Disini, di bawah sinar rembulan.
Aku selalu menunggunya, menunggu dia yang aku cintai. Walaupun sia-sia saja
penantian ini.
Aku seorang yang bisu. Bisu
dalam cinta. Tak pernah aku ungkapkan rasa rinduku padanya. Bahkan hanya air
mata yang keluar dari mataku ketika mengingatnya.
Dulu aku dan dia selalu bersama
di dalam sebuah persahabatan. Di masa susah dan senang. Tak pernah kita
terpisah. Hingga pada suatu saat aku harus menerima kenyataan pahit bahwa dia
harus berpisah dariku.
Belanda. Dia di Belanda. Di
sebuah negara yang membuat dirinya sendiri damai. Membuat kebebasan mutlak bagi
dirinya sebagai seorang gay. Mungkin semua orang berpikir bahwa aku ini
wanita bodoh yang tidak bisa mencari seorang pria sejati. Tidak! Aku tegaskan
pada kalian! Dia pria sejati dimataku. Dia sosok yang tegas. Dialah yang
membuatku merasa berbeda.
Selama kami bersahabat. Tak pernah
aku lihat dia menyukai sesama jenisnya. Bahkan semua orang menganggap kami
sebagai sepasang kekasih. Kami bersahabat semenjak kami duduk di bangku SMA.
Entah mengapa, kami selalu masuk dalam kelas yang sama saat pembagian. Sehingga
itu membuat kami tak terpisahkan. Aku benar-benar merasakan ada cinta diantara
kami. Namun semua itu pupus semenjak dia berkata tentang kehidupannya yang
sebenarnya menjelang hari kelulusan. Hatiku sakit. Sepertinya percuma saja aku
mengungkapkan cintaku padanya,
“La,
maafin gue ya.” katanya pelan,
“Maaf
kenapa Joe?” tanyaku,
“Sheila.
Gue gu-gue...”
“Lo
kenapa?”
“Gue
gay La.”
Mendengar
ucapannya itu hatiku serasa tersayat. Seorang Joe yang sangat terkenal sebagai
pria tertampan di sekolah dan terkenal pandai itu ternyata gay. Aku
seperti tertampar.
“Lo
bercanda kan?”
“Eng-enggak
La.”
“Nggak
mungkin. Gue nggak pernah lihat lo pacaran sama cowo!”
“Ta-tapi
gue pernah backstreet sama...”
“Sama
siapa Joe?”
“Randy.”
jawabnya singkat dan dia menundukan kepalanya.
Randy?
Aku benar-benar tidak percaya. Randy adalah mantan pacarku. Dan dia juga gay?
Apa nasibku yang mencintai seorang pria gay? Kenapa?
“Joe!
Apa lo nggak nyadar kalo selama ini ada cewe yang bener-bener sayang sama lo?”
Bentakku,
“Maaf
La. Tapi gue beneran bahagia dengan keadaan ini.”
“Lo
bodoh Joe! BODOH!” Bentakku lagi, lalu aku pergi meninggalkannya.
Aku masih terpukul dengan
ungkapan Joe. Aku merasa terbunuh saat itu. Padahal aku ingin mengatakan bahwa
aku mencintainya lebih dari sahabat. Mulutku membisu dengan sendirinya. Hanya
air mata yang mengalir dari mataku ini.
Setelah kelulusan, Joe
melanjutkan kuliahnya ke Belanda. Dia hanya beralasan bahwa disana dia ingin
belajar dengan baik. Namun aku tahu alasan sesungguhnya. Agar dia bisa bebas
menikmati penyakitnya. Penyakit gay yang sangat menjijikanku.
Walaupun aku tidak bisa
memaafkannya. Aku masih saja menunggunya. Aku masih saja mengenangnya. Aku
menjadi bodoh karena cinta. Namun aku bisu dengan cinta.
Tiga tahun kemudian aku menerima
sebuah surat dari Joe. Sebuah kabar bahwa dia akan pulang ke Indonesia sebulan kemudian.
Tepat saat Valentine. Aku hanya menunggunya dengan sabar. Walau hatiku masih
terluka menerima kenyataannya.
Hari Valentine tiba. Joe
benar-benar kembali. Dia memberiku sebuah hadiah. Dia menyatakan cintanya
padaku. Dia berkata bahwa dia sudah tidak mau memiliki pasangan sejenis lagi.
Namun itu sungguh membuatku bingung. Aku benar-benar membisu ketika dia berkata
cinta.
Aku memang menerima cintanya.
