“Oh, I can see now that all of these clouds are
following me in my desperate endeavor.” –Remembering Sunday (All
Time Low)
Sebuah
perbincangan siang bersama dengan secangkir latte
mungkin memanglah menyenangkan. Suasana hangat dan penuh pesona ketika aku
bersama mereka, sahabat-sahabatku. Yoyo dan Dani. Mereka pasangan serasi, yang
kadang membuatku sangat cemburu. Bukan! Bukan karena aku suka dengan Dani atau
apa, tapi karena sampai sekarang aku belum pernah menemukan tambatan hatiku.
Persahabatan
kami sudah berjalan sangat lama, yaitu sejak kami berada di bangku SMP hingga
sekarang, kami duduk di bangku SMA. Persahabatan ini juga menghasilkan suatu
cinta, terutama antara Yoyo dan Dani. Oh, menurutku mereka adalah pasangan yang
sangat serasi.
“Woy
Va!” teriak Dani, memecah lamunanku.
“I-iya...”
“Jangan
suka melamun, Elva! Nggak bagus buat kamu,” kata Yoyo.
“Hehe...
Nggak kok Yoyo! Cuma mikirin sesuatu,” sahutku.
“Hayo
mikirin siapa?” tanya Yoyo dan Dani bersamaan, lalu mereka tertawa.
***
Aku
tidak mengerti mengapa hingga saat ini aku belum menemukan seseorang sebagai
kekasih. Ya, mungkin aku terlalu sibuk dengan urusan sekolah atau keluarga.
Keluarga? Ah! Aku sudah muak dengan itu semua. Mama dan papa yang selalu perang
dingin –meskipun tidak pernah terlihat bertengkar hebat, tapi sudah
meresahkanku- hingga adik perempuanku, Cicil yang selalu dimanja. Ya, namanya
saja cewe yang girly. Pastinya kedua
orang tuaku sangat menyayanginya, dan aku yang tomboy ini hanya bisa mengisap
jempol melihatnya.
Malam
Minggu ini aku sedang tidur-tiduran sambil membaca buku Sejarah, karena pada
hari Senin nanti bakal ada ulangan Sejarah bersama guru paling greget se-jagad
raya. Ah sudahlah! Aku mau belajar, apalagi waktunya juga sudah menghimpitku,
pukul sembilan malam. Hingga akhirnya ponselku berbunyi, memecah konsentrasiku.
Aku pun membukanya, dan suatu pesan pendek menantiku.
From: Yoyo
Va! Tolongin aku sama Dani
sekarang. Kami kecelakaan di daerah deket sekolah dan sekarang Dani nggak
sadarin diri.
Apa? Kecelakaan? Aku pun langsung bergegas
menuju tempat kejadian. Aku sangat panik dan langsung menghampiri mobilku.
Tanpa basa-basi, aku langsung tancap gas.
Daerah dekat sekolah... Dimana? Aku
mulai celingak-celinguk, hingga melihat kerumunan. Aku pun meminggirkan mobilku
dan menghampiri kerumunan itu. Benar saja, aku melihat ada Yoyo yang sedang
berusaha keluar dari mobil Dani yang cukup ringsek di bagian depan. Ia ditolong
beberapa orang. Aku juga melihat Dani yang tergeletak tak sadarkan diri, dan
berlumuran darah.
“Kamu
nggak pa-pa kan, Yo?” tanyaku setelah Yoyo berhasil keluar dari mobil.
Keningnya berdarah, dan ia berjalan pincang karena kakinya terkilir.
“Aku
nggak pa-pa Va,” jawab Yoyo, lalu memelukku, “tapi Dani...” kini aku melihat
matanya berair, ia menangis.
“Nggak
pa-pa, dia pasti baik-baik aja,” kataku, menenangkan Yoyo.
Yoyo
dan Dani pun dibawa ke rumah sakit. Aku tidak menyangka bahwa acara mereka
malam ini harus berakhir dengan seperti itu. Sebagai sahabat, hatiku terasa
sangat kacau. Aku merasa bersalah karena tidak bisa melindungi mereka.
Dokter
mengatakan bahwa Yoyo baik-baik saja, hanya terkilir dan luka ringan di kepala.
Sedangkan Dani terluka parah, tulang rusuknya ada yang retak, namun beruntung
karena tidak menghantam paru-parunya, dan ada syarafnya yang terancam mati.
