THE PHOTOGRAPH
“Sometimes you gotta fall before you
fly” –Who Are You Now? (Sleeping With Sirens)
Stalking...
Stalking... Stalking...
Akhir-akhir
ini aku tidak pernah lepas dari sebuah blog tulis-menulis milik seseorang. Ya,
mungkin cerita-cerita di blog ini agak sulit dimengerti bagi pemuda jomblo yang
tidak punya tujuan hidup setelah lulus dari sebuah sekolah seni macam aku ini. Tapi,
setidaknya aku bisa tenggelam dalam suatu dimensi imajinasi yang indah.
Setelah
beberapa saat aku merasa sedikit bosan, dan tiba-tiba aku memalingkan
perhatianku kepada kamera DSLR milikku. Hari ini aku tidak menemukan inspirasi
apapun untuk menangkap sebuah gambar, apalagi setelah semua gambar jepretanku ditolak oleh majalah sialan itu. Aku tidak mau
membahas bagaimana foto-fotoku kembali dalam keadaan utuh setelah susah payah
kukirimkan untuk sebuah event dalam majalah
itu. Aku juga tidak mau membahas bagamana orang tuaku marah besar kepadaku.
Aku
kembali fokus ke blog tulis-menulis itu, dan sekarang aku mulai penasaran
tentang siapa penulis cerita dalam blog itu. Siapapun itu, pasti ia sangat tertutup
dan misterius. Aku mulai melihat detail profilnya, tidak ada catatan apapun.
Pembaca dalam blog ini pastinya sangat sedikit karena tidak ada komentar apapun
untuk cerita-cerita dalam blog ini bahkan blog ini tidak memiliki follower. Ah, jika aku tahu siapa
penulis cerita-cerita dalam blog ini, pasti aku akan mengajaknya bekerjasama
untuk sebuah film. Eits! Sebuah film? Mimpi.
Foto-foto
itu...
Tiba-tiba
terpikir olehku untuk membuat sebuah blog fotografi. Mungkin akan ada yang
melihat hasil jepretanku itu. Tapi
kalau aku harus berakhir dengan nol
viewer? Ah, apa salahnya kalau mau mencoba? Aku pernah mendengar kesuksesan
para fotografer yang mengupload foto
mereka ke blog fotografi yang mereka buat.
Setelah
membuat blog fotografi itu, aku mengupload
semua foto yang menurutku menarik. Aku pun juga memfollow blog tulis-menulis favoritku itu supaya bisa mendapatkan
informasi yang jelas tentang penulis misterius yang akhir-akhir ini
menghantuiku dengan tulisan-tulisan indahnya dalam blog itu.
***
Keesokan
harinya, aku menemukan sebuah komentar di bawah foto dalam blog fotografiku.
Komentar itu terletak persis di sebuah foto gadis yang sedang duduk sambil membaca
buku di bangku taman kampus. Aku ingat sekali, waktu itu aku sedang iseng
mengambil gambar gadis itu. Aku pikir menarik ketika melihat seorang gadis yang
sedang membaca buku dengan ekspresi tersenyum.
“Ngapain
lo foto gue? Diupload lagi o_O” komentar akun itu.
Tunggu!
iamnotagoodwriter.com? Blog itu yang mengirimkan komentar? Itu kan blog
tulis-menulis favoritku? Wah, pucuk dicinta ulam pun tiba.
“Itu
foto elo? Anak Liberty Art College ya?” jawabku.
Beberapa
menit kemudian, blog itu menjawab, “Iya. Lo juga? Samaan dong? Foto lo
keren-keren juga.”
“Makasih
banget. Btw, nama lo siapa?” nah, kini aku mulai bertanya.
“Ehm.
Nggak perlu tahu. Tapi makasih udah mau follow.” Jawabnya, beberapa detik
kemudian.
Nggak
perlu tahu? Astaga! Dia benar-benar tidak berpikir kalau aku punya fotonya,
berarti aku akan lebih mudah untuk mencarinya.
“Oke,
sip,” jawabku kemudian.
Aku
mulai mencari tahu tentang si gadis dalam foto yang tidak sengaja aku pajang
dalam blog baruku itu. Dia mahasiswa jurusan sastra dan baru lulus sepertiku,
begitulah kata teman-temanku. Pasti menarik sekali kalau aku tahu siapa gadis
yang selalu menuliskan kisah-kisah fiksi yang gila itu. Mungkin aku bisa
mewujudkan impianku untuk membuat sebuah film. Film lagi, film lagi.
***
“Apapun itu, aku bukanlah suatu koleksi alam semesta yang ditata rapi
dalam konstelasinya.”
Tiba-tiba
aku mengingat kutipan dalam cerita pendek dalam blog iamnotagoodwriter.com
itu. Sepertinya itu benar karena aku bebas, aku hidup dalam aturanku. Mari kita
mainkan aturan ini.
