Lullaby
-Okasan-
Genre: Drama, Tragedy
Theme: Friendship
Panjang: 1510 kata
![]() |
Illustration by Elisabeth Cintami |
Perhatian!!!
Yang belum baca part 1 bisa klik disini.
Maaf update-nya lama banget karena gue sibuk -banget- setelah masuk kuliah lagi. Maaf banget :(
Makasih buat yang udah ngikutin cerita ini dari awal. Chapter / part ini adalah part sebelum ending. DAN, endingnya bakal gue post BESOK. Oke! Makasih banget yak buat OORers atau siapapun yang udah baca "LULLABY". Kalian luar biasa!
Oke! Cerita ini HANYA FIKTIF BELAKA YA! Jangan anggap kalo ini nyata! Merci! :)
Author's POV
Sudah
satu jam lamanya Tomoya dan Ryota menunggu depan sebuah pintu apartemen yang
bertuliskan nomor “609” itu. Apartemen bernomor 609 itu adalah milik Nyonya
Masako, ibu Taka. Mereka mengetahui keberadaan beliau melalui bartender yang
semalam ditemui Tomoya. Meskipun selamam Tomoya tidak mengaku bahwa ia mengenal
Nyonya Masako, bartender itu tetap memberikan alamat tersebut.
***
Pagi
tadi, Tomoya melihat Toru yang sedang duduk sendirian di kelasnya. Toru memang
sering datang terlalu pagi, bahkan menjadi yang pertama berada di kelas. Saat
itu, Tomoya melihat wajah Toru yang muram. Sebenarnya ia ingin lewat saja dan
tidak peduli, namun kali ini ia malah menghampiri Toru, dan duduk disebelahnya.
“Hei!
Ada apa?” Tomoya mulai bertanya dengan nada santai, dan sok melupakan masalah
mereka berdua.
“Kau?” Toru pun mulai menunjukkan ekspresi terkejutnya, “Mengapa kau kemari? Bukanya kau sudah tidak peduli denganku?”
“Maafkan
aku. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal.”
“Hei!
Apa kau tidak tahu?”
“Sepertinya
memang banyak hal yang tidak kuketahui.”
“Kau
tidak tahu kalau Taka sakit, kan?”
DEG!
Jadi, apa yang dikatakan bartender itu benar. Bahkan Nyonya Masako juga
mengatakan kalau anak sulungnya sedang sakit. Dan kini, Toru mengkonfirmasi
semua informasi tersebut.
Tomoya
pun menundukkan kepalanya yang kini mulai terasa berat. Wajahnya tidak
menunjukkan eksprei terkejut, melainkan kekhawatiran.
“Memangnya
dia sakit apa?” Ini kesempatan Tomoya untuk menanyakan hal itu.
“Kau yakin mau tahu?”
“Mengapa
tidak?” dengan sedikit berat, Tomoya juga mengatakan, “Dia juga sahabatku.”
“Baiklah,”
walaupun Toru terkejut, ia tidak menunjukkannya, “Ia sakit kanker paru-paru,
dan sudah hampir tiga tahun. Sekarang ia sedang sekarat.”
Kini
hati Tomoya terasa hancur. Inilah awal dimana ia mulai ingin kembali bersama
sahabat-sahabatnya, namun kenyataan bahwa suatu garis takdir yang tidak akan
menyatukan mereka berempat kembali telah menghancurkan hatinya. Toru pun juga
menceritakan segala hal yang telah menimpa salah satu sahabatnya itu kepada
Tomoya. Hal itu menjadi penguatan akan cerita yang didengarnya semalam, di
suatu bar.
Tomoya
pun mulai mencari informasi keberadaan Nyonya Masako melalui bartender yang
ditemuinya semalam, yang kebetulan masih berada di bar itu. Tomoya mengatakan
bahwa keluarganya akan mengadakan suatu acara, dan butuh seorang penyanyi untuk
mengisi acara tersebut. Tanpa ragu-ragu, bartender itu memberikan alamat tempat
tinggal Nyonya Masako.
***
“Ah!
Katanya tidak mengenalku?!” Kata Nyonya Masako setelah membuka pintu
apartemennya, dan menemukan Tomoya dan Ryota sedang berdiri di depannya.
“Maafkan
saya, Nyonya,” Tomoya pun meminta maaf atas kejadian semalam.
“Maaf
kalian harus menunggu lama. Sebenarnya ada maksud apa kalian kesini?”
“Apakah
nyonya mau ikut dengan kami?” Tanya Ryota.
“Hah?
Kemana? Kalian kan teman-temannya Taka. Untuk apa aku ikut kalian?”
“Untuk
menemuinya,” jawab Tomoya dengan tegas.
Perasaan
bahagia pun muncul di benak Nyonya Masako. Ia sangat rindu dengan anak-anaknya,
terutama Taka. Namun ia masih meragukan ajakan itu karena mantan suaminya pasti
akan mengusirnya.
“Apa
tidak muluk-muluk? Shinichi pasti mengusirku.”