Namun sayang, dokter belum memastikan syaraf mana yang tidak akan berfungsi
lagi. Hal inilah yang sangat merobek hatiku dan Yoyo sekaligus.
Beberapa
saat kemudian, orang tua Yoyo dan Dani datang. Mereka tampak sangat kacau,
pastinya. Tidak ada orang tua yang mau anaknya kena musibah. Aku hanya bisa
diam, karena kejadian ini terjadi dengan begitu
saja.
***
Pada
akhirnya, Dani koma. Yoyo sangat tidak siap menerima keadaan ini. Ia merasa
sangat bersalah karena telah mengajaknya pergi malam-malam. Ia tidak pernah
berhenti menyalahkan dirinya sendiri, bahkan mengunci diri di kamarnya.
Aku
sangat sedih karena harus melihat dua sahabatku menjadi seperti ini. Aku pun
hanya bisa menjenguk Dani, dan sesekali menemaninya semalaman di rumah sakit.
Yoyo tidak mau menemui siapapun, dan ini sangat buruk. Aku tahu kalau keadaan
Dani sangat memprihatinkan, tapi aku sanagat tidak setuju kalau Yoyo justru memilih
untuk menjauh.
Selama
menunggui Dani, aku merasakan sesuatu yang aneh. Melihatnya tertidur, bagaikan
melihat seorang pangeran yang tertidur. Tunggu! Jangan! Jangan sampai aku jatuh
cinta dengannya! Jangan bodoh, Elva! Dia
sahabatmu. Aku berusaha melupakan rasa itu. Aku tidak boleh menghancurkan
persahabatan ini, apalagi dengan keadaan mereka yang sanagat memprihatinkan
seperti ini.
Setelah
seminggu dalam keadaan koma, akhirnya Dani terbangun. Aku hanya mendengar kabar
itu dari kedua orang tuanya karena aku tidak menungguinya pada saat itu. Aku
sangat bahagia dan langsung mebujuk Yoyo untuk menemuinya. Ya, meskipun sangat
susah untuk membujuk Yoyo, tapi aku berhasil.
Sesampainya
di rumah sakit, aku dan Yoyo mendapat kabar bahwa sesuatu yang sangat buruk
terjadi kepada Dani. Suaranya telah diambil darinya. Aku ingat bahwa dokter
yang menanganinya pernah mengatakan bahwa akan ada salah satu syarafnya yang
mati, dan aku tidak mengira kalau itu syaraf yang berhubungan dengan kemampuan
berbicaranya.
Aku
dan Yoyo masuk ke kamar Dani. Kamar rumah sakit VIP itu terlihat sangat kacau,
dengan pecahan beling dimana-mana. Ia
pasti habis mengamuk. Aku pun melihatnya terdiam, matanya sembab dan wajahnya
sangat pucat. Ketika melihat aku dan Yoyo memasuki kamarnya, ia langsung
memalingkan wajah. Aku tahu ini berat baginya, karena harus kehilangan suaranya
bahkan mungkin untuk selamanya –begitulah kata dokter-. Dengan hati-hati, kami
memasuki kamar itu.
“Dan...
Kamu nggak pa-pa kan?” Yoyo mendekati Dani, dan dibalas dengan anggukan
walaupun ia tetap tidak mau melihat kami.
“Dan...”
Yoyo mulai membelai Dani, “lihat aku!” kini Dani mencampakkan tangan Yoyo yang
mengenai lengannya.
“Dani!”
teriakku. Aku tidak tahan melihat ini, kasar sekali. Mengapa ia harus seperti
itu?
Yoyo
langsung menangis dan pergi. Ia berlari kencang sekali hingga aku tidak bisa
menangkapnya. Ia pasti sangat kecewa dengan sikap Dani tadi. Aku putuskan untuk
kembali ke kamar Dani. Aku mulai menceramahinya soal tata krama. Ya, ia tidak
akan menjawabku, tidak seperti biasanya. Kecerewetannya hilang, digantikan
dengan keheningan yang panjang, apalagi dengan ia tidak mau melihatku sama
sekali.
Yoyo
tidak kembali, ia pulang ke rumahnya. Aku sangat menyesal karena tidak bisa
menyatukan mereka untuk saat ini. Dan kini, suasana masih hening. Aku pun
mengisi keheningan ini dengan membersihkan ruangan ini. Aneh? Aku tidak peduli.
Aku hanya ingin Dani sadar akan keberadaanku.