Dia hadiah terindah di hari Valentine ini apalagi sekarang dia memang sudah
jauh berbeda. Dia Sarjana sekarang. Dia lulusan Belanda. Dia memang hebat
karena hanya dalam tiga tahun saja dia sudah bisa lulus sedangkan aku masih
menunggu setengah tahun lagi untuk lulus.
Namun kebahagiaan itu tidak
berlangsung lama. Setelah aku tahu bahwa Joe positif HIV. Apakah ini alasan dia
untuk tidak lagi gay? Lagi-lagi
aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin marah, namun di dalam hatiku aku
masih mencintainya.
Apapun kondisi Joe aku tetap
mencintainya. Hingga dia benar-benar tidak berdaya dan hanya terbaring di atas
tempat tidur. Sudah satu minggu dia menginap di rumah sakit dengan kondisi yang
semakin parah.
“Sheila.”
Ucapnya lirih,
“Joe?
Lo harus kuat!” Kataku,
“Kapan
gue bisa pulang ke rumah?”
“Tunggu
kondisi lo membaik ya?”
“Ya.
Gue pengen keluar dari kamar. Gue bosen tidur terus.”
“Oke.
Gue bawa lo ke taman ya?”
“Iya.”
Aku
membawa Joe ke taman untuk melihat matahari tenggelam. Sebenarnya aku sangat
sedih melihat kondisinya sekarang. Dulu dia seorang yang benar-benar kuat dan
selalu menang dalam pertandingan basket. Namun, dia menjadi lemah dan tak
berdaya.
“Sheila.
Selama gue sama lo. Gue nggak pernah bikin lo bener-bener bahagia.” katanya,
“Nggak
kok. Lo itu segalanya buat gue. Lo selalu bikin gue bahagia. Coba kalau gue
nggak bahagia. Gue nggak bakalan cinta sama lo.”
“Ah
lo bisa aja. Oh ya, lo harus inget gue setiap malem. Apalagi waktu matahari
tenggelam.”
“Emang
lo mau balik ke Belanda lagi?”
“Enggak.
Gue mau balik ke tempat yang bener-bener indah.” lalu dia tersenyum,
“Jangan
bercanda deh!”
“Gue
serius. Gue bakal tenang disana. Apalagi kalau lihat lo.”
“Nggak!
Mending gue nggak lihat matahari tenggelam daripada lo pergi.”
“Cepat
atau lambat gue bakal pergi La.”
Air
mataku menetes. Hatiku tersayat setelah mendengar perkataan Joe. Apa aku harus
menunggunya lagi? Sampai kapan?
Selama aku menghapus air mataku,
aku tidak sadar kalau hal buruk menimpa Joe. Seketika darah dari hidungnya
keluar begitu saja. Aku sangat panik ketika melihat wajahnya yang begitu pucat
dan sepertinya ia menahan sakit.
“Joe!
Lo nggak pa-pa kan?” Tanyaku dalam kepanikan,
“Eng-enggak
pa-pa kok.” jawabnya pelan dan dia benar-benar menahan sakit,
Aku membawanya kembali ke
kamarnya. Walau aku tahu darah seorang positif HIV itu mengandung virus dan
dapat mengancamku. Aku tetap bersedia untuk menghapusnya,
“Udah
La! Jangan ikutan hapus darah gue. Ntar lo ketularan!” kata Joe merasa bahwa
dia menjijikan,
“Nggak
Joe! Gue nggak peduli sampe gue mati juga nggak peduli.”
Sepertinya
Joe benar-benar tidak kuat dengan kondisinya itu. Aku merasakan bahwa dia
sangat kesakitan. Lalu dia tidak sadarkan diri.
Semenjak itu, aku berusaha untuk
menjaga Joe. Dia sangatlah berharga bagiku. Aku tidak mau menunggunya lagi. Aku
ingin selalu bersamanya. Namun takdir berkata lain. Tidak ada kuasa yang lebih
besar daripada kuasa Tuhan. Di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh dua, dia
pergi untuk selamanya.
Hanya air mata yang bisa aku
berikan untuknya. Aku mengingat senyumannya ketika ia akan pergi. Senyuman
kedamaian di wajahnya. Dan lagi-lagi aku tidak mampu berbuat apapun. Aku hanya
terdiam membisu.
Malam ini semakin dingin saja.
Udara dingin ini menusuk tulangku bersama kenangan akan Joe yang sudah aku
uraikan. Sampai sekarang aku tetap menunggunya. Menunggu sebuah hal yang
sia-sia. Menunggu hal yang sudah pergi. Rasa cinta yang abadi membuatku rela
untuk selalu mengenang dan menunggunya. Hanya satu pertanyaanku. Sampai kapan
aku harus menunggu?
Requested by Kharis
Comments
Post a Comment
Feel free to give me your opinion :D