Taka.
Setelah sampai di rumah sakit dan
memarkirkan mobilnya, Toru pun bergegas menuju Unit Gawat Darurat bersama
Ryota. Dengan langkah seribu, mereka berjalan mencari sahabat mereka yang kini
sedang sekarat.
Di ruang Unit Gawat Darurat, Toru
dan Ryota tidak menemukan Taka. Semua bilik di ruangan itu kosong. Seketika,
Toru dan Ryota mulai panik.
“Dimana? Dimana Taka?” Kata Toru
sambil menengok ke kanan-kiri.
“Iya, dimana dia? Pak Sinichi
juga tidak ada,” sahut Ryota.
“Apa jangan-jangan ia sudah
dibawa ke ICU?” Tebak Toru.
“Bisa saja, kak.”
“Ya sudah, kita tanya bagian
informasi saja.”
Toru dan Ryota pun bergegas
menuju bagian informasi di rumah sakit tersebut. Namun dalam perjalanan, mereka
melihat seorang pria yang memiliki perawakan seperti Pak Shinichi duduk di
bangku dekat bagian informasi. Pria itu menutupi wajahnya dan merunduk seperti
sedang menangis. Seketika itu juga, Toru panik.
“I-itu ayahnya Taka kan?” Toru
menunjuk pria itu.
“S-sepertinya iya, kak.”
“Ada apa dengannya?”
“J-j-jangan-jangan...” Kini Ryota
pun ikut panik.
Toru dan Ryota langsung
menghampiri pria itu, dan mereka langsung menanyakan apa yang terjadi.
“Paman Shinichi! Apa yang terjadi
dengan Kak Taka?” Tanya Ryota.
“Apa yang telah terjadi, paman?”
Toru pun menegaskan pertanyaan tersebut. Matanya pun mulai meneteskan air mata
karena sepertinya hal yang buruk telah terjadi.
“S-Shi-Shinichi?” Pria itu pun
menegakkan dirinya, dan mulai menampakkan wajahnya, “Kalian siapa?”
Ternyata pria itu sama sekali
bukan Pak Shinichi. Mereka salah orang.
“Maafkan kami, paman,” Toru pun
meminta maaf kepada pria itu.
“Kalian ini! Saya sedang sedih
karena istri saya sedang melakukan persalinan!” Pria itu pun membentak Toru dan
Ryota.
“Lho, kenapa paman malah sedih?
Bukannya itu hal yang menggembirakan?” Toru pun bertanya.
“Mungkin istrinya mengalami
gangguan,” Ryota mulai menebak sambil berbisik kepada Toru, “Atau paman ini
tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai persalinan. Ya, seperti yang di
sinetron-sinetron. Terus anaknya tidak bisa pu-”
“Ah! Sudah! Sudah! Cukup! Kalian
ini tidak tahu apa-apa!” Pria itu berdiri dan membentak lagi.
“Istrinya tidak mau ditunggui
olehnya selama persalinan. Katanya dia terlalu jelek dan merepotkan. Maklum,
bawaan orang melahirkan,” seorang perawat yang berjaga di bagian informasi pun
mengatakan apa yang telah dialami pria itu.
“Oh begitu... i-iya sih,” kata
Ryota.
“Eh! Apa katamu?!” Pria itu
terlihat sangat marah.
“Ma-maaf paman, bercanda, hehe,”
sergah Ryota.
“Ah sudahlah!” Toru pun tidak
ingin terlalu lama terjebak di dalam kondisi konyol seperti ini. Ia pun
menanyakan keberadaan sahabatnya, Taka kepada perawat itu.
Perawat itu mengatakan bahwa Taka
sudah dibawa ke ICU untuk ditangani lebih lanjut karena kondisinya sudah sangat
parah saat dibawa ke rumah sakit. Setelah itu, Toru dan Ryota pun langsung
menuju ICU. Sesampainya disana, mereka melihat Pak Shinichi yang menunggu di
luar. Itu benar-benar Pak Shinichi, mereka tidak salah orang lagi.
“Bagaimana keadaan Taka, paman?” Tanya Toru.
“Dokter dan tim medis sedang
menanganinya. Kita tunggu saja,” jawab Pak Shinichi penuh nada pasrah.
“Baiklah.”
“Ngomong-ngomong, kenapa kalian
lama sekali?” Kini Pak Shinichi pun mulai bertanya.
“Ehm, itu...” Toru sedikit malu
dengan apa yang dialaminya.
“Tadi Toru nyetir sembarangan.
Kami hampir saja celaka,” jawab Ryota, “Dan... aduh!” Toru pun mencubit paha
Ryota karena malu jika ia nanti sampai menceritakan kejadian salah orang tadi.