“Tidak
mungkin, Nyonya. Beliau telah menyetujuinya,” Tomoya pun mencoba untuk meyakinkan
Nyonya Masako.
“Baiklah,”
Tanpa basa-basi, Nyonya Masako langsung menyetujui ajakan Tomoya dan Ryota. Ia
pun ikut mereka berdua menuju rumah sakit tempat Taka dirawat.
Sesampainya
di rumah sakit, Nyonya Masako langsung disambut oleh Hiro, anak bungsunya. Hiro
pun langsung berlari untuk memeluk ibunya yang sudah lama tidak ditemuinya. Kali
ini mereka berdua menangis dalam pelukan. Bagaimana tidak? Mereka saling
merindukan satu sama lain. Sesaat kemudian, Tomo datang. Kali ini ia terlihat
sangat senang. Ia tidak bisa menyembunyikan wajah gembiranya saat melihat
ibunya.
Tomo
pun memeluk Nyonya Masako. Ia tidak bisa berkata apa-apa karena ia terlalu
bingung. Kedatangan ibunya itu memang tiba-tiba sekali.
“Ibu,”
Tomo pun mencoba untuk bertanya kepada ibunya, “Apa ibu akan kembali ke rumah?”
“Kita
lihat nanti ya, sayang,” jawab Nyonya Masako sambil tersenyum.
Beberapa
saat kemudian, Pak Shinichi datang, dan dipeluknya lah Nyonya Masako. Kali ini
ia memeluk mantan istrinya itu karena menyesal. Perasaan bersalahnya memang
begitu menumpuk dan membuatnya sedih, sehingga ia ingin meminta maaf kepada
Nyonya Masako.
“Masako,
maafkan aku. Aku memang sudah bertindak sangat egois,” Pak Shinichi pun
mengakui kesalahannya.
“Iya.
Aku memaafkanmu,” jawab Nyonya Masako. Meskipun ia pernah membenci mantan
suaminya, ia tetap memaafkannya karena bagaimanapun juga, mengakui kesalahan
dan meminta maaf adalah hal yang patut dihargai.
Setelah
bertemu dengan kedua anak dan mantan suaminya, Nyonya Masako pun masuk ke dalam
ruang ICU tempat anak sulungnya berada. Seperti mimpi, apa yang ia rasakan hari
ini terasa bagaikan suatu hal yang tidak nyata. Namun Nyonya Masako tetap
merasa bahagia. Ia berharap untuk bisa merasakan kebahagiaan ini untuk waktu
yang lebih lama lagi.
Taka
masih tertidur. Wajahnya yang pucat memperlihatkan suatu kegelisahan. Mungkin
ia sedang bermimpi buruk sekarang, batin Nyonya Masako.
Nyonya
Masako mendekati Taka, dan berdiri di sebelahnya. Ia mulai membelai rambut anak
sulungnya itu dengan penuh kasih sayang, lalu mencium keningnya. Ia meluapkan
semua rasa rindunya hingga air matanya pun tidak bisa berhenti menetes.
Secara
perlahan-lahan, Taka membuka matanya. Ia terlihat terkejut setelah melihat
sebuah sosok yang hampir mustahil untuk ditemuinya.
“Apa
aku sedang bermimpi?” Taka pun bertanya dalam hatinya. Kali ini ia kembali
sulit untuk berbicara, namun tatapan matanya mencerminkan pertanyaan yang bisa
dibaca oleh ibunya itu.
“Kamu
tidak sedang bermimpi, sayang,” kini Nyonya Masako menunjukkan senyumannya yang
merupakan senyuman hangat khas seorang ibu, ”Ini ibu. Ibu disini, nak.”
“I-ibu...”
Suara Taka kini terdengar pelan dan lirih.
“Iya,
sayang,” kali ini air mata Nyonya Masako mengalir lebih deras.
“J-jangan
menangis. Ibu,” Taka pun berusaha mengangkat tangan kanannya agar mencapai
wajah ibunya. Ia pun menghapus air mata di pipi ibunya karena tidak mau melihat
ibunya menangis.
Taka
pun berusaha untuk bangkit, dan memeluk ibunya. Ia sangat merindukan pelukan
ibunya yang selalu membuatnya merasa lebih baik. Karena posisi kepala
ranjangnya yang dinaikkan membuatnya setengah duduk, Taka lebih mudah untuk
menggapai tubuh ibunya untuk memeluknya.
“Ibu
merindukanmu, nak,” kata Nyonya Masako sambil terus memeluk anak sulungnya itu.
“Aku
juga.”
Ketika
berpelukan dengan ibunya, Taka merasa sangat bahagia. Ia merasa tenang dan
aman, namun ia tetap tidak bisa melupakan kalau waktunya sudah akan berakhir.
Ia tidak ingin pergi jika belum melakukan sebuah hal yang selalu dilakukannya
bersama ibunya, naik ke atap gedung dan bercerita.
“Ibu,”
Dengan sekuat tenaga Taka berkata, “Boleh aku meminta sesuatu?”