Amelia,
teman-temannya biasa memanggilnya dengan nama Yamal. Selama ini cerita
pendeknya sudah membuatku tenggelam, dan dia harus membereskan ini semua. Salah
satu cerita kesukaanku adalah, Jatuh
Tenggelam. Iya, benar. Salah satu kutipan favoritku ada disana. Cerita itu
mengisahkan seorang gadis yang tidak tahu harus berbuat apa dengan cinta
pertamanya yang membuatnya hancur berkeping-keping hingga tidak fokus dalam
urusan sekolahnya. Kelulusannya tertunda, lalu ia bangkit dan membuat aturan
hidupnya sendiri.
Rumah
Yamal sendiri ternyata tidak terlalu jauh dari rumahku, dan aku pun langsung
pergi kesana. Bodoh? Tidak! Aku hanya ingin mewujudkan sebuah film impianku.
Ehm, film lagi?
Aku
sampai di depan rumah Yamal, dan sudah pukul empat sore sekarang. Rumah yang
tidak terlalu kecil, namun terlihat nyaman itu sangat sepi hingga aku mendengar
sesuatu yang sangat menggangguku.
“Kamu
itu sudah lulus kuliah! Cari kerja sana!”
“Aku
udah berusaha, Pa!”
“Udahlah,
Pa. Jangan marahin dia!”
“Sudah
papa bilang kalau jurusan sastra itu nggak berguna!”
Tiba-tiba
aku ingat kalau hal semacam itu juga menimpaku. Seni? Sebuah pilihan hidup yang
paling sulit namun paling aku cintai. Yah, orang tuaku juga tidak begitu bangga
kepadaku. Aku hanya lulusan fotografi dan selalu gagal dalam menghasilkan uang.
Ternyata kehidupan Yamal tidak jauh berbeda dari kehidupanku.
Aku
pun menekan tombol bel yang ada di dekat pagar rumah Yamal. Beberapa saat
kemudian seseorang datang membukakan pagarnya. Tidak salah lagi, seseorang itu
adalah Yamal. Wajahnya murung, tidak ramah dan sepertinya ia sedang memendam
suatu rasa sebal bahkan marah.
“Mau
cari siapa?” tanyanya ketus.
“Amelia,
ehm Yamal,” jawabku dengan sedikit canggung.
“Oh.
Gue Yamal. Siapa lo?”
“Ar...”
aku pun mengajaknya berjabat tangan, “Ardian.”
“Bentar
deh! Gue nggak kenal sama lo,” dia tidak menjabat tanganku.
“Gue
yang pasang foto lo di blog.”
“Hah?”
dia tampak sangat bingung.
“Boleh
ngobrol sebentar?”
“Sorry,
gue nggak bisa,”
“Please! Gue ngefans sama lo!”
“Ngefans? Apa? Nggak salah denger?”
“Iya.
Elo nggak salah denger.”
Akhirnya
aku diperbolehkan masuk ke dalam rumah Yamal, meskipun hanya sampai terasnya
saja. Ia tidak mau kedua orang tuanya banyak tanya akan kehadiranku di rumah
itu. Aku pun menceritakan bagaimana aku bisa menemukan blognya dan sangat suka
dengan cerita-ceritanya. Aku juga bercerita bahwa hidupku ini juga sangat kacau
setelah lulus kuliah, dan sebagainya. Sepertinya dia mau-mau saja mendengarkan
ceritaku hingga pada saat aku mengatakan bahwa aku ingin membuat film yang
diambil dari salah satu cerita pendeknya.
Yamal
yang tadinya terlihat fokus itu pun malah tertawa terbahak-bahak. Ia tidak
yakin jika ceritanya bisa di-filmkan olehku. Sabar. Aku harus sabar. Memang aku
juga belum yakin akan kemungkinan bisa membuat sebuah film yang sepertinya sangat
jauh.
***
Seminggu
kemudian, aku terkejut setelah membuka blog fotografi milikku yang menunjukkan
jumlah follower yang luar biasa
banyak. Lima ratus? Serius? Apa-apaan ini? Viewernya
sudah mencapai sepuluh ribu, bahkan hampir setiap foto yang kupasang disitu
mendapat respon.
Beberapa
menit kemudian, aku menerima sebuah e-mail.
Jarang sekali aku bisa mendapatkan sebuah e-mail,
terutama dari seseorang.
From:
ivanthedirector@mail.com
To: ardianandphotograph@mail.com
Subject:
Film
Sorry,
gue nggak pake basa basi dengan kata-kata selamat pagi, siang, sore, malam
bahkan makan. Ehm, sebelumnya gue perkenalkan diri dulu. Nama gue Ivan, lulusan
sinematografi Liberty Art College (sama kayak elo, cuma bedanya, elo anak
fotografi). Gue ngefans berat sama
foto-foto yang lo post di blog lo yang namanya notsopictureperfect.com
(yang sama sekali nggak gue setujui namanya). Ehm, jujur aja foto-foto lo keren
abis.