“Iya paman. Saya panik,” jawab
Toru setelah mencegah Ryota berbicara.
“Ya, memang kalau panik itu
wajar,” kata Pak Shinichi, kalem.
Beberapa saat kemudian, dokter
yang menangani Taka keluar dari ruangan ICU. Ia membicarakan suatu hal tentang
kondisi Taka secara pribadi dengan Pak Shinichi, sehingga Toru dan Ryota tidak
tahu apa yang mereka bicarakan. Jika dilihat dari raut wajah Pak Shinichi yang
tampak sedih, sepertinya itu bukanlah hal yang menyenangkan.
“Oh, anak-anak! Sekarang sudah
malam. Sebaiknya kalian pulang,” Pak Shinichi pun menghampiri Toru dan Ryota
setelah berbicara dengan dokter tadi, “Nanti orang tua kalian khawatir.”
“Tapi paman, kami ingin melihat
kondisi Taka,” jawab Toru.
“Besok saja. Kata dokter, malam
ini dia tidak boleh dijenguk,” kata Pak Shinichi menegaskan.
“Baiklah kalau begitu. Kami akan
datang sepulang sekolah,” kata Toru sebelum akhirnya pulang bersama Ryota.
***
Malam ini merupakan malam paling
suram bagi seorang Tomoya. Setelah pertengkarannya dengan Toru, ia semakin
merasakan hal aneh, semacam perasaan bersalah. Sebenarnya ia sendiri ingin
melupakan kejadian di gang sepi itu. Ia tidak ingin mengingat lagi
kebodohannya.
Tomoya tidak pernah mengira bahwa
perlakuannya bisa berdampak buruk kepada sahabat-sahabatnya, terutama pada
Taka. Ia hanya mengira bahwa Taka hanya menggertaknya meskipun meninggalkan
perasaan malu yang luar biasa di batinnya. Malu, sehingga Tomoya tidak mau lagi
mengingat peristiwa itu hingga menghindari tatap muka dengan para sahabatnya.
Tiba-tiba Tomoya mengingat
janjinya kepada Taka, bahwa ia akan membunuhnya kelak. Satu hal yang terlintas
di benak Tomoya, itu benar-benar terjadi. Buktinya adalah dengan percobaan
bunuh diri yang dilakukan Taka. Ia merasa sangat bodoh pada kali ini.
“Tambah lagi!” Tomoya mulai
berteriak kepada bartender yang berada di depannya sambil menyodorkan gelas
birnya ke bartender tersebut. Bar tender pun menuangkan bir lagi di gelas milik
Tomoya.
Beberapa saat kemudian, ia
melihat seorang wanita yang sedang mabuk duduk di sebelahnya. Sosok wanita itu
tidaklah asing baginya. Penampilan wanita itu tidak jauh berbeda setelah
terakhir kali dilihatnya setahun lalu, sebelum keberadaannya menjadi misteri.
Kemeja terbuka dengan menunjukkan tank top hitam di dalamnya, rambut bergelombang
hitam yang potongannya sebahu dan diikat satu ke belakang, serta gincu berwarna merah darah di bibirnya.
Yang membuat wanita itu berbeda adalah, wajah mabuknya. Wanita itu tidak pernah
terlihat seburuk itu sebelumnya.
“Hmm... Sepertinya aku
mengenalmu,” wanita itu memulai pembicaraan setelah matanya bertemu dengan mata
Tomoya.
Dalam hati, Tomoya telah menebak
bahwa wanita itu pasti sudah lupa dengannya. Atau setidaknya, wanita itu tidak
mengenalinya karena sedang mabuk.
“Mungkin kita pernah bertemu,”
jawab Tomoya dengan nada canggung.
“Hmph... Ah sudahlah. Aku lupa,”
wanita itu pun meneguk segelas champagne
lagi, “aku lupa siapa aku. Aku lupa segalanya. Keluargaku, anak-anakku...
dan... ah! Aku tak ingin membahasnya.”
DEG! Kini hati Tomoya terasa
hancur setelah melihat wanita yang selama ini dikenalnya sebagai ibu dari salah
satu sahabatnya itu. Sahabatnya yang telah memegang janjinya, untuk dibunuh,
untuk mati.
“Aku tidak yakin kalau anak
sulungku masih hidup,” tiba-tiba wanita itu mulai bercerita, dan kini Tomoya
menyesal karena telah terlihat oleh wanita itu. Seharusnya ia langsung pergi
ketika melihat wanita itu karena kini ucapannya telah menjadi suatu misteri
baru di benaknya, sekaligus menjadi duri dalam batinnya.
