“Sayang, kita akan bersama selamanya. Selamanya.”
Ucapan dari
Pierre yang membuatku terus sabar dalam penantian ini. Aku menanti dia yang sedang
berusaha mendapatkan gelar Doktornya di Amerika. Aku dan dia terpisah jauh.
Sekarang aku berada di Perancis untuk mendapatkan gelar magister untuk
pendidikan seni.
Sebenarnya
aku dan Pierre hidup dalam dua dunia yang berbeda jauh. Dia adalah seorang
ilmuwan dan aku seorang seniman. Bahkan kebangsaan kami berbeda. Dia dari
Perancis asli sedangkan aku dari Indonesia. Kami bertemu di dalam gereja ketika
kami sedang mengikuti Misa. Kebetulan ia berada di sebelahku. Entah mengapa
sorotan matanya sangat tajam menatapku. Dan setelah Misa selesai ia mengajakku
berkenalan. Aku baru tahu jika sebenarnya dia adalah seorang dosen Fisika. Aku
heran sekali, orang sepintar dia mau mengenalku yang hanya seniman dan tidak
tahu apa-apa akan dunianya.
Sebulan
setelah aku mengenal Pierre, ia
menyatakan cintanya padaku. Aku semakin tidak percaya bahwa seorang yang jenius
sepertinya bisa mencintaiku. Sebenarnya aku merasa canggung, sangat canggung.
Tetapi kata-kata romantisnya telah membunuh kecanggunganku. Dia tidak terlihat
seperti ilmuwan ketika mencintaiku dan aku malah tidak terlihat seperti seniman
ketika mencintainya. Kami sama. Kami sederajad dan sepertinya memang pantas
untuk bersama. Walaupun masih banyak lagi perbedaan diantara kami cinta itu
tetap tumbuh subur sesubur anggur yang manis tumbuh disini.
Aku ingat
ketika kami sedang berada di dekat menara Eifel. Pierre menggenggam tanganku
dengan erat. Tatapan matanya membunuhku dan membuatku terhanyut didalam arusnya.
Dan ia juga tersenyum padaku,
“Sayang, aku ingin kita bersama selamanya.” Katanya pelan
dengan bahasa Perancis,
“Aku juga sayang. Tapi apa kamu yakin?” balasku,
“Aku sangat yakin padamu. Apa yang harus aku yakini lagi?”
“Aku bukan seorang ilmuwan sepertimu aku hanya seniman dan
aku tidak sepintar kamu.”
“Sayang, cinta itu bukan hanya terbatas kepada status dan
juga kecerdasan atau sebagainya. Kita sederajad karena cinta. Jadi, tidak ada
masalah jika kita bersatu.” Kata Pierre lembut,
“Kau benar, namun apa kata orang lain? Apa kata orang tuamu?
Keluargamu?”
“Semua orang, semua makhluk, semua benda, semuanya. Bahklan
Tuhan akan berkata kita akan bersama selamanya. Jenna, sayangku. Kamu harus
terima itu. Kamu masih cinta kan padaku?”
“Aku akan selalu mencintaimu Pierre.”
Lalu tanpa sadar ia mendekatkan wajahnya padaku dan
menghampiri bibirku. Aku mulai merasakan ciuman lembutnya. Ciuman cerdas
seorang ilmuwan yang sangat kucintai. Ciuman hangat seorang Profesor tampan dan
manis itu melemahkanku, membelai mulutku, lidahku.
Tanpa sadar
hubunganku dengan Pierre sudah menginjak satu tahun. Kami merayakan ini dengan
makan malam di apartemenku. Aku sudah buatkan makanan kesukaannya dan aku juga
telah sediakan minuman anggur yang paling nikmat. Aku yakin ini akan menjadi
hal yang menyenangkan. Namun dibalik kegembiraan, kebahagiaan dan keindahan
malam itu tersirat rasa sedihku karena Pierre ternyata akan pergi ke Amerika
untuk melanjutkan studinya. Ia ingin mendapatkan gelar Doktor. Aku tak habis
pikir. Aku kalah banyak darinya. Namun aku lebih tidak habis pikir bahwa dia
akan pergi ke luar negeri seperti ini.
@@@
Setelah dua
tahun aku menunggu. Akhirnya Pierre kembali ke Perancis. Kini dia telah
mendapatkan gelar Doktornya dan aku juga telah mendapatkan gelar Master. Kami
sama-sama mendapatkan gelar yang kami inginkan. Sebenarnya aku telah
mendapatkan gelar itu setahun lalu dan aku telah bekerja disebuah perusahaan fashion
terkemuka di dunia.