Beberapa
hari kemudian, Dani sudah diijinkan pulang. Ia pun kembali ke sekolah walaupun
sebenarnya ia tidak mau kembali sekolah. Kedua orang tuanya memaksanya untuk
menjalani kehidupannya seperti semula dan belajar untuk menerima keadaan. Ya,
sejauh ini aku melihat bahwa teman-teman yang lainnya tidak mempermasalahkan
perubahan Dani selain bersimpati, sok mengasihani atau apalah itu.
Namun,
hingga saat ini Yoyo masih tetap menghindar dari Dani bahkan dariku. Ia masih
mengurung diri dan tidak berangkat sekolah. Aku sangat kecewa karena hal ini
terlalu bodoh. Seharusnya ia tidak menjauh karena Dani membutuhkan seorang lagi
sebagai pendukungnya, yaitu kekasihnya sendiri.
Kini
akulah yang selalu ada untuk Dani. Aku mencoba untuk tidak memiliki maksud
apapun selain berperan sebagai sahabatnya. Hari-hariku justru berubah menjadi
sangat melankolis tatkala melihatnya terlihat sangat menderita. Aku tidak tega.
Hatiku terasa bagai tercabik-cabik melihatnya menangis tanpa alasan hingga
melihatnya tidak mau bergabung dengan teman-teman nongkrongnya, walaupun
sesekali ada dari mereka yang mau memperhatikannya.
“Elva,
makasih karena kamu udah mau nungguin aku,” Dani pun menulis di secarik kertas.
Inilah pembicaraan pertamanya kepadaku setelah sekian lama.
“Sama-sama
Dan. Kamu kan sahabatku,” jawabku.
“Tapi
sekarang aku berbeda. Aku nggak pantas buat siapapun. Terutama kamu dan Yoyo,”
tulisnya lagi.
“Enggak
Dan! Kamu itu berharga buat kami berdua. Ya, mungkin Yoyo shock dengan kejadian ini. Tapi aku yakin kalau dia bisa balik lagi
ke kamu.”
“Aku
yang mendepak dia, Va. Aku nggak mau dia punya pacar bisu kayak aku,” kini Dani
kembali menitikkan air mata setelah menuliskan kalimatnya.
Aku
pun memeluknya. Aku tidak peduli kalau itu terjadi di kelas. Tidak peduli kalau
rasa itu kembali. Kami bersahabat dan tidak ada alasan lain selain itu. Aku
harap kami berpelukan bertiga, aku, Dani dan Yoyo. Aku merindukan semua itu.
Aku harap suatu keajaiban datang untuk Dani sehingga ia bisa berbicara lagi dan
Yoyo kembali dari keterpurukannya. Apakah itu hanya suatu mimpi?
Menurutku,
Yoyo masih mencintai Dani. Ia tidak akan peduli akan keadaan Dani yang seperti
ini. Akan tetapi, perlakuan Dani beberapa waktu yang lalu sangat tidak bisa
diterima Yoyo. Itu menambah keterpurukannya setelah rasa bersalah bahwa ia
telah mengajak Dani pergi di malam Minggu itu. Aku tidak mau hal ini juga
menghancurkan persahabatan kami.
***
Sudah
sebulan berjalan setelah kecelakaan itu, dan Yoyo tetap mengurung diri di
kamarnya. Mungkin kedua orang tuanya masih bisa menemuinya, namun aku tidak
bisa. Ia selalu menolak kehadiran orang lain selain mama dan papanya, bahkan
kakaknya sendiri tidak diperbolehkan untuk menemuinya.
Hingga
aku memiliki keberanian untuk masuk ke kamar Yoyo. Aku memaksa. Aku tidak
peduli apapun yang akan menimpaku. Yang kupikirkan hanyalah sebuah persahabatan
yang harus diselamatkan. Aku masuk, benar-benar masuk. Aku memeluk Yoyo, dan
dia hanya diam. Aku merindukannya, namun ia hanya diam.
“Yo,
kamu kok diem aja sih?” tanyaku.
Yoyo
pun mengambil selembar kertas dan menulis sebuah kalimat untukku, “Aku mau diem
aja biar sama kayak Dani.” Aku tidak percaya kalau itu yang ia katakan. Rasa
bersalahnya terlihat sangat berlebihan.
“Kamu
nggak bisa gitu, Yo!”
“Aku
nggak mau Dani merasa aneh sendirian,” tulisnya lagi.
“Dia
nggak merasa aneh kok,” jawabku.
“BOHONG!”