“Apapun
itu, sayangku.”
“Aku
ingin ke atap gedung bersama ibu.”
“Kau
serius?”
“Iya,
Bu,” Taka pun menark nafas dalam-dalam, “Sekarang juga.”
Nyonya
Masako pun akhirnya meminta ijin Pak Shinichi dan dokter yang merawat Taka
untuk membawa anak sulungnya naik ke atap gedung rumah sakit. Ia merasa bahwa
ini akan menjadi pengalaman kebersamaan mereka untuk terakhir kalinya.
Semua
pihak setuju dengan keinginan Taka tersebut, dan mengijinkannya untuk naik ke
atap gedung rumah sakit bersama dengan ibunya, dengan syarat bahwa ia tetap
dalam pengawasan dokter. Taka menyetujui itu, dan segeralah ia pergi ke atap
gedung bersama ibunya.
Taka
dibawa ke atap menggunakan kursi roda, dan masih harus menggunakan selang
pernafasan berserta infus. Ia juga mengenakan sweater dan slayer karena dokter
tidak mengijinkannya untuk terkena terpaan angin. Kali ini ia tidak peduli
apapun yang terjadi di atas nantinya, karena yang ia inginkan sekarang adalah
menghabiskan waktu bersama ibunya.
“Ibu.
Berceritalah!”
“Ah!
Kau pasti penasaran kan dengan petualangan ibu, ya?”
“Iya,”
“Baiklah!
Ibu akan ceritakan semuanya.”
Nyonya
Masako pun menceritakan segala hal yang dialaminya selama perpisahannya dengan
keluarga kecilnya itu. Ia mulai dari mencari apartemen baru dan pekerjaan baru.
Ia juga menceritakan perasaan bebas yang menurutnya salah. Ia juga mengenalkan “kesenangan-kesenangan”
yang menurutnya juga harus dirasakan oleh putra sulungnya itu selagi masih muda.
Seperti misalnya klub malam, minum, dan sebagainya. Nyonya Masako mengatakan
bahwa hal semacam itu boleh dicoba oleh Taka sekali-kali meskipun agak berbahaya.
Tentunya pula, Nyonya Masako menceritakan itu semua dengan nada bercandanya
yang khas, sehingga Taka hanya tersenyum ketika mendengarkannya.
“Kau
harus sembuh, sayang! Ibu berjanji akan membuatmu merasakan itu semua.”
“Ah,
ibu. Aku sudah merasakan yang lebih bagus dari semua itu.”
“Wah!
Rupa-rupanya putra ibu yang satu ini nakal juga ya!”
Taka
pun tertawa meskipun tidak keras, namun itulah hal yang sudah lama tidak
diperlihatkannya. Ibunya selalu bisa membuatnya tersenyum bahkan tertawa dalam
keadaan apapun. Itulah sebabnya, ketika ibunya tidak berada di sampingnya, Taka
berubah total. Dan semuanya kini seakan kembali seperti sedia kala karena ia
sudah bisa tertawa lagi.
Toru,
Tomoya dan Ryota menyusul Taka dan ibunya secara diam-diam ke atap gedung rumah
sakit. Mereka membawa sebuah gitar dan berencana untuk menghibur sahabat mereka
itu.
Setelah
Toru, Tomoya dan Ryota sampai, mereka langsung bernyanyi bersama untuk Taka.
Meskipun merasa kesulitan, Taka pun ikut bernyanyi bersama mereka. Sepertinya
ia terlihat begitu bahagia, dan kondisinya semakin membaik. Semua orang
terlihat senang melihat kondisi Taka yang seperti itu.
Selesai
bernyanyi, Tomoya mendekati Taka. Perasaan haru pun menyelimuti hatinya karena
ia merasa bersalah kepada sahabatnya itu. Ia berlutut di depan Taka dan
menundukkan kepalanya.
“Taka,
maafkan aku!” Kata Tomoya.
Taka
pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia memaafkan Tomoya. Ia memaafkan
semua orang, kecuali dirinya sendiri.
Tomoya
pun memeluk Taka, lalu diikuti Toru dan Ryota. Mereka berempat terlihat seperti
Teletubbies yang sedang berpelukan. Mereka pun tertawa karena rasanya mereka
telah kembali ke masa lalu, dimana persahabatan mereka masih baik-baik saja.
Nyonya
Masako yang menyaksikan itu semua pun ikut tersenyum. Meskipun ia tidak tahu
persis apa yang sudah terjadi, ia ikut gembira dengan kembalinya persahabatan
Taka, Toru, Tomoya dan Ryota. Seperti yang sebelumnya, Nyonya Masako berharap
kebahagiaan ini akan berlangsung lebih lama lagi, atau bahkan selamanya.
(To be continued)
What's next? Tell me what your prediction is...!
p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!
Baca juga Song Fiction "Heartache"
Baca juga cerita fiksi lainnya, disini.
Comments
Post a Comment
Feel free to give me your opinion :D