Lullaby
-Aku Bisa Melihatnya-
Genre: Drama, Tragedy
Theme: Friendship
Panjang: 1611 kata
Yang belum baca part 1 bisa klik disini.
Maaf, mungkin updatenya kelamaan, alasannya bisa dilihat
disini ya. Hehe. Ilustrasinya nyusul, jadi memang nggak ada gambar dulu buat
part ini. Kalo ada typo atau kesalahan, bisa langsung komentar ya, soalnya mata
gue belom sembuh bener, jadi ngetiknya masih semu-semu pake feeling gitu ;) Makasih udah baca
fanfiction bikinan Anak Bawang ini yak! Hehehe... Part selanjutnya secepatnya
kok. Hehehe.
Taka’s POV
Beep! Beep! Beep!
Aku
mendengar suara semacam itu lagi, kali ini diikuti dengan suara berat nafasku
yang mengerikan. Perlahan-lahan aku membuka mataku yang mungkin sudah lama
terpejam. Aku pun merasakan nyeri yang luar biasa disekujur tubuhku yang masih
terkulai lemas, bahkan aku tidak bisa menggerakkan tanganku. Mungkin aku sedang
bermimpi, namun setelah aku ingat jika tidak ada rasa sakit dalam mimpi, aku
tahu ini bukanlah mimpi.
Aku
melihat disekelilingku, ruangan yang familiar dengan bermacam-macam alat yang
membuatku ngeri. Ruangan ini pun hanya diterangi lampu yang tidak terlalu
terang. Tubuhku dipenuhi dengan kabel, jarum dan selang, bahkan kini aku
menggunakan BiPAP untuk bernafas. Astaga, ternyata segalanya telah memburuk.
Aku
mendengar suara ayahku meskipun samar-samar. Suara itu terdengar dari luar
sana. Aku ingin memanggilnya, namun suaraku tercekat. Tidak mungkin, aku
kesulitan untuk berbicara.
“A-yah...”
suaraku nyaris tidak terdengar bahkan olehku sendiri. Aku mencoba memanggil
ayahku, dan rasanya sulit sekali. Air mataku tidak bisa aku bendung lagi ketika
menahan semua ini, aku membiarkannya menetes.
Aku
pasrah, dan mulai memejamkan mataku. Kini aku mendengar langkah kaki seseorang
yang semakin mendekatiku. Aku harap itu langkah kaki milik ayahku, bukan
malaikat maut.
“Kau
sudah sadar, nak?” Syukurlah, ternyata itu benar ayahku.
Aku
yang masih kesulitan berbicara hanya mencoba membuka mulutku untuk mencoba
menyampaikan sesuatu padanya.
“Ayah,”
dan sesuatu itu mulai terasa lebih berat bagiku, “Ibu dimana?”
“Sabar
ya, nak. Aku masih mencoba untuk menghubunginya,” Ternyata ayah mendengarku. Ia
pun menggenggam tanganku dan membelai rambutku. “Kau pasti akan sembuh, nak!
Ayah berjanji,” Kata-katanya yang terdengar mantap itu malah membuatku merasa
bahwa itu semua tidak mungkin karena aku melihat air matanya mengalir deras.
Aku pun hanya bisa mencoba untuk tersenyum meskipun berat.
Disaat
seperti ini, aku hanya ingin ibu berada disisiku. Biasanya, dia akan
menceritakan banyak hal yang membuatku lupa jika aku sedang sakit. Ia pasti
akan menceritakan petualangannya ketika masih muda dulu hingga menyanyikan lagu
pengantar tidur untukku. Suaranya yang merdu membuatku keluar dari buruknya
rasa sakit.
“Ayah...
dimana yang lainnya?”
“Teman-temanmu
akan kesini sepulang sekolah, dan adik-adikmu mungkin juga sama.”