Aku sangat
terkejut ketika Pierre tiba-tiba melamarku. Ia memintaku untuk menikahinya. Aku
sangat senang karena aku benar-benar mencintainya. Ia memasangkan sebuah cincin
di jari manisku. Aku tidak percaya kami akan menikah.
Satu minggu
sebelum aku dan Pierre menikah, kami mendapatkan sebuah musibah. Kami mengalami
kecelakaan mobil dan kecelakaan itu telah merengkut nyawa Pierre dan semuanya
sirna seketika. Tidak ada menikah, tidak ada kebahagiaan lagi. Bagiku, hanya
dia yang bisa membuatku benar-benar cinta.
@@@
Sekarang aku
berada disamping makam Pierre. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk
membuktikan cintaku padanya. Suasana disini sangat sepi, tak tampak seorangpun
di pemakaman ini. Pierre, andaikan kamu disini. Aku hanya berharap untuk
melihatmu.
Tiba-tiba
berhembuslah angin kencang dan aku hanya memejamkan mataku dan mencoba untuk
bertahan dari tiupan angin itu. Namun suatu hal aneh menimpaku setelah angin
kencang itu bertiup.
Perlahan-lahan
aku membuka mataku. Aku sangat terkejut karena semuanya berubah. Aku tidak
sedang berada di pemakaman sekarang. Aku berada dalam ruang kerja Pierre di
Universitas. Tempat dimana aku sering menemuinya sepulang kuliah.
“Sudah
berapa lama kamu menungguku, Jenna?” terdengar suara yang membuatku terkejut.
Suara yang sangat aku kenal bahkan aku rindukan. Perlahan aku mencari arah
suara itu.
Aku
terkejut. Aku sulit menerima ini. Suara itu ternyata adalah suara Pierre yang
sekarang berada di dekat pintu. Aku sangat takut. Aku takut terjebak dalam alam
lain. Apakah aku bermimpi? Ini sangat menakutkan. Aku hanya terpaku dan diam
saja. Aku tidak menjawab pertanyaan Pierre sepatah katapun.
“Mengapa kau
terdiam, Jenna? Bukannya kamu menantiku? Bukannya kamu merindukanku?” Dia
bertanya lagi. Apakah dia benar-benar Pierre? Tidak mungkin. Dia sudah pergi
dan aku sedang berada di makamnya. Aku hanya bermimpi! Aku memang
merindukannya. Tapi aku tidak boleh terlalu berkhayal tentang dia.
“Siapa kamu?” Aku memulai pertanyaanku perlahan,
“Aku? Apakah kamu sudah lupa denganku? Aku Pierre. Kekasihmu,
tunanganmu.” Jawabannya itu membuatku semakin merasa bahwa aku sudah gila.
“Stop! Don’t make me mad!” Aku berteriak dan dia malah
mendekatiku. Apa-apaan ini? Aku merasa benar-benar jatuh dalam imajinasi yang
berlebihan.
“Aku benar-benar Pierre. Kamu tidak gila. Ini benar-benar
aku.” Dia semakin berusaha meyakinkanku.
“Tidak mungkin. Kamu sudah...”
“Meninggal? Iya, aku memang sudah meninggal.” Suatu jawaban
yang membuatku semakin ketakutan. Namun, jika ternyata aku juga ikut mati
bersama Pierre itu terasa adil bagiku.
“Pierre...” aku mulai menitikkan air mataku, aku percaya dia benar-benar Pierre.
“Jangan khawatir. Kita akan selalu bersama.” kata Pierre, aku tak kuasa menahan ini. Aku langsung berlari memeluknya. Bahkan aku merasakan dia masih hidup karena aku bisa memeluknya seerat yang kumau.
“Apakah aku sudah mati? Apakah aku sekarang berada di surga
denganmu? Apakah ini yang namanya surga?” tanyaku,
“Kamu masih hidup, Jenna. Selama kamu masih mencintaiku.
Selama hati kita masih bersatu. Kita akan selalu bertemu.” Jawabnya. Aku tak tahu apa maksud semua ini. Akan tetapi aku merasa bahwa aku sangatlah beruntung sekarang.
(To be Continue)
Kira-kira apa yang membuat Jenna bisa bertemu dengan Pierre lagi?
Comments
Post a Comment
Feel free to give me your opinion :D