Langsung
ke inti masalahnya aja. Begini. Gue sebagai lulusan sinematografi pastinya
pengen mengaktualisasikan kemampuan gue. Jadi, gue mau buat sebuah film pendek.
Gue butuh tim alias kru. Gue lihat penguasaan lo terhadap kamera bagus banget
sehingga gue mau ngajakin elo jadi seorang kameramen.
Masalah
filmnya tentang apa, bisa kita bahas besok. Kalo lo tertarik, bales e-mail ini
secepet mungkin. Maksimal pukul lima sore hari ini. Ehm, Cuma dengan “Ya.”
Ivan.
Aku
pun melihat jam, sekarang sudah pukul setengah lima sore. Aku pun berpikir
cepat tentang semua ini. Aku ingin membuat sebuah film, aku butuh bantuan, dan
tentunya aku butuh seorang profesional untuk mewujudkannya. Ya, tekadku sudah
bulat, dan aku membalas e-mail itu
dengan kata “Ya”, dan beberapa saat kemudian Ivan membalas e-mail itu dan memintaku menemuinya di sebuah coffee shop dekat kampus, besok, pukul sepuluh pagi.
Keesokan
harinya, aku langsung menemui Ivan di tempat yang sudah dijanjikan. Tunggu! Aku
tidak tahu siapa Ivan itu? Wajahnya pun aku tidak tahu. Astaga, aku seperti
datang di sebuah kencan buta. Tapi, coffee
shop itu sepi dan hanya ada satu pengunjung. Seorang pemuda kurus dan
tinggi, kulitnya gelap dan ia sedang menyulut rokoknya. Pemuda itu duduk di
dekat jendela, ia mengenakan kemeja biru tua polos dan sepertinya menunggu
seseorang. Jangan-jangan itu Ivan? Mungkin.
Aku
pun menghampiri pemuda itu, dan memberanikan diri untuk bertanya, “Permisi.
Apakah Anda yang bernama Ivan?” Astaga, mengapa kosa kataku bisa se-sopan ini?
Ah, aku tidak peduli.
“Oh,
bener. Lo Ardian, bukan?” Thanks God,
aku tidak salah. Pemuda itu memang benar-benar Ivan yang mengirimiku e-mail kemarin.
“Iya.”
“Silahkan
duduk!”
Ivan
pun memulai pembicaraannya tentang film pendek yang direncanakannya kemarin.
Sebenarnya film itu akan digunakannya untuk bergabung di sebuah rumah produksi
terbaik di Indonesia. Kedengarannya agak menyebalkan karena film itu akan
digunakannya sebagai project pribadi, tapi ia menyangkal pendapatku tentang
itu. Ia berkata bawa siapapun kru yang tergabung di dalam film itu akan ikut
bergabung dalam rumah produksi tersebut.
Inikah
kesempatan emas? Atau hanya keberuntungan pemula? Masa bodoh! Yang aku pikirkan
hanyalah bahwa aku akan mewujudkan sebuah film.
Setelah
berdiskusi tentang segala macam cerita yang akan kami buat, kini aku mulai
menyarankan “Jatuh Tenggelam,” sebuah cerita pendek yang paling melekat dalam
hidupku, dan aku menyarankan Yamal sebagai penulis naskahnya. Jika ia nantinya
juga bisa bergabung dalam rumah produksi itu, mungkin orang tuanya tidak lagi
memojokkannya, dan ceritanya yang indah itu bisa dilihat banyak orang.
Aku
meminta Yamal datang ke coffee shop
ini, dan ia setuju. Beberapa menit kemudian, ia datang menghampiriku dan Ivan.
Kami bergabung menjadi sebuah kru kecil sekarang. “Jatuh Tenggelam” akan
difilmkan, dan pemainnya adalah Yamal sendiri. Cerita ini akan menceritakan
bagaimana ia menghadapi kegagalan, terutama masalah cinta pertamanya.
***
Syuting...
Mungkin
syuting kali ini masih terasa seperti main-main, karena kami hanya menggunakan
peralatan seadanya. Jumlah kru yang hanya tiga orang itu sepertinya memang
menyebalkan. Tapi, cerita satu sisi yang dibawakan Yamal lebih memudahkan bagi
kami, apalagi dialog yang sangat sedikit membuat kami tidak begitu kesusahan
dalam masalah audio.
