LULLABY
-The Truth Is-
Perhatian!!!
Yang belum baca part 1 bisa klik disini.
Sebelum membaca fanfiction ini, jangan lupa! Cerita ini hanya
fiktif belaka dan bukanlah merupakan suatu fakta kehidupan dari nama-nama yang
menjadi tokoh dalam kisah ini (cuman minjem nama dan ciri2 fisik?!). Dan,
hati-hati karena cerita ini cukup keras dan kemungkinan bikin baper sehingga
jangan baper. Hehe ;) Jika ada kesalahan dalam hal budaya (penulisan nama, tata
cara, dsb), silahkan beri masukan karena cerita ini menyangkut kebudayaan luar
Indonesia sehingga saya yang masih dalam taraf belajar belum bisa sempurna
dalam mengemasnya. Terima kasih :D
Tokoh: All of the OOR’s members, Taka’s Father and Brothers
Genre: Drama, Tragedy
Theme: Friendship
Panjang: 1604 kata
![]() |
Illustration by Elisabeth Cintami |
Setelah
mendengar bahwa Taka sedang menuju atap gedung sekolah yang berlantai lima itu,
Toru langsung bergegas mencarinya karena dia sangat kawatir kalau saja
sahabatnya itu akan melakukan tindakan bodoh lagi. Kali ini Ryota juga ikut
bergegas mencari Taka, ia berlari menyusul Toru. Akan tetapi, tidak dengan
Tomoya yang hanya diam dan memutuskan untuk tidak ikut campur.
Ryota
terlihat begitu takut karena sebenarnya dia mengetahui segala hal yang terjadi
dengan sahabat-sahabatnya. Secara tidak langsung, ia adalah saksi mata pada
saat Tomoya memukul Taka di gang sepi itu. Pada saat itu, ia sedang mencari
tempat yang tenang, namun yang dilihatnya malah pertengkaran dua sahabatnya. Ia
juga menjadi saksi mata percobaan bunuh diri Taka yang berhasil dicegah oleh
Toru beberapa waktu lalu, namun ia bersembunyi di balik pintu utama toilet.
Sebagai yang paling muda diantara tiga sahabatnya, Ryota tidak berani melakukan
apapun kecuali bersembunyi, dan berharap sahabat-sahabatnya gagal melakukan
kebodohan mereka.
Setelah
berlari dengan perasaan panik yang luar biasa, akhirnya Toru dan Ryota
menemukan Taka di tangga lantai tiga sedang berusaha berdiri meskipun sedang
terbatuk-batuk. Ia terlihat sangat lemas, dan sepertinya ia tidak bisa
melanjutkan perjalanannya ke atas.
“Apa
yang kamu lakukan?” Toru mulai bertanya dengan nada pelan, namun Taka malah
terjatuh lagi. Kali ini ia hampir pingsan, namun Toru berhasil menahannya.
“Apa
yang terjadi, kak?” Ryota pun mulai bertanya.
“A-aku
ng-nggak kuat lagi, “ jawab Taka dengan suara lirih dan tersendat-sendat karena
batuknya pun tak kunjung selesai. “Rasanya paru-paruku seperti terbakar,” kini
suara Taka bagaikan berbisik karena nafasnya mulai habis.
DEG!
Kini Toru dan Ryota mulai panik, dan membawa Taka ke ruang kesehatan.
Sesampainya
di ruang kesehatan sekolah, dokter yang sedang berjaga disana pun langsung
memasangkan selang oksigen dan infus kepada Taka yang sudah hampir tidak
bernafas itu.
Apapun
ini, sepertinya Taka menyembunyikan banyak hal dari sahabat-sahabatnya. Toru
dan Ryota yang menungguinya di ruang kesehatan pun curiga. Mereka mulai
bertanya-tanya tentang apa saja yang disembunyikan sahabat mereka itu.
Setelah
Taka terlihat lebih stabil, Toru mulai mendekatinya.