Tulisnya lagi, lalu ia membuang muka.
Oh,
jadi ini? Yoyo berpikir dengan diam dan membisu akan mengurangi rasa bersalahnya
kepada Dani. Tapi cara ini sejatinya gagal. Yang ada hanyalah, ia telah
menyia-nyiakan hidupnya. Ini sungguh konyol.
“Dia
bilang kalau dia nggak pantes buat aku, makannya aku bikin dia pantes buat
aku.” Tiba-tiba ia mengirimiku pesan dalam chatting
Line setelah kami terdiam selama satu jam.
Aku
terpaku. Mereka sangat sulit untuk kembali. Kini aku merasa bahwa usahaku akan
sia-sia. Aku muak. Aku berteriak.
“Bukan
gitu Yo! Caranya nggak kayak gitu! Kalau kamu sama Dani saling aneh kayak gini,
nggak ada harapan lagi buat hubungan kalian bahkan kita!”
Aku
menyerah dan memutuskan untuk pergi. Aku muak dengan keadaan ini. Rasa-rasanya
tidak mungkin bagi kami untuk kembali bersatu. Dan kini giliranku untuk, ehm,
menangis.
***
From: Yoyo
Va, aku rela kamu sama Dani. Kalau
kamu cinta sama dia, kamu bisa ambil dia buat kamu. Aku nggak pantes buat dia.
To: Yoyo
Nggak! Kamu kenapa sih?
Sesaat
setelah pesan singkat itu dikirim, aku langsung pergi menghampiri Dani.
Sekarang hari Minggu, dan kejadian apapun bisa terjadi di hari ini. Aku
membujuknya untuk ke rumah Yoyo. Firasatku mengatakan bahwa sesuatu yang sangat
buruk akan menimpa Yoyo atau akan dilakukannya sendiri.
Aku
dan Dani bergegas menuju rumah Yoyo. Akan tetapi, kami tidak menemukannya di
kamar, bahkan rumah. Hingga akhirnya aku teringat tempat favoritnya, danau.
Danau itu letaknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Akhirnya aku mengajak Dani
kesana, dan benar saja kalau Yoyo akan melakukan sesuatu yang paling konyol
bagiku, bunuh diri.
“Yoyo!”
Teriakku.
Yoyo
hanya menyuruhku mundur dengan bahasa isyarat, ia masih membisu. Dan kini raut
mukanya seperti terancam ketika melihat Dani. Ia semakin mendekati Danau dengan
berjalan mundur perlahan. Semakin aku atau Dani mendekat, semakin cepat Yoyo
mundur meuju dermaga danau yang
posisinya cukup tinggi dari permukaan danau, dan jika terjatuh dari situ aku
yakin bahwa ia tidak akan selamat, mengingat danau itu juga sangat dalam
meskipun di pinggirnya.
Semakin
dekat, dekat, dekat ujung dermaga, menuju kematiannya. Yoyo terus nekat hingga
pada akhirnya sesuatu terjadi.
“Yoyo
berhenti!” Sebuah teriakan. Suara yang kurindukan selama ini.
Iya,
itu suara Dani. Ia berlari secepat kilat menuju dermaga, menghampiri Yoyo. Ia
berhasil menghentikan tindakan konyol Yoyo. Ia pun memeluk kekasihnya itu.
Aku
terharu melihat kejadian ini. Perasaanku bercampur-campur, tapi kuputuskan
untuk bahagia. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain bersatu kembali dengan
para sahabatku. Aku pun menghampiri mereka berdua dan ikut berpelukan.
Berpelukan bertiga. Akhirnya ini terjadi lagi.
***
Setelah
kejadian di danau itu, suara Dani perlahan kembali. Kini ia melakukan terapi
untuk mengembalikan suaranya lagi supaya ia bisa berbicara seutuhnya. Yoyo pun
tidak lagi membisu, dan ia kembali ceria seperti dulu. Aku bahagia karena semua
kemalangan ini berakhir. Yang lebih membahagiakanku adalah dimana kami bisa
kembali bersama. Dimana tidak ada lagi hari-hari melankolis bodoh yang harus
aku lalui. Inilah cinta, tidak bisa membuat kita terpisah, tidak bisa
diperkirakan bagaimana seharusnya. Bagaimana merpati akan kembali lagi setelah
terbang jauh, dimana bumerang yang dilempar jauh sanggup kita genggam lagi.
(THE END)
Comments
Post a Comment
Feel free to give me your opinion :D