
UNTITLED
“You need to get lost before you get found.” –Lost and Found (A Rocket To The Moon)
“Bang!
Lo harus janji sama gue. Jangan pernah sakiti cewe, siapapun itu!”
“Yo’i!
Gue janji nggak akan sakitin cewe manapun. Nggak bakal bikin dia sedih kecewa,
sakit...”
“Dan
lesbian!”
“Oke
oke! Dasar adek bawel!”
***
ESTHER
Pagi
ini aku terbangun dengan mata sembab, muka lusuh dan make-up luntur. Ya,
semalaman tadi aku menangis hingga tertidur. Mungkin aneh kalau sekarang aku
merasa cukup baik apalagi setelah kejadian semalam.
Pesta
ulang tahun Nindy. Aku ingat sekali betapa sakitnya hatiku ketika ia
mengumumkan kekasih barunya. Gadis kaya itu mungkin bisa memacari seluruh cowo
yang dia mau bahkan Edo, pacarku sendiri. Iya benar, Edo yang telah
diumumkannya sebagai kekasih barunya yang “katanya” paling spesial diusianya
yang ke tujuh belas. Dasar orang nggak punya hati!
Aku
pun mulai mengaktifkan kembali ponselku yang kumatikan semalaman, dan disitu
terlihat ada lima puluh pesan singkat serta dua puluh panggilan tak terjawab
dari sahabatku, Lisa. Astaga! Aku lupa berpamitan dengannya saat pulang dari
pesta itu. Dia pasti bingung sekali. Ah, aku tidak peduli! Dia kan adkinya Edo.
Pasti diam-diam dia sudah merestui hubungan “backstreet” Edo dengan Nindy.
Tiba-tiba
ponselku berbunyi dan disitu hanya tertulis nomor tak dikenal, dan aku pun
sukses mengabaikannya. Aku tidak mau berbicara dengan siapapun hari ini. Aku
sedih. Aku marah. Aku kecewa. Hanya itu yang menyelimuti seluruh hatiku. Aku
pun kembali menangis –walau aku sempat merasa baikan- dan membenamkan wajahku
ke dalam bantal yang menurutku paling empuk sedunia.
Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu
kamarku, aku pun terdiam dan tidak peduli.
“Esther!
Buka pintunya sayang!” ternyata mamaku. Tapi aku tidak mempedulikannya dan
terus menangis.
“Sayang,
bangun dong. Ini udah siang lho!” mama pun masuk ke dalam kamar tanpa seijinku.
Akan tetapi, aku tidak membalikkan tubuhku yang tengkurap di atas termpat tidur.
Aku tidak ingin mama melihatku menangis karena biasanya aku selalu ceria
dihadapannya.
“Hmm...
Hari Minggu, Ma.” Sahutku pelan tanpa gairah.
“Ayo
bangun!” mama pun mulai menyentuh kepalaku dan membelai rambutku. Rasanya lebih
baik kalau aku menahan rasa sedih ini untuk sementara demi mama.
“I-iya
ma. Aku mandi dulu ya,” kataku tanpa memandang wajah mamaku. Aku pun langsung
bergegas pergi ke kamar mandi dan mencoba melunturkan kesedihan ini. Mungkin
air bisa jadi sahabatku kali ini.
EDO
Menyesal,
malu dan bingung. Pesta semalam benar-benar kacau bagiku. Aku tahu kalau aku
juga mencintai Nindy meskipun aku juga mencintai Esther. Hubunganku dengan Nindy
sudah berjalan cukup lama, tapi kami sudah sepakat untuk menutupinya
rapat-rapat. Apa boleh buat kalau akhirnya Nindy sendiri yang membongkar semua
ini. Aku tahu semalam dia tidak sadar. Dia mabuk. Aku pun juga mabuk. Aku lupa
kalau ada Esther disana bahkan adikku sendiri, Lisa yang merupakan sahabatnya.