“Taka,
apa yang ingin kamu lakukan tadi?” Toru mulai bertanya dengan sedikit sinis.
Taka
hanya diam.
“Jawab
aku!” Kini Toru membentaknya.
“Kak!
Sudahlah! Jangan membentaknya!” Ryota pun mulai menenangkan Toru.
“Tapi
dia ini sudah keterlaluan, Ryota!” Wajah Toru pun semakin mempertontonkan
amarahnya.
“Aku
cuma mau tahu rasanya di atap gedung sekolah. Bukan apa-apa,” jawab Taka dengan
tenang namun dingin. Ia juga menyeringai sehingga wajahnya yang pucat itu
tampak menakutkan.
“Bohong!
Memangnya setelah kejadian di toilet waktu itu kamu nggak akan melakukan
tindakan bodoh lagi?!” Kini Toru berteriak lebih keras.
“Cih!
Kamu yang bodoh, Toru,” Taka pun mulai menjawab dengan nada sinis, lalu
membuang muka dari Toru.
Toru
pun terdiam, ia merasa bahwa sahabatnya itu hanya membuatnya kecewa dan panik.
Namun memang benar kenyataan bahwa ia tidak tahu apa-apa. Ini balasan baginya
yang selama ini hanya menjadi seorang pemuda yang cuek. Benar, Toru adalah
orang yang paling dingin dan tidak peduli apapun dalam persahabatannya bersama
Taka, Tomoya dan Ryota. Kali ini ia mulai merasa bersalah.
Sepulang
sekolah, Toru dan Ryota mengantar Taka pulang ke rumahnya karena kondisinya
yang masih lemah. Selama di perjalanan pun mereka hanya saling diam dan tidak
ada satupun tanda-tanda bahwa mereka ingin berkomunikasi hingga akhirnya mobil
Honda milik Toru sampai di depan rumah Taka.
Toru
dan Ryota memapah Taka dan mengantarnya memasuki rumahnya, lalu kamarnya yang
berada di lantai pertama. Hal ini sangat mengagetkan bagi Toru dan Ryota.
Sebelumnya, kamar Taka berada di loteng karena ia suka berada di atap dan
memandang langit.
“Kamarmu
pindah?” Toru mulai penasaran.
“Bukan
urusanmu! Sekarang, pergilah!”
“Tidak!”
“Keras
kepala,” Taka pun memasuki kamarnya dan sesampainya di dalam ia menemukan Hiro,
adik bungsunya.
“Kakak!”
Hiro yang sudah berusia dua belas tahun itu berlari menghampiri kakaknya. Ia
pun memeluk Taka lalu mendudukkannya di atas tempat tidur, “Beristirahatlah!”
“Hmm...”
“Ayo
pakai ini!” Hiro memberikan selang oksigen kepada Taka lalu mengambilkan
obat-obatan dari laci di sebelah tempat tidur, “dan kakak harus minum obat!”
DEG!
Toru dan Ryota yang mlihat hal itu mulai penasaran tentang apa yang sedang
dialami oleh Taka.
Beberapa
saat kemudian, Pak Shinichi yang merupakan ayah Taka keluar dari ruang
kerjanya.
“Wah!
Rupanya ada teman-teman Taka,” Pak Shinichi berkata sambil tersenyum.
“Selamat
sore, paman,” Toru mulai menyapa.
“Selamat
sore. Terima kasih karena kalian telah mengantar anakku pulang.”
“Sama-sama,
paman. Tidak masalah kok,” jawab Toru.
“Ya,
memang ada sedikit masalah yang tidak kalian ketahui disini.”
“Sepertinya
memang benar begitu, paman,” Ryota menegaskan.
“Mari
kita minum sebentar!”