Aku
terdiam sejenak setelah berbicara dengan ayahku. Kali ini perasaanku sangat
berat, bagaikan aku tidak memiliki banyak waktu lagi. Jika ayahku masih
berusaha supaya aku sembuh, sepertinya sudah tidak mungkin. Aku bisa melihat
bahwa sebentar lagi segalanya berakhir, entah hari ini atau mungkin beberapa
hari lagi. Aku yang merasakan semuanya, bukan siapapun.
Sebenarnya
aku masih ingin hidup lebih lama lagi, merasakan segalanya, mencoba apapun,
hingga memperbaiki keadaan yang sekarang terjadi. Kurasa hidup ini terlalu
kacau untuk kutinggalkan. Aku ingin, ketika aku pergi nanti, kehidupan ini
tidak kacau lagi. Aku ingin orang tuaku kembali bersama, dan aku juga ingin
sahabat-sahabatku kembali seperti dulu.
Namun
memang berat ketika aku menyadari bahwa semua itu tidak mungkin. Sembuh?
Sepertinya itu hanya mimpi siang bolong. Orang tuaku kembali bersama dan
keluargaku utuh? Ah! Aku tahu sekali bagaimana cara mereka berpisah. Cara
dimana tidak ada lagi hal yang sanggup menyatukan mereka kembali.
Sahabat-sahabatku? Mereka terlalu kecewa denganku. Aku tahu kalau semuanya
adalah salahku. Karena aku, mereka semua terpecah. Karena aku, rencana mereka
gagal. Aku memang jahat. Mungkin dalam lubuk hatiku, aku menginginkan agar
semua orang sama hancurnya seperti aku. Aku yang tiba-tiba jatuh sakit dan
menderita itu tidak mau menderita sendirian. Tapi itu harusnya bukan
keinginanku. Aku tidak mau.
Lalu?
Aku sering berpikir dan mempertanyakan, “Apakah Tuhan itu ada? Apakah Para Dewa
itu benar-benar ada, dan berkuasa untuk menolong manusia? Apa justru membuat
manusia menderita? Seperti aku.” Pertanyaan yang kejam memang. Aku tidak pernah
bertanya kepada ayah ataupun ibuku, atau siapapun. Aku tahu kalau nanti mereka
akan menceramahiku, atau justru pertanyaanku ini membuat mereka berada di
pihakku, dan ikut-ikutan mempertanyakan hal serupa. Aku juga tidak mau hal itu
terjadi.
Kini
aku melihat wajah ayahku. Wajahnya memanglah tidak seperti dulu lagi, usia dan
ujian dalam kehidupan inilah yang membuatnya berubah. Aku tahu, kini dia
semakin terlihat tegar dan berwibawa dalam kerutan-kerutan yang dimilikinya.
Namun, jika aku semakin melihatnya, aku semakin ingat dengan ibuku. Apakah ia
juga seperti itu? Atau malah terlihat depresi dan hancur sepertiku?
“Apa
yang kau rasakan, nak?” ternyata ayahku menangkap sorot mataku.
Aku
hanya diam saja, lalu memejamkan mataku. Jawabannya sudah pasti, “sakit”. Namun
aku memutuskan untuk diam karena semakin aku berbicara, rasa sakit itu semakin
menjadi-jadi.
“Ayah
juga rindu ibumu,” tiba-tiba ayahku mengucapkan kalimat yang sangat
mengejutkanku, “ini semua salahku. Tidak seharusnya dia pergi. Dia wanita yang
baik,” air mata pun menetes dari mata ayahku. Ternyata perkiraanku salah.
“Maafkan
ayahmu ini, nak! Meskipun aku ini sudah tua, aku masih saja berbuat salah. Aku
masih selalu egois dan mudah tersulut emosi,” aku pun semakin terkejut karena
ayah tidak pernah bertindak seperti ini sebelumnya, “Seharusnya aku melakukan
sesuatu untuk membuat segalanya lebih baik, terutama untukmu. Tapi, aku justru
memperburuk keadaan. Apa yang kuanggap lebih baik, justru membuat orang lain
semakin terpuruk,” kini ayahku menangis, dan menutupi matanya yang lembab
dengan tangan kirinya. Ia masih berdiri di sampingku sambil membelai rambutku
dengan tangan kanannya.