Sekarang
Lisa resmi membenciku. Aku lupa akan segala janjiku kepadanya untuk tidak
menyakiti hati perempuan, siapapun itu. Aku pun mulai merasa kesakitan karena
semalam ia menghantamku dengan kepalan tangannya. Ya, meskipun dia adik
perempuanku, tetap saja emosinya tinggi ketika aku melanggar janji.
Aku
bingung bukan main, bahkan tidak ada seorang pun yang peduli denganku. Aku
mulai memperhatikan ponselku dan tidak ada telepon, chat bahkan pesan singkat dari siapapun. Aku mulai merasa bersalah
dan berdosa. Kenapa aku harus mabuk? Kenapa aku sebodoh itu?
LISA
Nggak
boleh! Bang Edo nggak boleh jahat sama Esther! Dia sudah berjanji kepadaku. Aku
tidak mau kejadian semalam mengingatkanku kepada masa itu. Persis. Pengkhianatan
itu, kesedihan itu dan kesakitan itu. Jangan sampai itu semua terjadi pada
Esther. Dia sahabatku, dan satu-satunya yang mau menerimaku dengan keadaanku
yang seperti ini. Apalagi jika tiba-tiba dia menjauhiku. Tidak akan aku
biarkan!
Aku
mencoba menghubungi Esther, namun tidak ada jawaban. Mungkin nomor ponselku
yang satu ini asing karena aku menggunakan nomor cadangan. Semalaman tadi, aku
mati-matian menghubunginya dengan nomor biasanya, tapi dia tidak menjawab
hingga aku tidak punya pulsa lagi untuk menghubunginya.
Aku
pun bergegas menuju rumah Esther tanpa mempedulikan Bang Edo. Biarin saja! Biar
dia merenung saja. Dia sudah sangat bodoh dan mabuk waktu itu. Apapun itu, aku
nggak akan biarin Esther sakit hati. Aku sangat... ah sudahlah.
ESTHER
Astaga!
Lisa datang. Ngapain coba dia kesini? Apa dia belum puas menyakiti hatiku
dengan membiarkan abangnya yang tercinta itu mencurangiku? Ya, aku tahu selama
ini dia marah kepadaku akan suatu hal. Dia pernah mengungkapkan hal itu secara
blak-blakan ketika aku kembali lagi dengan Edo setelah kami memutuskan untuk
berpisah beberapa bulan lalu.
Waktu itu aku dan Edo bertengkar hebat
karena ia mabuk berat hingga akhrinya kami memutuskan untuk berpisah. Selama
itulah, Lisa selalu ada buat aku. Aku tahu itu karena dia adalah sahabatku.
Kami bersahabat sejak masuk SMA, lalu ia mengenalkanku dengan kakak
laki-lakinya dan seterusnya.
Lama-lama aku merasakan
sesuatu yang aneh dari perhatian Lisa. Itu bukan perhatian yang biasa,
melainkan sangat luar biasa. Bahkan dia bisa 24/7 ada buatku, entah lewat media
apapun. Aku merasa tidak enak dengannya, namun dia selalu mengatakan semua ini
karena ia menyayangiku. Aku sahabatnya.
Hingga pada saat Edo
kembali padaku dengan segala janjinya. Entah mengapa, Lisa marah dan tidak mau
berbicara lagi denganku bahkan kakaknya, Edo. Ia memutuskan untuk mengurung
diri di kamarnya tanpa meninggalkan jejak apapun. Aku tidak tahu apa yang
dilakukannya disana. Hanya saja, sesuatu yang dilakukannya itu pasti buruk. Aku
bisa merasakannya.
“Esther!”
aku mendengar suara mama, ia memanggilku.
“I-iya
Ma,” aku yang sedang berada di dalam kamar itu hanya bisa menjawab iya.
“Ini
lho, Lisa datang!”
Sebenarnya
aku tidak ingin menemuinya, tapi apa boleh buat kalau mama sudah mengatakan aku
sedang berada di rumah. Aku tidak bisa mengelak.