Pak
Shinichi pun mengajak Toru dan Ryota untuk minum kopi di ruang tamu agar
suasana lebih akrab. Sambil minum kopi dan manyantap makanan kecil, Pak
Shinichi menceritakan apa yang sedang dialami anaknya selama ini kepada dua
orang yang ia ketahui sebagai sahabat anaknya itu.
***
Satu
tahun yang lalu, saat itu sedang musim dingin, keluarga Pak Shinichi pun juga
sedang dalam keadaan yang tidak jauh beda dengan musim itu. Ia telah
menceraikan istrinya, Nyonya Masako karena ia menganggap istrinya tidak bisa
menjalankan tugasnya dengan baik. Ia juga menganggap istrinya bukan wanita yang
bisa disebut sebagai ibu karena telah lalai dalam mengasuh tiga anaknya.
Pada
saat itu, Tomo anak kedua mereka yang masih berusia lima belas tahun itu
ditemukan dalam keadaan mabuk di rumah temannya setelah tidak pulang selama
seminggu. Ia pun juga pernah dihukum karena membawa majalah porno ke sekolah.
Pak Shinichi menganggap itu semua salah istrinya karena tidak memperhatikan
anak keduanya itu. Selalu tersirat di benak Pak Shinichi pada saat istrinya
masih muda dulu yang adalah wanita pencinta kebebasan. Ia menganggap bahwa
sifat bebas istrinya itu tidak berubah.
Akan
tetapi, Pak Shinichi tidak paham mengapa istrinya tidak terlalu memperhatikan
Tomo dan adiknya, Hiro bahkan dirinya. Itu semua karena keadaan anak pertama
mereka, Taka yang sedang sakit. Sudah setahun lamanya ia menderita kanker
paru-paru yang sudah menginjak stadium tiga pada waktu itu. Sebagai ibu, Nyonya
Masako pasti tidak ingin kehilangan anaknya apalagi Taka adalah anak yang
paling mirip dengannya, terutama sifat bebasnya. Selama itu pula, Nyonya Masako
hanya terfokus untuk merawat Taka dan secara naluriah mencari tambahan dana
dengan cara mengajar di sekolah musik untuk pengobatannya -walaupun sebenarnya
Pak Shinichi mampu membiayai itu semua- hingga jarang memperhatikan Tomo dan
Hiro. Sebenarnya sangat mudah memprediksi kondisi mental yang dialami Tomo pada
saat itu hingga ia mampu melakukan hal yang sangat menyimpang. Ia ingin
perhatian ibunya kembali untuknya. Ia iri dengan kakaknya yang setiap saat
selalu didampingi oleh ibunya. Tomo sendiri dulunya sangat manja kepada ibunya,
bahkan selalu mengikuti ibunya kemanapun ia pergi. Namun setelah keadaan
berubah, ibunya seperti tidak lagi memperhatikannya.
Pak
Shinichi yang hanya mengandalkan emosi sesaatnya, dan juga terpengaruh oleh
banyak orang diluar rumah tangganya, ia pun menceraikan Nyonya Masako, istrinya
pada saat musim dingin itu. Ia juga melarang istrinya untuk bertemu dengan
ketiga anaknya bahkan ia sampai menyewa bantuan keamanan supaya istrinya tidak
bisa mendekatinya dan anak-anaknya.
Namun
satu yang dilupakan oleh Pak Shinichi, yaitu anak sulungnya yang sedang sakit.
Sebelumnya, ia memang tidak pernah memperhatikan tiga anaknya karena sibuk
bekerja. Ia tahu kalau Taka sedang sakit, namun ia tidak tahu seberapa parah
penyakit anaknya itu, dan apa yang harus dilakukannya. Hingga pada suatu ketika
ia dihadapkan oleh keadaan dimana sang anak mengatakan bahwa ia ingin mati saja
setelah perceraian itu, dan kenyataan bahwa ia tidak bisa bertemu lagi dengan
ibunya. Taka memutuskan untuk tidak lagi menyentuh obat-obatan dan perawatan
apapun. Keadaan itu pun semakin memburuk setelah adiknya, Tomo terus-menerus
menyalahkannya karena menurutnya, gara-gara sakit yang diderita kakaknya itulah
yang membuat keluarganya terpecah.