Tomoya tidak menanggapi wanita
itu karena ia tidak menginginkan cerita mabuknya bertambah panjang. Ia juga
tidak mau tahu tentang apa yang telah terjadi di dalam kehidupan keluarga orang
lain. Ia tidak mau meneruskan perasaan bersalahnya. Kini Tomoya meneguk lagi
bir miliknya dengan penuh kepahitan di seluruh batang lidahnya.
“Nak! Kau masih muda. Jangan
biarkan dirimu rusak di masa mudamu,” kata wanita itu secara tiba-tiba sembari
tersenyum kecut lalu bernjak meninggalkan bar dengan langkah berat karena masih
terpengaruh alkohol, “Jaga dirimu! Tomoya.”
Sial! Ternyata wanita itu
menyadari siapa dirinya. Tomoya kini semakin dibanjiri rasa bersalah sekaligus
rasa keingintahuan. Kelakuan Nyonya Masako tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Apapun ini, pasti masalah besar telah terjadi di dalam keluarga Nyonya Masako.
Tomoya tidak pernah sekalipun
merencanakan semua ini. Ia tidak pernah menginginkan kehancuran dalam hidupnya,
itu intinya. Penampilan band itu menurutnya hancur, ia tidak mau. Ia menjadi
emosi dan melakukan tindakan bodoh, ia pun tidak mau. Namun segalanya sudah
terjadi dan mengalir begitu saja. Nasi sudah menjadi bubur. Tindakannya kepada
Taka waktu itu hanya didasari emosi, bukanlah rencana matang seorang psikopat.
“Namun kenapa hal itu membawa kehancuran, bahkan dalam keluarga Taka?”
Batinnya.
Kesedihan pun mulai membasahi
batin Tomoya, dan membawa perasaan bersalah yang luar biasa. Kini ia hanya
sanggup meneguk birnya yang menurutnya bisa mengusir perasaan itu. Ia
memutuskan untuk tidak peduli. Ia memutuskan untuk melupakan pertemuannya
dengan Nyonya Masako tadi. Ia hanya bertemu dengan wanita mabuk yang tidak
dikenalnya.
“Apakah kau mengenal wanita
tadi?” Bartender pun bertanya kepada Tomoya. Bartender tersebut merupakan
seorang wanita berpostur tinggi yang berusia sekitar tiga puluh tahun, berambut
pendek dan terlihat sangat cantik.
“Tidak.”
“Ah! Kasihan dia,” Bartender itu
menunjukkan wajah simpatiknya. “Dia jadi sering kesini setelah diceraikan
suaminya. Dia juga sering bercerita kepadaku tentang keluarganya.”
“Cerai?” Tomoya pun terkejut
dengan penjelasan bar tender itu.
“Biasanya dia menunggu sampai
pagi disini, tapi kali ini dia pulang cepat,” bartender itu pun bercerita, “Ya,
dia sering tiba-tiba mencurahkan isi hatinya dalam keadaan sadar ataupun mabuk
kepadaku.”
“Sadar maupun mabuk?”
“Iya. Dia selalu bernyanyi disini
setiap Sabtu malam. Ya, dia bekerja disini setiap hari Sabtu. Suaranya merdu
sekali.”
“Oh.”
“Anak sulungnya juga
sakit-sakitan. Ia tidak bisa menemuinya karena mantan suaminya menghalanginya,”
tiba-tiba bartender itu mengejutkan Tomoya lagi.
“A-apa? Anak sulungnya? S-sakit
apa?”
“Aku tidak tahu, dia tidak
mengatakannya. Sepertinya buruk karena ia selalu mengucapkan bahwa ia tidak
yakin anak sulungnya masih hidup.”
“T-tidak mungkin,” Tomoya yang
mendengarkan cerita bartender itu pun langsung pergi meninggalkan Bar karena
kini perasaannya sudah tidak karuan. Perasaan acuhnya mulai terhimpit karena
kini ia benar-benar merasa bersalah.
Hanya kalimat “Apa yang telah
kulakukan?” lah yang selalu diucapkan Tomoya selama perjalanan pulangnya.
Disamping itu, ia tidak tahu harus berbuat apa setelah rangkaian kejadian yang
dialaminya. Ia sama seperti Toru, tidak pernah mengetahui apapun yang dialami
oleh sahabat-sahabatnya karena selama ini ia selalu fokus dengan dirinya
sendiri. Ia egois dan masa bodoh dengan apapun. Bahkan sikap senioritasnya pun
telah merusak banyak hal dalam persahabatan yang dijalaninya.
(To be continued)
What's next? Tell me what your prediction is...!
p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!
kereeen lanjutanya ^__^ takanya mati apa enggak nantinya.
ReplyDeletecepet update ya ^_^ semangaat kakk
Lanjutannya secepatnya :)
DeleteMakasih yak!!! Hehe
Udah update ya kak! Langsung klik next aja :D
Delete