LISA
Aku
duduk di ruang tamu rumah Esther, menunggunya. Sudah lebih dari setengah jam
aku duduk disini, dan tiba-tiba ingatan burukku muncul begitu saja. Ingatan
yang sudah hampa namun tetap menjadi cerita di hidupku.
Aku sedang berada di pesta. Pesta yang
sungguh menakjubkan dengan konser band metal dalam acaranya. Seharusnya aku
berada disana dengan Bang Edo, tapi entah mengapa dia menghilang. Aku hanya
ikut melompat-lompat dan larut dalam kerumunan hingga aku mengenal seseorang.
Seseorang. Aku
memutuskan untuk melupakan namanya untuk selamanya. Semua tentangnya adalah
kebodohanku. Aku malu untuk menceritakan “seseorang”, tapi inilah dia, yang
pernah aku cintai. Dimana aku benar-benar memberikan segala milikku padanya.
Ya, segalanya kepada pemuda itu kalau mau tahu. Aku kehilangan emasku yang
paling berharga itu pun hanya untuknya, berharap ia tidak akan meninggalkanku.
Setelah sekian lama, aku
tersadar akan kebodohanku. Seseorang itu telah membuatku kecewa. Ia meninggalkanku.
Ia berkhianat. Ia mencampakkanku. Yang paling buruk adalah, ia mempermainkanku.
Aku dijadikan bahan taruhan. Ia hanya ingin kemurnianku untuk kenikmatannya.
Ya, aku sudah ternoda olehnya.
Aku terpuruk selama
berbulan-bulan. Aku menyendiri, diam, dan memilih untuk tidak mengenal siapapun
untuk merahasiakan keadaanku yang seperti ini hingga pada akhirnya aku kalah.
Aku mengenal Esther. Ia telah membebaskanku dari keterpurukan ini, dan
membuatku memulai kehidupan baru. Aku pun mulai bahagia dan jatuh cinta
kepadanya.
Hal ini buruk. Aku cinta
Esther. Bukan lagi menyayanginya sebagai sahabat, tapi lebih. Aku tahu ini
gila, tapi aku benar-benar jatuh cinta padanya. Mungkin sebelumnya aku juga
sudah pernah jatuh cinta dengan seorang gadis, tapi hanya Esther yang terbaik
bagiku meskipun ia adalah pacar abangku. Tapi aku tidak akan memaksanya. Aku
pernah berkata kepada Bang Edo, agar tidak menyakiti perempuan bahkan
membuatnya menjadi lesbian. Kalau perempuan itu adalah Esther, itu berarti aku
pun tidak boleh membuatnya menjadi lesbian.
Beberapa
saat kemudian, Esther datang. Matanya sembab, pasti ia menangis semalaman. Ia
hanya mengenakan kaos pink polos dan celana pendek, rambutnya terlihat sedikit acak-acakan.
Dia terlihat buruk sekali.
“Lo
nggak pa-pa kan, Ther?” tanyaku.
“Eng-enggak.
Lo sendiri? Lo pasti seneng dong,” jawaban Esther kali ini membuat mataku
terbelalak. Ia pasti berpikir kalau aku yang membuat semua kejadian malam itu
terjadi.
ESTHER
Aku
mulai menyinggung Lisa. Mungkin ia tersadar akan suatu hal. Ya, aku tahu kalau
dia pernah menyatakan cintanya kepadaku. Aku pernah menolaknya. Itu mungkin
membuatnya dendam terhadapku. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa menjadi sama
sepertinya. Aku tahu masa lalunya kelam. Aku tahu seseorang telah mengkhianatinya
sedemikian rupa. Aku tahu. Aku tahu.
“Ther!
Gue memang pernah bilang cinta ke elo. Tapi asal lo tahu! Gue sudah memikirkan
segalanya,” dia mulai menatapku serius, “lo bisa marah sama Bang Edo, tapi
jangan marah sama gue karena gue juga marah sama dia. Dia pernah janji ke gue
buat nggak nyakitin cewe. Tapi apa? Dia ngelanggar janjinya.”