“S-s-sudahlah
ayah!” Kataku dengan susah payah, dan berusaha meraih tangan kanannya untuk
kugenggam. Aku merasakan perasaan bersalahnya. Perasaan itu sama dalamnya
dengan perasaan bersalah yang kumiliki.
Ayahku
terdiam untuk beberapa saat. Ia terlihat sangat sedih sekarang. Memang,
semenjak ia menceraikan ibu, aku justru menjadi tidak peduli dengan apapun,
bahkan diriku sendiri. Aku tidak mau lagi menyentuh obat-obatan meskipun demi
kesembuhanku, tidak mau makan hingga menjauhi semua orang. Aku juga telah
beberapa kali mencoba untuk mengakhiri hidupku karena aku sudah putus asa. Aku
sendiri merasa bersalah. Kalau saja aku tidak seegois itu, hal buruk seperti
ini tidak perlu terjadi. Ayahku tidak perlu meangis di depanku, dan tetap
menjaga wibawanya. Persahabatanku pun tidak akan hancur. Dan yang lebih
baiknya, aku tidak harus cepat-cepat mati.
Beberapa
saat kemudian, dokter datang bersama seorang perawat. Mereka mulai memeriksa
kondisiku. Perawat memberikan suntikan morfin kepadaku, dan mengganti BiPAP
dengan selang biasa. Mungkin nafasku terasa lebih berat, namun aku lebih mudah
berbicara jika begini, dan kini aku merasakan tubuhku tidak lagi nyeri.
“Bagaimana
perasaanmu?” Dokter pun mulai menanyaiku. Laki-laki yang sudah menjadi dokterku
semenjak aku divonis sakit itu juga mulai menempelkan stetoskopnya di beberapa
bagian tubuhku yang ingin diperiksanya.
“Lumayan,”
jawabku singkat.
“Kau
hebat, nak! Kau masih bisa bertahan samapai sekarang,” kata dokter itu sambil
tersenyum. Aku tahu apa yang dipikirkan oleh dokter itu.
“Dokter!
Apakah masih ada jalan keluar untuknya?” Ayahku pun mulai bertanya kepada
dokter itu.
“Pak
Shinichi. Bukanya saya menyerah. Penyakit yang diderita putra bapak ini sudah
sangat luar biasa parah, dan bahkan sudah sampai di bagian tubuh lainnya
seperti syaraf, darah, bahkan jantungnya,” jawab dokter itu dengan sangat
hati-hati.
“Apa
maksud Anda?” Kini suara ayahku terdengar marah.
“Kita
hanya bisa berharap adanya keajaiban.”
“Tidak
mungkin!” Kini suara ayahku terdengar begitu keras.
“Mari
ikut saya sebentar!” Dokter pun mengajak ayah keluar dari ruanganku.
Setelah
ayah pergi mengikuti dokter, aku pun sendirian lagi di ruangan ini. Perasaanku
semakin tidak karuan. Kali ini aku semakin yakin kalau waktuku tinggal sebentar
lagi. Kata-kata dokter itu memang benar, aku merasakannya sendiri.
Beberapa
saat kemudian, seseorang datang ke ruanganku. Sepertinya dia bukan ayahku
ataupun dokter bahkan perawat. Aku pun memutuskan untuk memejamkan mataku agar
aku tidak takut kalau saja seseorang itu akan membawaku pergi sekarang.
“Taka,”
suara itu terdengar tidak asing bagiku.
“Taka!
Ini aku, Toru. Kau bisa mendengarku kan?” Ternyata orang itu adalah Toru. Aku
pun memberanikan diri untuk membuka mataku, dan perlahan-lahan melihat ke
arahnya.