***
Pak
Shinichi mengakhiri ceritanya dengan terisak-isak. Suaranya mulai lirih
berjalan bersama penyesalannya sendiri. Memang penyesalan itu selalu datang
belakangan, hanya saja semua orang berhak memilih untuk larut dalam penyesalan
atau justru melupakannya. Bagi Pak Shinichi, penyesalan itu justru membuatnya
larut karena itu melibatkan orang-orang yang dicintainya.
“Dia
bilang kalau dia ingin bernyanyi bersama kalian,” kata Pak Shinichi setelah
menghapus air matanya sendiri. “Namun karena kondisinya yang semakin memburuk,
aku pun memaksanya untuk kembali berobat. Namun seperti biasa, susah sekali. Dia
tidak mau,” kini Pak Shinichi meneguk kopinya, lalu berbicara pada Toru,
“Setelah kau menemukannya mencoba bunuh diri pada waktu itu, aku tidak punya
pilihan lain selain menyerahkannya kembali dalam pengawasan dokter, dan adik
kecilnya juga ikut membantu.”
Toru
yang mendengar cerita Pak Shinichi menundukkan kepalanya, berusaha untuk
menahan air matanya untuk tidak keluar. Namun semakin ia tahan, matanya semakin
perih, dan pada akhirnya butir demi butir air mata pun menetes dari matanya.
Bertahun-tahun mereka bersahabat, namun mereka tidak saling tahu kondisi
masing-masing bahkan pertanda-pertanda aneh yang ditunjukkan satu sama lain pun
tidak pernah mereka pedulikan.
Sementara
itu, Ryota yang terlihat paling kuat setelah mengetahui kondisi sahabatnya itu
mulai angkat bicara.
“Bagaimana
kalau kita mencari Nyonya Masako? Hanya dia yang bisa membuat Taka bahagia.”
“Benar
katamu, Ryota!” Toru pun menyetujui usul Ryota, “Hmm, kenapa tidak dari dulu
paman mencari Nyonya Masako?”
“Alasan
paling memalukan yang sebenarnya nyata, nak. Aku malu,” jawab Pak Shinichi.
“Baiklah
paman, kami bisa membantu!” Toru pun seperti mendapatkan suatu perasaan optimis
luar biasa.
Beberapa
saat kemudian, seorang pemuda bertubuh besar yang berusia sebaya dengan Ryota
pun datang. Ia memasuki rumah tanpa permisi dan diam saja ketika lewat di depan
ayahnya.
“Tomo!
Mana sopan santunmu? Kau tidak menyapa kami, ha?!” Pak Shinichi pun membentak anak keduanya itu, namun yang
terjadi ia malah membuang mukanya. Pemuda itu bergegas menaiki anak tangga
menuju loteng, yang sekarang merupakan kamarnya.
Toru,
Ryota dan Pak Shinichi yang tidak ingin berurusan dengan Tomo langsung beranjak
dan berjalan menuju kamar Taka. Namun setelah sampai di ambang pintu, Taka yang
sedang berada di atas ranjangnya, memalingkan wajahnya ke sisi berlawanan dan
berteriak,
“Berhenti!
Jangan masuk!”
“Ini
ayah dan teman-temanmu,” kata Pak Shinichi pelan.
“Aku
tidak ingin kalian melihatku seperti ini,” suaranya lirih seperti kesulitan
berbicara, lalu Hiro yang saat itu berada disisinya berlari mendekati ayahnya
dan memeluknya.
(To Be Continued)
What's next? Tell me what your prediction is...!
p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!
lanjut pliiisss bagus banget fanficnya
ReplyDeleteUdah update kak. Langsung klik next aja :)
DeleteMakasih udah baca :)