“Ya
emang. Tapi kan...” jawabku, terputus.
“Sssttt!”
dia menginterupsi kata-kataku dan meletakkan jari telunjuknya di bibirku,
“nggak Ther. Gue nggak dendam sama lo. Bagaimanapun juga, cuma elo yang bisa
jadi sahabat terbaik gue. Gue juga bosen kok sama kehidupan absrud ini. Obsesi
terhadap sesama cewe, dendam sama cowo, luka masa lalu. Ah! Gue udah nggak mau
semua itu bikin hidup gue tambah kacau.”
“Terus
apa mau lo?”
“Cuma
ini,” dia mulai memegang pipiku dan menghapus air mataku yang tanpa terasa
turun begitu saja, “jangan nangis! Lo nggak pantes nangis. Lo nggak boleh
sedih!” Tiba-tiba ia mencium keningku. Sedikit menjijikan ketika aku mengingat
saat ia menyatakan cintanya waktu itu. Tapi ciuman ini hanya kuanggap sebagai
ciuman persahabatan.
Bebarapa
saat kemudian, aku mendengar bel rumahku berbunyi. Aku hanya terdiam.
Sepertinya aku tahu siapa itu.
“Itu
pasti Bang Edo. Lo disini aja! Biar gue usir dia kalo lo mau,” kata Lisa sambil
melihat ke layar ponsel yang sedang digenggamnya. “Udah gue bilang, jangan
kesini. Dasar abang ngeyel.” Gumamnya sambil beranjak dari tempat duduknya. Aku
pun mencegahnya.
“Udahlah
Lis! Biarin dia masuk,” kataku. Sepertinya aku menyerah.
“Okay.”
Edo
pun masuk ke rumahku. Ia menginjakkan kakinya yang sudah ternoda itu di
rumahku. Oke, aku harus memaafkannya. Mungkin memberinya kesempatan atau apapun
itu.
Selama
beberapa menit, ruangan ini terasa sunyi. Tidak ada yang berbicara. Suasana
menjadi sangat canggung dan menyebalkan. Lisa yang duduk di tengah, antara aku
dan Edo pun hanya celingak-celinguk bingung.
“Jadi,
lo udah insyaf?” Ia mulai bertanya
kepada Edo dan hanya dijawab dengan anggukan kepala.
“Oke.
Gue akan tinggalin kalian berdua. Setuju?” sekarang dia bertanya kepadaku dan
Edo.
“Lo
disini aja Lis!” aku mencegahnya.
Setelah
sekian lama, akhirnya Edo angkat bicara.
“Ther...
A-aku minta maaf ya. Soal kemarin itu...”
“Aku
maafin kamu kok.”
“Makasih
ya.”
“Tapi
kita nggak bisa balikan lagi.”
“Aku
tahu, kamu capek sama aku. Aku minta maaf.”
“Kita
sahabatan aja.”
Edo
pun mengangguk. Ini keputusan yang terbaik. Aku nggak mau terpuruk. Kalaupun ia
adalah jodohku, pasti suatu saat nanti ia kembali kepadaku. Aku juga tahu
walaupun semalam ia dan Nindy sedang mabuk, pengumuman itu tidak hanya akan dijadikan
suatu isapan jempol bagi semua orang yang ada dalam pesta itu. Aku tidak mau
dia malu. Bagaimanapun juga, dia adalah kakak laki-laki sahabatku.
“Sip!
Jadi sekarang kita sahabatan!” Lisa pun berteriak senang dan merangkul kami
berdua. Tiga sahabat? Yah, mungkin inilah yang terbaik. Aku pun tersenyum lega.
(THE END)
Klik disini untuk membaca pengantar.
Comments
Post a Comment
Feel free to give me your opinion :D