“Kau,”
kataku pelan dengan usaha yang cukup berat, “Ada apa?”
“Sebentar
lagi kau akan bertemu ibumu,” Toru berkata dengan penuh keyakinan, bahkan
ekspresi wajahnya sangat optimis. Sekarang, dia tersenyum padaku, dan aku pun
mencoba untuk membalas senyumannya. Entah mengapa, aku sangat meyakini apa yang
dikatakan olehnya.
“Terima
kasih,” aku hanya bisa menjawabnya dengan ini.
“Sama-sama.”
Kini senyum Toru semakin terkembang, dan itu membuatku rindu masa kecil kami.
Andaikan saja aku bisa hidup lebih lama lagi, mungkin senyuman seperti itu akan
menjadi senyumanku juga.
Toru
pun menggenggam tanganku yang semakin lama semakin mati rasa. Akan tetapi,
genggaman tangan Toru begitu kuat dan dalam, sehingga masih dapat kurasakan.
Aku tidak tahu harus berkata apa kepadanya. Aku masih kesulitan untuk
berbicara, dan hal ini begitu menyiksaku. Tapi aku yakin kalau ia paham dengan
kondisiku ini.
“Ini
semua berkat Tomoya,” tiba-tiba Toru mengatakan hal semacam ini, “Ia yang
membantu aku dan Ryota. Ia baru tahu keadaanmu tadi pagi, dan langsung bergegas
mencari ibumu yang sebenarnya sudah ditemuinya tadi malam secara tidak sengaja.
Dan beberapa saat lalu, ia memberiku kabar gembira karena ia berhasil
menemukannya.”
Tomoya.
Ternyata dia sudah tahu apa yang terjadi. Aku tidak menyangka kalau ia akan
menjadi perhatian seperti itu. Namun tiba-tiba aku ingat janjinya kepadaku
beberapa waktu lalu, yaitu untuk membunuhku. Aku rasa dia sudah menepati
janjinya. Tapi mengapa ia justru ikut mencari ibuku?
Aku
mencoba untuk tidak peduli akan hal itu, namun tetap saja aku memikirkannya.
Aku hargai usaha mereka semua untuk mencari ibuku. Dalam hatiku, aku merasa sangat
senang karena mereka dapat kembali bersama, bahkan mencoba untuk mempertemukan
aku dan ibuku lagi.
“Maafkan
aku,” kataku dengan nada lirih dan tersendat-sendat. “Kalau saja aku tidak
egois, kau tidak akan serepot ini.”
“Kau
tidak bersalah! Aku yang salah. Andai saja, aku tidak cuek. Andai saja aku
tidak merebut Rin darimu. Aku yang bersalah, Taka.”
Rin?
Gadis itu lagi? Mengapa Toru masih mengingatnya? Bagiku gadis itu tidak lebih
dari cinta monyet yang mudah sekali untuk kulupakan. Mungkin pada awalnya,
sikapku terlihat dingin kepada Toru setelah ia merebut gadis itu dariku, namun
itu hanya perasaan sesaat karena aku sudah melupakan semuanya.
“Itu
bukan salahmu,” tepisku.
Aku
pun memejamkan mataku karena rasanya aku begitu lelah sekarang. Tiba-tiba aku
merasakan aliran air di tanganku. Sepertinya Toru mulai menitikkan air matanya
yang seharusnya tidak perlu ia boroskan untukku. Samar-samar, aku mendengar
suara tangisnya meskipun tertahan di tenggorokkannya. Suara tangisannya yang
kini semakin menghilang seiring dengan menghilangnya kesadaranku.
(To be continued)
What's next? Tell me what your prediction is...!
p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!
Baca juga Song Fiction "Heartache"
Baca juga cerita fiksi lainnya, disini.
Back to part 4
Next to part 6
Comments
Post a Comment
Feel free to give me your opinion :D