Tiba
saatnya mengekspos sebuah kegagalan yang sering dialami anak muda, yaitu kegagalan
cinta. Kini aku atau Ivan harus ikut masuk dalam frame sebagai seorang yang dicintai Yamal. Oke, hanya akting, akan
tetapi kisah ini pernah dialaminya secara nyata sehingga akan mengakibatkan
sebuah efek nostalgia yang luar biasa bagi Yamal. Untuk yang satu ini aku tidak
bersedia, lebih baik Ivan saja yang berperan menjadi kekasih Yamal. Ivan pun
ikut menolak, sehingga muncul percekcokan diantara kami bertiga. Terpikir
olehku untuk mencari seorang pemain tambahan, tapi Ivan menolak karena syarat
dari produser rumah produksi itu yang ternyata membatasi jumlah kru, yaitu
maksimal tiga orang.
“Cukup!”
Yamal mulai mengambil alih, “kalau nggak ada satupun dari kalian yang mau main,
mending kita hapus adegan itu.”
“Tapi
Yam, adegan itu bumbu cerita kita,” tepis Ivan, “apalagi cerita ini kan tentang
cinta pertama.”
Aku
yang mendengar itu hanya mengangguk setuju.
“Ya
kalo lo anggap itu bumbu, kenapa lo nggak mau main?”
“Gue
nggak mau kalo lo ineget masa lalu lo yang macem itu.”
“Come
on! Gue udah move on kalik!”
Setelah
mempertimbangkan sungguh-sungguh, akhirnya Ivan mau berperan menjadi kekasih
Yamal dalam cerita itu. Kenapa bukan aku? Karena aku sadar kalau aku tidak bisa
berakting. Ya, setidaknya kamera tetap di tanganku.
Film
berdurasi lima belas menit itu pun selesai dalam waktu satu bulan. Cukup lama,
tapi kami puas setelah menyuntingnya. Aku harap produser rumah produksi itu mau
menerima film ini, karena itu semua sangat berarti bagi kru kecilku.
Bos
Adit, begitu mereka menyebutnya. Ia pemilik “Stacato Film,” rumah produksi
terbesar di Indonesia saat ini. Mendengar hal itu saja rasanya sudah sangat
mendebarkan. Produser itu memang sangat selektif untuk memproduksi filmnya.
Aku, Yamal dan Ivan pun mulai berdiskusi dengannya. “Jatuh Tenggelam” versi
kami pun diputar dan dibahas dalam waktu bersamaan dari berbagai segi.
Beberapa
jam kemudian, Bos Adit mengatakan hal yang menurutku luar bisa, “Kita harus
membuat film ini menjadi besar. Ya, dalam arti saya akan membeli cerita film
ini.” Tapi aku tidak menemukan petunjuk bahwa kru kecilku bakal diterima di
rumah produksinya. “Baiklah. Film ini bakal saya produksi sehingga butuh Yamal,
pastinya. Ia akan berperan sebagai penulis naskah. Saya yakin bahwa naskahnya
bisa diperbaiki lagi hingga menjadi film berdurasi panjang.”
Sesaat
aku terdiam dan kini kurasakan bahwa suasana berubah menjadi hening. Hanya
Yamal? Cerita ini saja? Lantas bagaimana dengan nasib kru ini? Bagaimana dengan
aku dan Ivan? Sesaat aku juga melirik Ivan yang wajahnya penuh tanda tanya. Aku
yakin bahwa ia pasti bingung karena Bos Adit hanya memilih ceritanya, bukan
dia. Bukan aku juga.
“Ehm,
pastinya akan lebih baik,” tiba-tiba Bos Adit memecah keheningan ruangan ini,
“kalau Ivan menjadi sutradaranya, dan Ardian menjadi penata artistiknya.”
Kini
aku merasa sangat lega. Apakah film itu hanya mimpi? Kebetulan? Kurasa tidak.
Aku akan menggenggam tujuanku dan membuktikan kepada semua orang bahwa
perjuanganku untuk menjadi seniman tidaklah sia-sia.
Tiba-tiba
aku ingat akan blog fotografiku yang tidak kusentuh selama seminggu. Aku ingat
dengan foto Yamal di blog ku. Aku ingat e-mail
Ivan yang isinya mengajakku bergabung dengannya dalam produksi film ini. Aku
pun ingat akan hari ini. Deal? Ya.
Aku
pun mengambil kamera di dalam tas kameraku. Aku mulai mengambil gambar
pertemuan ini. Aku akan mendeklarasikan semuanya. Aku akan mengatakan kepada
dunia bahwa aku bukanlah pecundang. Aku juga akan mewakili Ivan dan Yamal. Kami
akan berteriak. Kami adalah lulusan sekolah seni. Kami punya harapan. Kami punya
tujuan. Dan kini kami memegang kendali dari tujuan kami sepenuhnya.
Comments
Post a Comment
Feel free to give me your opinion :D